Rabu, 29 Agustus 2012

Hadiah Perpisahan

Sepuluh milyar, pikir gue. Butuh waktu lima taun, lima taun tambah dua orang partner dan banyak tipu daya, tapi paling nggak itu berhasil, dan sekarang sudah waktunya kita kabur dari sini. Gue udah pikirin ini sejak pertama kali. Kita bertiga bakal ketemu di kantor waktu liburan , jadi nggak ada karyawan laen yang bakalan liat kita di sini. Dan dari kantor kita ke bandara, dan bertiga langsung terbang ke pulau tempat wanita-wanita cantik kumpul di sana dan dimana pejabat pemerintah lebih bisa di beli dari pada di sini, dan nggak ada perjanjian ekstradisi. Gue liat jam tangan gue, udah jam 6 sore, masih ada waktu lima jam lagi sebelum kita berangkat ke bandara. Gue tersenyum waktu gue liat papan nama di meja gue yang gede : Roy Pangestu, Wakil Presiden Direktur.

Sebuah ketukan di pintu kantor gue membuat gue tersadar dari lamunan gue. Gue kaget banget. Mustinya nggak ada seorangpun di kantor ini, Johan dan Toni mustinya masih ada di bagian akunting membersihkan bukti-bukti supaya pelarian kita ini nggak cepat ketahuan. Gue berdiri dan memndekati pintu.

"Silakan masuk."

Pintu terbuka, dan seorang gadis muda seperti yang sering ada di cover majalah-majalah masuk ke kantor gue, ragu-ragu. Dia bener-bener menakjubkan, berdiri tinggi langsing di atas sepatunya yang tinggi. Man, sepatunya hitam berkilat dengan hak yang tinggi, menutupi telapak kakinya yang pastinya halus dan indah kalau melihat tungkainya yang terlihat sempurna ditutupi stocking hitam, dan sebuah rok ketat menutupi sebagian pahanya yang tampak mulus. Sebuah blus putih dan rompi hitam tidak bisa menutupi perutnya yang rata, pinggangnya yang ramping dan buah dadanya yang bulat mengacung dari balik blusnya. Leher gadis itu putih bersih, menunjang sebuah wajah yang benar-benar ayu dengan bibir yang sensual, wajah yang biasa muncul di majalah-majalah remaja di Indonesia. Rambut gadis itu ikal hingga ke punggung, jatuh lembut di sisi kepalanya, mempercantik mata gadis itu yang bulat dan tampak makin bercahaya di bawah sinar lampu kantor gue.

"Selamat sore Pak, maaf," katanya ragu-ragu,"Tapi saya mencari pak Santoso. Saya sedang kerja praktek di sini dan saya mengira beliau masuk hari ini."

Gue tampilkan senyum gue yang paling oke sambil membalas tatapan matanya.

"Tadi pak Santoso memang masuk kantor. Tapi beliau sudah pulang lebih awal tadi siang. Silakan duduk dulu."

Gue menunjuk ke sofa kulit coklat dan mempersilakan dia duduk.

"Mungkin saya bisa bantu Nona?"

Gadis itu bergerak mendekati sofa itu dan gue mendekati pintu lalu menutupnya, sambil terus tersenyum, pikiran gue udah penuh dengna nafsu. Gue udah siap lari dari negeri ini, pikiran gue sebelumnya cuma dipenuhi bagaimana nanti setelah enam jam, gue akan bebas dengan duit sebanyak sepuluh milyar, tiba-tiba gadis ini masuk ke kantor gue, gadis yang bener-bener hot.

Gadis itu lalu duduk di sofa, menutup kedua kakinya sambil menarik roknya yang terangkat sedikit membuat gue bisa melihat pahanya. Dia lalu mengeluarkan sebuah notes dan bolpen dari kantong dalam jaketnya dan memperhatikan gue yang duduk di sudut meja kecil yang ada di seberangnya.

"Maaf, bapak…" matanya bertanya-tanya.

"Pangestu, nama saya Roy Pangestu." Jawab gue sambil tersenyum lagi, pikiran gue udah nggak bisa kemana-mana lagi selain melihat ke bibirnya yang penuh, lidahnya yang merah muda yang terlihat menjilat bibirnya setiap kali ia akan bicara. Gue bisa merasakan dada gue berdetak keras sekali ketika gue memperhatikan dia, berdetak makin keras, sementara pikiran gue makin gelap, dan gue tau apa yang akan terjadi, gue juga sadar gue udah bisa menguasai nafsu gue lagi, lagipula gue nggak bermaksud nahan nafsu gue ini.

"Begini pak Roy, saya bekerja praktek dengan pak Santoso sebagai income audit di perusahaan ini. Saya bekerja sebagai tugas akhir di akademi saya."

"Nona dari akademi mana?" kata gue, lalu menggelengkan kepalanya,"Maaf, tapi saya belum tahu nama Nona."

"Nama saya Lola. Lola Amaria." Katanya sedikit ragu-ragu. Tidak percaya diri.

"Begitu, lalu umur kamu berapa Lola?"

"Eehhh, 21 tahun pak. Dan saya dari Akademi dai sebelah perusahaan ini Pak."

Gue tersenyum padanya. Dia bener-bener sempurna, sempurna sekali. Telapak tangan gue mulai berkeringat.

"Lalu apa yang bisa saya bantu buat Lola?" gue bener-bener suka mendengar namanya di mulut gue.

"Selama saya kerja praktek di sini, saya sedikit banyak sudah mengetahui cara kerja perusahaan ini." Jari-jari Lola menyibakan rambut yang menutupi wajahnya, tingkah lakunya agak berubah, tidak lagi gugup, lebih percaya diri ketika ia berbicara. "Yang ingin saya ketahui adalah bagaimana rencana perusahaan ini sehubungan dengan peraturan pemerintah yang baru saja dikeluarkan."

Kepala gue mulai berdenyut-denyut, tapi gue yakin di mana Lola gue tetep seorang laki-laki yang tenang dan rileks, tersenyum sedikit sambil memperhatikannya. Ini selalu terjadi setiap kali gue terangsang, seluruh tubuh gue akan berdenyut-denyut, sementara pikiran gue akan fokus pada satu hal, sementara hal yang lain akan ditutup sebuah kabut, tubuh gue tegang siap untuk meledak. Tapi sebaliknya penampilan gue akan tetap tampak tenang, rileks, tersenyum menutupi gejolak yang ada di bawahnya.

Gue sesekali menjawab pertanyaannya, tanpa terlalu memperhatian apa yang gue katakan, melihat dia menundukan kepalanya untuk menulis kata-kata gue, lalu kembali menatap gue, dengan wajahnya, dengan bibirnya dan kakinya juga blusnya, blus sialan yang menutupi buah dada dan putting susu, serta perut dan pahanya yang hot! Gue sedikit gemetar ketika gue berusaha menahan diri gue beberapa menit lagi.

"…nah kira-kira begitu rencana perusahaan ini," gue menyelesaikan penjelasan gue.

Lola menganggukan kepala.

"Begitu. Pak Pangestu, bapak bilang ka…"

"Maaf saya menyela sebentar," kata gue. "Tapi saya ingin menanyakan sesuatu hal. Pak Santoso itu, bagaimana ya…," gue menerawang sejenak, "beliau punya sedikit reputasi yang tidak begitu baik di sini." Lola mengangkat wajahnya dan bertanya-tanya. Gue langsung menatap tepat di matanya yang bulat, wajah gue menampakan raut yang serius setengah mati, "beliau tidak pernah mengganggu kamu kan?"

Lola telihat terkejut sekali, dan gue sama sekali nggak terkejut. Si Santoso itu umurnya hampir 60 taun, dan kalo dia bukan gay pasti di udah di kebiri, soalnya dia sama sekali nggak tertarik sama cewek-cewek macem Lola ini. Dan semua sekretaris bener-bener suka sama dia soalnya dia bener-benar baek sama mereka.

"Tidak." Lola menggelengkan kepalanya. "Beliau tidak pernah mengganggu saya." Lola kembali gugup seperti sedang mempertahankan diri. Gue bener-bener suka melihatnya.

"Siswi praktek yang terakhir tahun kemarin pergi dari sini karena pak Santoso mengucapkan sesuatu padanya," lanjut gue, "dan penampilan siswi itu nggak ada setengahnya kamu." Gue melihat bibir Lola kembali keluar membasahi bibirnya yang kering, melihat betapa tangannya bergerak gugup di pangkuannya. Gue membungkuk mendekati dia, gue bener-bener hampir lepas kontrol waktu dia beringsut menjauh dari gue. "Beliau sering menyombongkan diri pada saya, kamu tau, betapa senangnya dia tidur dengan mahasiswi atau anak SMA di sebuah hotel."

Lalu kantor gue kembali sunyi ketika Lola menatap gue dengan matanya yang indah, seluruh tubuhnya, seluruh tubuhnya yang seksi itu sedikit gemetar ketika ia berusaha memilih tindakan selanjutnya. Ia menunduk dan langsung berdiri, memasukan notes dan bolpen ke dalam rompinya.

"Maaf pak," katanya sambil terus menunduk, "Pak Santoso tidak pernah sekalipun mengatakan sesuatu atau melakukan sesuatu yang mengganggu saya. Terima kasih atas waktu yang sudah bapak berikan."

Gue ikutin dia berdiri, tubuh gue keliatan lebih rileks lagi, sementara pikiran gue berpacu dan mata gue menangkap setiap gerakan Lola yang bergerak menuju pintu dengan gue di sebelahnya, mulut gue mengucapka maaf beribu maaf, gue bilang bahwa gue menyesal kalo udah bikin dia kaget tapi itu kenyataannya.

"Sekarang!" pikiran gue berkata memerintah seluruh badan gue ketika gue merasakan pegangan pintu telah gue pegang, mata Lola masih tetap menatap ke depan acuh pada gue ketika ia berhenti sejenak menunggu gue membukakan pintu buat dia.

Lola melihat apa yang aka menimpanya, tapi ia nggak bisa menghindar, dia nggak punya waktu buat menghindar. Telapak tangan gue udah melayang menghajar muka Lola di sebelah kiri. Lola tersentak, ia menjerit, ia sempoyongan, lebih banyak karena terkejut daripada karena tamparan gue. Gue bergerak mendekati dia bagaikan binatang yang menyergap mangsanya. Lola sempoyongan ke kanan dan sepatunya tertekuk ke dalam membuat dia jatuh di atas lutut kanannya, tangan kanan Lola langsung menumpu tubuhnya agar tidak jatuh tersungkur. Sambil menggeram gue mengayunkan kaki gue menendang tepat di perutnya, membuat tubuh Lola mengejang, suara erangan yang menyakitkan terdengar dari mulut Lola ketika ia kembali jatuh di kedua lututnya, sementara kedua tangan Lola memegangi perutnya, kepala Lola menunduk ketika dia berusaha keras menghirup udara, rambutnya yang ikal menutupi wajahnya sementara air liur yang keluar dari mulutnya membasahi bibirnya yang seksi.

Gue jambak rambut itu, tangan gue langsung menggenggam erat ketika gue tarik rambut Lola ke belakang mendekati tubuh gue, sementara tangan gue yang lain menarik bagian atas blusnya.

"Lo mungkin udah selesai sama gue, tapi gue belon selesai sama lo," kata gue keras. Lola yang semakin hot di penglihatan gue masih berusaha megap-megap menghirup udara ketika gue menarik blusnya robek, kancing blus itu terlempar ke lantai, membuat bagian yang sedari ditutupi blus itu sekarang terbuka. Dada yang halus, mulus dan putih bersih, buah dada Lola ternyata lebih padat dan besar dari yang udah gue bayangin sebelumnya, dilindungi oleh sebuah BH.

Tangan Lola terangkat ke atas mendorong tangan gue menjauh ketika gue sedang meremas salah satu gunungan daging di dada Lola, langsung saja gue tarik lagi rambutnya. Lola mengerang kesakitan, tatapan panik dan ketakutan tampak di matanya ketika ia menatap mata gue.

"Jangan, jangan."

Gue tampar dia sekali lagi, lebih keras dari yang tadi, suara jeritannya terdengar merdu sekali di telinga gue ketika kepalanya terlempar ke samping, sementara tangan gue masih menjambak rambutnya yang ikal dan halus.

"Jangan brisik!" gue tampar dia lagi, jerit kesakitan dan ketakutan Lola bagaikan musik di telinga gue, "Tutup mulut lo!"

Terdengar suara di belakang gue, dan ketika gue berbalik gue melihat pintu kantor gue perlahan membuka dan masuklah Johan dan Toni ke kantor gue. Lola meronta di samping gue, tangannya mencakari lengan gue ketika ia berusaha untuk berdiri.

"Tolong saya! Tolong!" Lola menjerit pada Johan dan Toni, harapan mereka akan menolongnya membuatnya lebih tegar. Lola berhasil setengah berdiri ketika gue berbalik menghadapi dia lagi, tinju gue mengepal dan menghantam dadanya, membuat mata Lola membelalak kesakitan dan kembali jatuh berlutut, kemudian tersungkur di atas kedua tangannya, sehingga sekarang ia seperti merangkak di tanah, seorang gadis yang seksi tersungku di atas tangan dan kakinya, sementara Toni, Johan dan gue berpandangan satu sama lain.

Toni lebih pendek dari gue, keras, tampan dan nggak bermoral sama sekali, itulah kenapa gue pilih dia sebagai partner gue. Ia keliatan seperti seorang akuntan yang baru lulus, tapi itu nggak berbeda jauh denga profesinya yang memang seorang akuntan. Dia udah kimpoi, dua anak cewek, tapi dia sama sekali nggak keberatan kalo musti ninggalin mereka, walaupun dia pernah cerita kalo dia sering nidurin kedua anaknya itu, rada bejat juga tapi itukan bukan anak gue jadi gue nggak peduli. Johan berbeda sama sekali. Ia seperti mandor bangunan yang pake jas. Dia mungkin berotot, tapi dia juga yang paling pinter diantara kita bertiga, dan seorang akuntan yang jago pula, terutama kalo dia musti menghilangkan sejumlah uang dari perusahaan.

Kalo saja orang laen yang masuk ke kantor gue pasti udah gue beresin. Tapi sekarang gue masih menunggu, Lola tersungkur di tangan dan lututnya berusaha menghirup udara, sambil memperhatikan dua rekan gue yang baru saja masuk. Johan mendekati pintu dan gue perhatiin dia. Gue tersenyum lebar ketika gue liat dia menutup pintu dan menguncinya tanpa berkata apapun. Toni memandang Lola lalu memandang gue.

"Ada apaan nih?"

"Hadiah," kata gue, "hadiah buat perpisahan kita dengan kantor ini."

Gue liat mata mereka kembali menatap Lola, yang mulai menguasai dirinya lagi. Gue tau apa yang mereka liat, seorang gadis berlutut di lantai, stocking hitam yang menutupi paha yang indah, rok yang ketat yang menutupi bulatan pantat yang penuh, blus yang ia pakai terbuka dan menggantung di tubuhnya, buah dadanya bergoyang-goyang dan rambutnya yang ikal bergoyang kian kemari ketika gadis itu megap-megap menghirup udara. Nggak ada laki-laki yang bener laki-laki yang nggak mau ngicipin gadis itu saat itu juga.

Lola menatap mereka, memohon dan meratap agar mereka menolongnya.

"Saya mohon, tolong saya," ia meratap, dan gue liat itu menyentuh Toni. Gue liat raut muka Toni langsung berubah, gue liat nafsu dan sadis sudah menguasai seluruh tubuh Toni ketika ia menatap Lola di bawahnya. Lola juga melihat itu dan air mata mulai mengalir dari matanya yang indah, sedu sedan tedengar dari mulut Lola ketika ia menatap ke arah Johan dan menemukan wajah Johan yang tanpa perasaan dengan mata yang berkilat-kilat.

"Gimana kalo lo tunjukin yang lo dapet," kata Toni sambil terus menatap Lola.

Gue nurut, dengan tangan masih di rambutnya gue tarik Lola supaya berdiri, tangan Lola meremas lenganku keras-keras, tapi gue nggak peduli sambil terus menariknya supaya berdiri lagi atas sepatunya yang bertumit tinggi itu. Dan ketika dia sudah berdiri gue pegang tangannya dan gue lipet ke belakang, pantat Lola menyentuh selangkangan gue, membuat penis gue berontak pengen keluar. Gue pegang tangannya yang satu lagi dan melipetnya juga ke belakang jadi satu dengan tangannya yang lain. Dengan tangan dipegangi oleh gue, gue tarik tubuh Lola mendekati badan gue, terus gue gosokin pantatnya ke penis gue yang udah tegang setengah mati, Lola cuma bisa meratap dan menangis dengan perlakuan gue itu.

Gue jambak lagi rambut Lola dengan tangan gue yang masih bebas dan menariknya ke atas, sesaat tubuhnya kehilangan keseimbangan, dan semakin mepet ke badan gue. Buah dada Lola ang bulat dan kencang menyembul ke depan dihalangi oleh BH-nya, air mata menggenang di mata Lola ketika ia melihat Toni mendekati dirinya. Toni menatap mata Lola, dan gue liat Lola menjilat bibirnya dan menelan ludah berusaha tenang dipegangi oleh tangan gue. Toni tersenyum dan mengulurkan tangannya mengelus pipi kiri Lola. Tubuh Lola diam tak bergerak, tapi tetap terasa hangat di badan gue. Jari-jari Toni mengelusi pipi Lola lalu turun meraba kulit yang halus di leher Lola yang putih bersih tak bercela. Lola akhirnya bersuara, suara lebih tenang daripada ketika gue menamparnya tadi, tapi masih tedengar nada ketakutan dan gemetar.

"Lepaskan saya. Saya nggak akan bilang ke siapapun. Tolong lepaskan saya dan saya akan tutup mulut."

Lola menelan ludah lagi, semua diam, menunggu seseorang untuk bereaksi, dan gue masih menunggu reaksi Toni yang tersenyum sambil meletakan tangannya ke bahu Lola, bahu yang gemetar panik dan ketakutan. Sebuah jerit kesakitan terdengar lagi dari bibir Lola ketika Toni mengangkat lututnya dan menghantam tepat di perut Lola membuat lutu Lola menekuk kesakitan, tangan gue mengeraskan pegangannya ketika Lola meronta kesakitan sampai akhirnya dia bisa berdiri karena masih gue pegangin.

Lola kembali menguasai dirinya, masih megap-megap kesakitan, kakinya kembali diluruskan, sempoyongan berusaha berdiri lagi, sementara Toni menatap sambil tersenyum sadis dan gue balik tersenyum pada Toni dari belakang Lola dan Johan hanya memperhatikan semuanya dari seberang, matanya mengatakan bahwa ia menikmati ini semua.

"Siapa yang suruh lo bicara?" kata Toni sambil menggerakan kepala Lola yang lunglai ke kiri dan kanan sambil melihat ke mata Lola yang basah karena air mata.

"Namanya siapa sih?" tanya dia ke gue.

"Lola Amaria." Kata gue singkat.

"Nah Lola," Toni meraba perut Lola yang rata, membuat tubuh Lola meronta berusaha menghindar, tapi Lola mengerti untuk tidak bersuara sedikitpun.

"Nah Lola, lo bener-bener cewek yang cantik. Pernah nggak ada orang yang bilang begitu sama lo?" Tangan Toni sekarang ada di punggung Lola, membuatnya semakin dekat dengan Lola.

"Jawab!" bentak Toni, sambil menarik tubuh Lola mendekat padanya membuatnya semakin jauh dari tubuh gue, sementara gue masih mengosokan penis gue ke pantat Lola, rasa ketakutan dan tak berdaya Lola makin membuat gue bernafsu.

"Yyyaa.." suara yang gemettar, penuh ketakutan dan tak berdaya membuat gue pengen langsung melemparnya ke lantai dan langsung menidurinya saat itu juga.

"Gue yakin udah ada yang pernah ngomong gitu kan," Toni kembali mendekat dan sekarang mulai menjilati leher Lola dengan lidahnya, tangisan Lola semakin membuat Toni bersemangat ketika ia menemukan kancing BH Lola dan mulai melepaskannya. Tangis Lola semakin keras sementara ia diam tak bergerak di antara gue dan Toni, yang masing-masing mengosokan tubuh masing-masing ke tubuh Lola.

Gue mengela nafas ketika gue meraskan tangan Toni sudah melepas kancing BH Lola, dan gue langsung melepaskan pegangan tangan gue dari pergelangan tangan Lola dan gue tarik rompi serta blusnya dari bahu Lola, terus turun ke lengan sementara tubuh Lola dipegangi oleh Toni dari depan. Gue lempar pakaian itu ke lantai dan melihat punggung Lola yang halus dan sangat menggairahkan. Tangan Lola sekarang menahan bahu Toni, dan gue bisa melihat betapa tangan itu gemetar ketakutan, Lola ketakutan untuk melawan dan menolak Toni. Gue melepaskan sepatu gue dan berjalan ke samping di mana gue bisa liat Toni dan mainan kita yang baru dengan jelas.

"Cantik, cantik sekali," bisik Toni, tangannya mengelusi punggung Lola. "sekarang kita liat dada kamu." Toni kemudian menarik turun BH Lola hingga lepas dari tubuhnya sementara tubuh ia masih dalam dekapan Toni. Gue liat mata Lola sekarang menatap kosong, dan penuh dengan air mata, ketakutan, dan putus asa. Gue turunin celana gue dan mengosoki penis gue lewat celana dalem gue sambil melihat Toni bermain dengan Lola, melepaskan BH itu dan membiarkannya jatuh ke lantai di antara mereka.

Tangan Toni mengusap belakang kepala Lola, dan gue liat tubuh Lola kembali gemetar ketika Toni melangkah ke belakang menjauhi Lola, mata Toni melahap habis buah dada Lola, dua buah bukit daging bulat mengacung dari dada Lola, bergantung lepas dan tampak besar bila dibandingkan dengan tubuh Lola yang ramping, puting susunya yang berwarna merah muda tampak mengeras karena kedinginan dan gesekan dengan pakaian Toni tadi. Toni kembali menarik tubuh Lola, dan meredam tangisan Lola ketika ia melumat bibir Lola dengan bibirnya, menarik kepala Lola hingga mendongak dan menciumi bibir Lola serta menjulurkan lidahnya dalam mulut Lola yang hangat.

Sesuatu telah membuat Lola tersadar, karena tiba-tiba ia mendorong tubuh Toni menjauh sekuat tenaga, sambil menjerit.

"TIDAK! TIDAK! Bajingan!" Lola mundur menjauhi Toni seperti binatang yang terluka, tangannya menutupi buah dadanya. Lola memandang ke arah gue, rambutnya menutupi sebagian wajah Lola, wajahnya bersimbah air mata, dan matanya, matanya yang indah itu memancarkan teror dan putus asa, ia kemudian mendekati Johan, matanya memohon dan suaranya histeris meratap pada Johan.

"TOLOOONNGG sayaahhh, hentikan ini semua." Lola mustinya sudah menyadari dari tadi. Raut muka Johan sekarang berubah, dan ia tersenyum pada Lola, dan gue kembali melihat teror kembali timbul di sekujur tubuh Lola ketika ia menyadari bahwa sekarang ia sudah terjebak dan setiap ia memandang mata setiap orang di ruangan itu yang ia lihat hanya nafsu dan kesadisan.

Ia berusaha lari keluar, menghindar dari Toni yang tidak bergerak sedikitpun untuk menghalanginya, tapi gue yang bergerak, gue tabrak dia dengan bahu gue hingga Lola terjengkang dan terbanting ke lantai. Dan langsung saja kita bertiga menyerbu ke arahnya., gue pengen perkosa dia, gue pengen bikin dia sakit dengan penis gue dan denger dia menjerit waktu gue perkosa dia. Gue udah seluruhnya dikuasai nafsu birahi waktu gue menarik sepatunya, kemudian merobek stocking dan roknya sementara Johan dan Toni memegangi tubuh Lola yang meronta dan mengejang, jeritan Lola berbaur dengan nafsu gue menambah semangat gue menelanjangi dia.

"Pegangin dia," gue dengar Toni berkata, dan gue langsung memegangi kakinya yang berusaha nendang gue. Setelah memegangi kedua kaki Lola gue baru bisa menikmati tubuh Lola yang telah telanjang bulat dengan leluasa, tubuh yang terbaring tak berdaya antara gue dan Johan yang memegangi tangannya di atas kepala Lola. My God, dia bener-bener punya badan yang indah, buah dada Lola bergoyang kian kemari ketika Lola meronra-ronta, penuh, bulat dan kenyal, perutnya bener-bener rata dan keliatan kuat karena gue liat otot-otot yang mengejang ketika ia meronta. Dan gila, pahanya, pahanya putih bersih dan halus mulus, di pangkalnya gue liat rambut kemaluan halus hitam menutupi gundukan vaginanya. Gue bener-bener nggak sabar buat masuk ke gundukan itu, penis gue seakan-akan akan meledak ketika gue terus megangin dia dan melihat Toni berdiri di samping tubuh Lola, dengan ikat pinggang di tangan, matanya berkilat liar dan nafasnya mendengus-dengus.

"Pukul dia Ton!" Johan berkata dan gue juga melihat pancaran birahi dan sadis dari matanya ketika ia memandang Lola.

"JANGAAANNN!" Lola menjerit sementara matanya mendelik ketakutan ketika ia melihat ikat pinggang itu mengayun ke perutnya, suara ikat pinggang kulit yang beradu dengan perut Lola sekeras jeritan Lola yang melolong. Ia mengejang di tangan gue, sambil terus gue pegangin, Lola meronta kesakitan ketika Toni mengayunkan lagi ikat pinggangnya terarah ke buah dadanya, membuat gundukan itu bergoyang-goyang liar sementara Lola terus menjerit dan mulai menangis lagi.

Toni terus memecuti Lola, mengayunkan ikat pinggang kulit itu tubuh Lola yang putih bersih, ke buah dadanya, perutnya, pahanya, membuat tubuh Lola menjadi belang kemerahan sementara Lola sendiri meronta dan menjerit dan menangis dipegangi oleh gue dan Johan. Gue nggak bisa mengalihkan pandangan gue dari tubuhnya yang terkejang-kejang, rontaannya, tubuhnya memilin, menekuk, dan menjerit-jerit. Nggak ada yang lebih menggairahkan gue dari pada melihat gadis yang sedang menjerit-jerit kesakitan. Gue harus perkosa dia.

Gue lepasin pegangan gue, melepaskan celana dalem gue dan baju gue sementara Lola menarik kakinya hingga menutupi dadanya, dengan tangan masih dipegangi oleh Johan. Suara yang terdengar dalam ruangan itu hanya tangisan Lola, tangisan yang benar-benar menyayat hati, yang membuat penis gue makin bergoyang-goyang ingin segera memuntahkan isinya. Gue berjongkok dan menarik kaki Lola lalu membukanya, pikiran gue sudah gelap ketika gue menindih tubuh Lola membuatnya Lola terhenyak di sela-sela tangisannya. Gue meraba kaki Lola yang panjang dan merasakannya bersentuhan dengan kaki gue, membuat tubuh gue ikut gemetar karena nafsu. Gue merasakan buah dada Lola yang ditindih oleh dada gue, perut Lola yang hangat naik turun di bawah perut gue, tubuhnya sekarang hanya sebuah mesin untuk muasin nafsu gue, untuk muasin birahi gue.

Gue meraih penis gue dan memeganginya, memandang ke arah Lola yang memalingkna wajahnya dari gue, matanya terpejam erat-erat sementara di pipi dan dahinya menempel rambut yang lengket karena keringat dan air mata. Gue mengarahkan penis gue ke vagina Lola, cairan yang keluar dari penis gue membasahi vaginanya, membantu gue membuka bibir vagina Lola sampai gue merasakan liang vagina gue tepat di depan kepala penis gue. Lole mengerang dan merintih, tubuhnya kembali meronta-ronta, giginya menggeretak ketika gue jambak rambutnya dan menariknya hingga mendongak sehingga gue bisa menciumi bibirnya yang sensual, menikmati jeritan Lola ketika gue menghujamkan penis gue ke vaginanya yang kering kerontang, menikmati rasa sakit dan ketakutan Lola ketika gue mulai memperkosanya.

Gue masukin lidah gue ke mulut Lola yang hangat dan basah, tubuh gue bagai terbakar ketika merasakan jepitan vagina Lola di batang penis gue ketika kepala penis gue menembus selaput daranya, kaki Lola terangkat karena kesakitan dan rintihan terdengar dari tenggorokannya. Tubuhnya mengejang berusaha melawan ketika gue mulai bergerak dengan keras di vagina Lola, gue tarik penis gue sampai tinggal kepalanya di vagina Lola sebelum gue dorong lagi masuk ke dalam rahimnya. Dia bener-bener gila, sungguh gila, menggairahkan, masih meronta-ronta di bawah tubuh gue, kakinya masih bisa bergerak-gerak berusaha menutup, masih terus merintih dan menangis dan tersedak dan gue merasakan betapa tersiksanya dia lewat lidah gue yang ada di mulutnya.

Gue merasakan cairan di penis gue yang ada di dalem vagina Lola, sebagian pasti darah perawan Lola yang keluar ketika gue merobek selaput daranya, sebagian lagi mungkin cairan penis gue yang keluar sebelum gue bener-bener ejakulasi, tapi cairan itu membuat gerakan gue makin lancar, dan penis gue mulai berdenyut-denyut menyebar ke seluruh tubuh gue. Setiap kali gue dorong penis gue masuk Lola mendengus. Gue melepaskan bibir gue dari mulut Lola dan menjilat turun ke lehernya, berhenti bergerak di vagina dia berusaha menikmati setiap saat dari perkosaan gue selama mungkin, gue pengen ngerasain ini selamanya ketika tubuh gue bergetar lepas kontrol waktu gue menyedot leher Lola yang jenjang dan putih, sementara penis gue terbenam seluruhnya dalam vagina Lola.
Gue terus menahan penis gue di dalam vagina Lola, menikmati sensasinya, menikmati tangis kesakitan dari mulut Lola. Gue lalu mulai bergerak lagi, memperkosa dia pelan-pelan, lalu brutal dan menyakitkan, merasakan kenikmatan yang makin memuncak, memaksa gue sekali lagi untuk bergerak pelan-pelan, memaksa gue bergerak berirama, merasakan orgasme gue yang kian dekat, gue tau sebentar lagi gue bakalan keluar, dan gue akan keluarin semua sperma gue di dalem tubuh Lola yang sedang merintih di bawah gue. Gue makin keras menyedot leher Lola dan mulai mengigitinya, tangan gue meremas rambut di kepalanya, tubuh gue menyatu dengan tubuh Lola, dengan lehernya, dadanya, buah dadanya, perutnya, vaginanya, dengan vaginanya yang sempit dan hangat menjepit erat, pahanya, hingga betisnya. Gue merasakan semuanya ketika erangan kecil keluar dari dada gue.

Gue akan keluar, gue mau keluar, gue akan meledak sebentar lagi, biarpun gue berusaha menahan sekuat tenaga tapi gue nggak bisa menghentikannya ketika gue mengerang, mendengus bagaikan banteng, otot paha gue menegang ketika penis gue berdenyut-denyut tak terkendali di dalam vagina Lola, menyemburkan sperma demi sperma ke rahimnya yang terluka, kenikmatan yang amat sangat seakan-akan menyakitkan tubuh gue, membuat nafas gue tersengal-sengal. Dan Lola menyadarinya, dia sangat sadar bahwa gue sudah mengalami orgasme dan itu membuat gue makin nikmat karena dengan begitu dia tahu bahwa gue sudah menaklukan dirinya, dan gue telah menyetubuhi dan meyemburkan sperma gue ke dalam tubuhnya. Gue terbaring selama satu menit penuh, tubuh gue lemas karena kenikmatan yang bertubi-tubi, tubuh gue sesekali bergidik dan bergerak-gerak teratur terangkat oleh gerakan dada Lola yang menangis.

Gue angkat tubuh gue dari atas tubuh Lola, penis gue masih keras dan tegang waktu gue tarik dari vagina Lola. Gue berdiri dan memperhatikan Lola, tubuh seksi yang barusan saja gue nikmatin. Gue remas penis gue, membuatnya berdenyut dan melonjak lagi karena gairah ketika gue lihat kaki Lola yang ramping, yang sekarang tertekuk tak berdaya, melihat pinggulnya yang bulat, melihat perutnya yang rata, buah dadanya yang masih menakjubkan bergerak karena sedu sedan Lola, pada wajahnya yang seperti model, yang semakin cantik dengan rasa sakin dan air mata. Gue bergidik lagi dan menatap Johan yang sedang menatap Toni.

"Giliran siapa?"

Toni mengangguk ke arah Johan, yang tersenyum dan mengangkat tubuh Lola dengan tangannya. Lola sempoyongan dipegangi oleh Johan di lengannya, dan menyeretnya ke meja gue. Lola tak bersuara ketika Johan membungkukan tubuhnya ke meja gue, hingga sekarang mulai pinggang hingga kepala Lola terbaring menelungkup di atas meja gue, semetara kakinya masih di lantai. Ketika gue pergi ke seberang meja dan memegangi pergelangan tangan Lola gue dapet ide. Gue ambil pita perekat dari meja gue dan mengikat kedua pergelangan tangan Lola jadi satu. Lola tidak sekalipun melihat ke arah gue, dia hanya berdiri, dengan setengah tubuhnya terbaring di meja, ketika gue terus mengikat pergelangan tangannya dengan perekat. Dia bener-bener gadis yang cantik pikir gue. Setelah selesai gue tarik tangan Lola hingga tergantung di sisi lain meja gue, sekarang kepala Lola tergantung di pinggir meja, buah dadanya menjadi bantalan bagi tubuh Lola di meja, menempel pada meja kayu jati itu.

"Pantatnya bener-bener bikin gue gila," kata Johan sambil merabai dua bulatan pantat Lola. Lola memang punya pantat yang sempurna, apalagi kalau dibandingkan dengan tubuhnya yang ramping, bentuknya sempurna, penuh, lembut, halus dan tanpa noda. Gue harus masukin juga ke sana pikir gue ketika gue liat Johan meraba, meremas dan menarik pantat Lola, membuat Lola melonjak di meja gue sementara gue terus menahan tangan Lola. Johan segera melucuti pakaiannya, sambil terus memandang pantat Lola yang luar biasa itu. Penis Johan langsung mengacung keluar, dan gue tersenyum. Penisnya besar, dan panjang juga, hampir 20 senti, dan Johan siap memasukan semuanya ke tubuh Lola. Gue pengen tau juga bagaimana perasaan Lola waktu nanti Johan masukin penisnya ke badannya, memperkosanya dan menyakitinya. Gue jambak lagi rambut Lola dan mengangkat kepalanya sehingga gue bisa liat wajah Lola, wajah Lola berkilat karena air mata dengan bibir dan mata yang sempurna bagi gue. Mata Lola terpejam tapi dengan melihat ekspresi wajah Lola gue bisa tau apa yang sedang dikerjain Johan pada tubuh Lola. Pasti Lola merasakan sakit yang luar biasa waktu Johan masuk ke tubuhnya, walaupun gue udah membasahi vaginanya dengan sperma dan darah perawannya. Wajah Lola mengerenyit dan gemetar, erangan keluar dari mulutnya pada saat bersamaan. Gue dengar Johan juga mengerang, setelah itu terdengar suara daging bergesekan dengan daging, dan gue tau Johan sudah masuk ke vagina Lola. Bibir Lola bergetar, air mata mengalir lagi dari matanya ketika gue denger suara tubuh berbenturan dengan tubuh yang lain, terus berulang-ualang. Johan memperkosa Lola dengan brutal dari belakang, seperti seekor anjing, sementara gue terus mengangkat kepala Lola, melihat wajahnya, menghembuskan nafas gue ke wajah Lola, melihat rasa sakit dan sengsara yang terlukis bergantian di wajah Lola, dan Lola tahu bahwa gue sedang memandang wajahnya dan itu bagi Lola sama hinanya dengan diperkosa.

Gue terhanyut, terhanyut oleh wajah Lola, ketika gue denger suara lain, dan gue liat mata Lola terbelalak karena sakit dan shock, mata yang bulat hitam dan berkilat karena air mata, melihat bibirnya yang membentuk huruf ‘O’ sambil menjerit kesakitan. Gue tau itu pasti Toni, dan itu pasti ikat pinggangnya yang diayunkan ke punggung atau pantat Lola, tapi gue nggak bisa melepas pandangan gue dari wajah Lola, dari mata yang penuh penderitaan dan putus asa tapi berkilat indah. Gue bergidik dengan birahi yang memuncak lagi, penis gue menegang lagi, menyakitkan, ketika gue liat wajah Lola yang berkerut kesakitan dan penuh rasa malu.

Gue dengar Johan mendengus dan mendengus lagi, dan gue tau kalo dia baru saja ejakulasi di vagina Lola, dan Lola juga menyadarinya, dan ia lalu memejamkan matanya yang berlelehan air mata dan kembali menangis tersedu-sedu, dan setiap pecutan Toni mengayun, tangis kesakitan kembali terdengar dari dada Lola. Suara pecutan kemudian berhenti, dan gue melepaskan pegangan gue di rambut Lola, membiarkan kepalanya terjatuh lagi. Gue berdiri dan berpikir seharusnya gue juga mencoba mulut Lola sekarang juga, tapi Toni masih belum dapet giliran.

"Dia bener-bener hebat," kata Johan, sambil masih melihat ke pantat Lola. "Cewek yang bener-bener hot. Waktu lo pukul dia pake iket pinggang lo Ton, gue kira barangnya bakal bikin punya gue putus saking kerasnya ngejepit." Toni cuma tersenyum dan kita semua berpandangan satu sama lain dan tersenyum.

Toni membuat sebuah gerakan dan gue mengangguk ke Johan. Johan menarik Lola dengan menjambak rambutnya, membuat kepala Lola terangkat dan kemudian dadanya, membuat buat dada yang tadi tertindih menyembul tegak lagi, sebelum tubuh Lola terlempar lagi ke lantai, rambut Lola menutupi wajahnya sementara tangannya yang masih terikat menumpu tubuhnya yang terbaring miring, dan kaki Lola yang indah menekuk di lutut. Gue pegang penis gue merasakannya berdenyut lagi. Lola, Lola bener-bener sesuatu yang memabukan.

Toni berjalan memutar dan mendorong kursi gue, kursi besar dari kulit yang biasa dipakai para wakil presiden direktu perusahaan internasional, ke depan Lola. Toni lalu melucuti pakaiannya sendiri, tapi matanya tidak lepas dari tubuh Lola. Ruangan itu sunyi lagi, yang terdengar hanya suara pakaian Toni yang dilempar ke atas lantai dan tangisan Lola yang lirih.

Ketika telah telanjang bulat Toni duduk di kursi gue, merosot sedikit, dan memegang penisnya hingga mengacung ke atas.

"Coba kamu ke sini Lola," katanya, mata Toni penuh birahi, "dan kulum punya gue."

Kita semua menungggu, memperhatikan Lola, setengah berharap ia akan menurut dan setengah berharap ia akan menolak, sehingga membuat kita punya alasan buat menyiksanya lagi dan menyakiti tubuh yang indah itu. Ia terisak sekali dan kemudian mulai bergerak, merangkak dengan lututnya, menuju ke arah Toni, rambutnya yang panjang dan ikal menempel di wajah, buah dada dan punggungnya.

Gue memperhatikan dengan penis gue di tangan gue, ketika ia sampai di dekat Toni dan ia meraih penis Toni di pangkalnya dengan tangannya yang terikat, setelah itu membuka bibrnya yang penuh dan sensual itu, lalu mendorong mulutnya ke penis Toni. Ya Allah, gue pengen sekali meperkosa dia saat itu juga, tubuh yang penuh sensasi. Ya Allah, dia bener-bener merangsang, berlutut seperti itu, sementara kepalanya mengangguk-angguk ketika ia melayani Toni, pipi Lola menghisap dan mengulum dengan penis Toni di mulutnya, sebagian rambut jatuh di wajahnya.

Gue memandang Toni, melihat raut mukanya yang kecewa.

"Dia nggak tau bagaimana mengulum yang bener," kata Toni, sambil memandang gue, tangan Toni sekarang meremas rambut Lola ketika ia memegangi kepala Lola. "Cewek ini nggak bisa make mulutnya buat muasin gue." Lola merintih mendengar perkataan Toni, dan mengikuti pandangan Toni yang sedang melihat ke ikat pinggang kita yang tergeletak di lantai. Gue tersenyum pada Toni dan mendekati Johan, mengambil ikat pinggang gue, melihat tubuh Lola gemetar lagi seakan tahu apa yang akan terjadi sebentar lagi, kepalanya bergerak makin cepat di penis Toni, hampir putus asa.

Gue berdiri di belakang Lola, dengan ikat pinggang di tangan gue, ujung ikat pinggang itu mengayun-ayun di tangan gue, Johan ada di sebelah gue, Otot tubuh Toni menengang memegangi Lola. Tangan gue dan Johan terangkat dan mengayunkan ikat pinggang masing-masing ke pantatnya, keduanya mengenai sasaran, tubuh Lola melonjak kesakitan sementara lolongan kesakitan terdengar dari tenggorokannya, diredam oleh penis Toni yang masih ada di mulut Lola. Gue memecut lagi ke arah pantatnya, Lola menjerit lagi, gue berhasil membuat tanda merah di pantatnya ketika Lola menjerit kedua kalinya, dan yang ketiga ketika ikat pinggang Johan mendarat ke pahanya, kepala Lola terlonjak sedikit ketika Toni menekan kepalanya turun ke pangkal penis Toni. Jeritan Lola berubah menjadi batuk dan suara tersedak, walaupun kita berdua masih terus memukulinya, penis Toni rupanya masuk hingga tenggorokannya.

Gue bisa melihat sekarang, gue melihat benjolan kepala penis Toni di tenggorokan Lola, mata Lola menatap liar, tubuhnya meronta-ronta karena rasa sakit, panik dan kekurangan udara, tangannya menggapai-gapai di bawah, terlalu takut untuk mendorong tubuh Toni yang dengan tangannya menahan kepala Lola agar tetap di pangkal penisnya. Gue mengayunkan ikat pinggang gue lagi, membuat suara jeritan terdengar lagi ketika ujung ikat pinggang gue yang dilapisi logam menghajar punggung Lola yang mulus, tubuh Lola mengejang sama seperti tadi ketika ia diperkosa dan dipukuli.

Toni bener-bener brutal, dengan kedua tangan di sisi kepala Lola, meremas rambut Lola, ia menggerakan kepala Lola di penisnya, menghujamkan wajah Lola ke selangkangannya ketika ia memasukan seluruh penisnya hingga ke tenggorokan Lola. Kita berdua juga brutal, ketika kita mengayunkan ikat pinggang ke pantat Lola, paha Lola bahkan punggung Lola ketika kita berbarengan menyiksa tubuh cantik yang terus menjerit, gemetar, mengejang dan berkeringat. Pikiran gue sudah berkabut, walapun tangan gue sudah lemas, pantat dan paha Lola sudah bilur-bilur kebiruan karena terus dipukuli, jeritannya makin keras dan melolong-lolong, penis gue sudah tegang sekali seakan-akan ingin meledak ketika gue liat Toni terus menghujamkan wajah Lola ke pangkal penisnya dan sekarang menahannya di situ dan gue sadar Toni sedang berejakulasi di tenggorokan Lola, menggeram ketika ia terus menahan kepala Lola.

Ini sudah terlalu lama, gue sudah nunggu terlalu lama. Gue musti perkosa dia lagi, gue musti menikmati lagi Lola Amaria yang sedang jadi mainan kita. Gue jambak lagi rambut Lola, di pangkalnya dan menariknya dengan kasar dari pegangan Toni, air liur Lola dan sperma Toni mengalir keluar dari mulutnya ketika gue seret dia sekitar dua meter dari Toni dan melemparkannya hingga jatuh tertelungkup. Gue berlutut di belakang dia, dan meraih pinggul Lola yang bulat, dan menarik pantatnya yang biru-biru hingga menungging, penis gue bergoyang-goyang di depan gue sementara gue menggeram bagai binatang, mengarah ke vagina Lola yang terluka.

Gue masuk lagi dengan brutal, berharap gue kembali menyakiti Lola, berharap dia menjerit kesakitan, tapi yang gue dengar hanya suara mengerang ketika penis gue masuk ke rahim Lola. Gue bergoyang keluar masuk sebanyak tiga kali, vagina Lola masih sangat sempit dan nikmat, gue hampir saja diam tak bergerak di situ. Tapi pantat Lola, dengan liang anus berkerut berwarna kecoklatan terlihat seperti menggoda gue, jari-jari gue membuka belahan pantat Lola yang memanggil-manggil gue. Gue meringis ketika gue tarik penis gue dari jepitan vagina Lola dan mengarahkannya ke liang anus Lola.

Reaksi Lola bener-bener menggairahkan. Rintihan dan ratapan keluar lagi dari bibir Lola.

"Jangan, jangan, saya mohon, ya Allah, jangan, ya Allah, ya Allah!" Lola merintih dan meronta sekarang lebih kuat dari pada yang gue duga sebelumnya, lututnya terangkat dari lantai, otot-otot di pantatnya mengejang berusaha menutup, pinggulnya bergoyang berusaha melepaskan diri dari pegangan gue. Tapi gue nggak peduli. Nggak ada yang bisa menghalangi gue buat menikmati pantat Lola. Dan gue pegangin dia, di pinggulnya, penis gue yang sudah dibasahi oleh vagina Lola, menekan ke liang anus Lola, tubuh Lola menggeliat dan meronta dalam pegangan gue sembari memohon agar gue berhenti, dan melakukan apa saja, apa saja selain sodomi.

Gue menekan lebih keras lagi, jari-jari gue membuat memar baru di pinggul Lola, ketika gue merasa liang anus Lola mulai terbuka, jeritan pelan mulai terdengar dari mulut Lola, keluar dari dada Lola, dada dengan payudara yang bulat yang sekarang tertindih tubuh Lola di lantai yang terus berusaha merangkak menjauh dari gue. Setelah itu yang gue dengar hanya jeritan Lola yang melengking hingga akhirnya terputus sendiri ketika kepala penis gue berhasil menembus masuk anus Lola, membuat gue gemetar karena sensasi yang timbul. Sempit, sempit sekali sampai membuat nyeri, semakin nyeri ketika gue paksa penis gue masuk lebih dalam lagi, dan lebih dalam lagi, jeritan Lola berubah menjadi lolongan ketika telapak tangan Lola mengepal menahan sakit, dahinya terbenam ke karpet ketika lolongan Lola berubah lagi menjadi tangisan kekalahan dan kesakitan bersamaan dengan masuknya sisa penis gue ke anus Lola yang terus menjepit dan memijati batang penis gue.

Gue tarik lagi penis gue keluar, menikmati gerakan tubuh Lola yang kesakitan, dan kemudian mendorongnya masuk lagi sekeras-kerasnya ke dalam anus yang sempit luar biasa itu. Gua nggak punya pikiran lain selain menyodominya, dan terus menyodominya, menyodomi anus Lola, dengna brutal, sekuat tenaga, dan menikmati setiap rasa sakit yang dirasakan oleh Lola, rasa teror yang dialami Lola, kekalahannya. Gue sadar ketika gerakan gue di anus Lola mulai lancar, Johan berlutut di depan Lola, dan gue liat penis gue kembali berlumuran darah ketika gue menarik penis gue keluar untuk yang kesekian sebelum mendorongnya masuk lagi. Johan ada di depan Lola, menarik rambutnya dan memegang kepala Lola dengan kepalanya, menarik rahang Lola, memaksanya membuka mulut, dan memasukan penisnya ke dalam mulut Lola dan memperkosanya sebrutal gue yang ada di anusnya.

Gue nggak tahu berapa lama kita memperkosa Lola, gue di anus dan Johan di mulut, tubuh Lola terus menerus mengejang dan gemetar dengan suara mengerang lirih kesakitan dan mulutnya. Gue tenggelam di kabut birahi dan nafsu, seluruh pikiran gue gue pusatin di penis gue, pada dua buah bulatan daging yang merupakan pantat Lola, gue terus bergerak, keluar, masuk, keluar, masuk, dan gue merasa orgasme gue kembali datang, menyakiti penis gue, mengingat gue baru saja orgasme beberapa saat yang lalu, tapi gue menikmati rasa sakit itu, rasa sakit yang sangat nikmat sementara gue terus bergoyang di pantat Lola hingga akhirnya gue tersentak, seluruh tubuh gue tersentak dan gue ejakulasi di dalem anus Lola, penis gue berdenyut dan menggelinjang terus dan terus ketika gue memuntahkan sperma gue ke anus Lola, menaklukan lagi gadis itu, gadis yang amat sangat merangsang gue, Lola Amaria.

Gue terdiam beberapa saat, mendengar Johan yang mendengus menyelesaikan hajatnya di mulut Lola, dan gue menarik penis gue keluar, mendesis ketika anus Lola kembali menjepit batang penis gue erat-erat untuk terakhir kalinya sebelum gue jatuh terduduk. Gue duduk di situ semenit, melihat Johan yang menarik penisnya dari mulut Lola dan berdiri, membiarkan tubuh Lola jatuh tersungkur ke lantai lagi.

Gue menggelengkan kepala gue, mengerjapkan mata gue dan berjalan ke kursi dimana Toni sedang beristirahat dan duduk. Toni sedang memandangi Lola, alat hiburan kita bertiga. Kaki Toni menendang tubuh Lola beberapa kali, tidak keras. Kemudian ia mengulurkan tangannya dan menggulingkan tubuh Lola hingga terlentang.

"Bener-bener cantik dia," katanya, mengucapkan apa yang ada di pikiran gue. Lola, Lola Amaria, terbaring tak berdaya di lantai. Tangannya dengan pergelangan tangan masih terikat terangkat ke atas kepalanya, membuat tubuhnya makin ramping, semakin tinggi, dan langsing. Buah dadanya masih mengacung di dadanya, memerah dan bilur-bilur karena pukulan-pukulan Toni. Lehernya panjang, halus dan putih, terlihat seperti menelan ludah beberapa kali, dan setiap kali menelan Lola terlihat kesakitan, nafasnya terdengar berat dan terputus-putus. Darah tampak sedikit mengalir dari hidungnya dan bibirnya, bibirnya yang penuh dan sensual itu bilur-bilur membiru. Mata Lola terpejam, dan alis matanya tampak semakin menarik dengan wajah yang basah karena air mata dan keringat. Pinggangnya ramping dan perutnya, gemetar pelan ketika ia mengerang kesakitan, perkosaan dan pukulan kita pada Lola membuat ia tidak bisa berbaring tanpa kesakitan.

Bagi gue nggak ada yang lebih merangsang gue daripada melihat cewek yang sedang kesakitan, dan Lola Amaria di depan gue ini sedang kesakitan setengah mati. Gue pikir kita bertiga bener-bener terkagum-kagum karena kita semua cuma berdiri dan duduk di situ dan memandangi Lola, menikmati setiap jengkal tubuh Lola yang sedang menggeliat-geliat kesakitan. Toni membuyarkan lamunan itu, ia bangun dan mendekati tumpukan pakaiannya, penis Toni mengacung tegang ketika ia sedang merogoh-rogoh kantong bajunya, mengeluarkan satu pak rokok dan zippo. Ia menyalakan satu batang rokok, menghisap dan berjalan mendekati dan berdiri dekat dengan kaki Lola, memandangi tubuh Lola di bawahnya. Gue menarik kursi gue supaya gue bisa melihat apa yang dikerjakan Toni lebih jelas lagi, ketika Toni berlutut dengan rokok masih ada di bibirnya.

Toni menarik kaki Lola, tidak menghiraukan erangan sakit dari Lola ketika ia mengangkat kaki Lola dan menyangkutkannya ke bahunya sendiri. Ia bersandar ke depan, penis Toni tepat mengarah ke vagina Lola yang memerah karena diperkosa beruntun, tubuh Toni hanya ditumpu oleh kaki Loa dan satu tangan Toni. Lola sama sekali tidak membuka matanya, hanya mengerang ketika Toni menekan penisnya ke vagina yang sudah kesakitan, membenamkannya hingga pangkal. Ia menahannya di situ, menatap wajah Lola di bawahnya, wajah Lola yang cantik, dengan rokok yang masih menggantung di mulutnya.

Gue membeku dan tersenyum ketika gue liat Toni menarik rokok itu dari mulutnya dan memandang Johan, yang mendekat dan berlutut menindih tangan Lola. Lola membuka matanya, melihat Johan yang memandangi dirinya, menatap ujung rokok yang menyala. Gue tau, Johan tau dan Lola pun tau apa yang akan dilakukan oleh Toni dan mata Lola, mata yang bulat semakin membesar dan air mata kembali mengalir tanpa terdengar isakan, bibir Lola terbuka seakan-akan ingin memohon pada Toni tapi tahu bahwa itu percuma.

Ujung rokok itu mendekat perlahan, dan tubuh Lola mulai meronta-ronta ditindih oleh tubuh Toni, menggeliat, mengejang, meronta, buah dada Lola bergoyang-goyang ketika Lola meronta tanpa bersuara, berat tubuh Toni membuatnya tidak berdaya. Ujung rokok yang menyala itu menyentuh buah dada kanan Lola, membuat jeritan Lola kembali terdengar bersamaan dengan terbakarnya daging payudara kanan Lola yang sudah berkeringat. Toni menghisap rokoknya lagi, membuat ujungnya menyala-nyala lagi, dan mendekatkannya lagi ke payudara kiri Lola, perlahan dengan penis masih terbenam di vagina Lola. Lola menjerit lagi, punggungnya melengkung kesakitan, tubuhnya meronta berusaha melawan Toni.

Selama setengah jam Toni terus menyiksa Lola, menyulut, menghisap, menyulut, menghisao, menyalakan sebuah rokok baru setiap kali rokok yang lama habis, membuat Lola menjerit dan menjerit dan menjerit hingga akhirnya Lola hanya bisa melolong lemah, dengan tubuh yang terus mengejang dan mencoba berguling sementara Toni terus menahannya denga penis terbenam dan dijepit oleh vagina Lola, Toni menahan penisnya hingga vagina Lola yang menjepit setiap kali Lola kesakitan membuatnya seperti dipijati oleh vagina Lola sendiri. Kemudian Toni meremas buah dada Lola, meremasnya keras-keras dengan kedua tangannya, membuat Lola kembali melolong seperti binatang yang terluka, tubuhnya menggelinjang sementara Toni mulai menggerakan penisnya di vagina Lola dengan brutal, payudara Lola terasa perih ketika luka bakar di buah dadanya terbuka karena remasan tangan Toni, kuku Toni menghujam ke daging buah dada Lola.

Toni menggeram, menumbukan pinggulnya ke pinggul Lola, kuku jari Toni membuat buah dada Lola terluka dan mengeluarkan setetes darah, lolongan Lola bersahutan dengan erangan Toni ketika ia berejakulasi, mengisi rahim Lola dengan air mani. Selama beberapa detik tubuh Toni tegang tak bergerak di atas tubuh Lola, lalu semuanya berakhir, dan ia tersungkur ke tubuh Lola yang terisak-isak. Selama beberapa menit Toni tetap berbaring sebelum ia berguling dan berdiri, meninggalkan Lola yang terlentang di atas lantai, kaki Lola terbuka lebar, tangan Lola menutupi buah dadanya yang terluka ketika ia menangis keras dengan kesakitan.

Gue nggak tau kenapa, tapi Lola dan tubuhnya serta tangisannya membuat gue pengen menyakitinya lagi, membuat gue pengen dengar dia menangis, menjerit dan minta ampun pada gue. Gue menunduk di antara kaki Lola, satu tangan gue memegang pahanya dan bahu gue menahan paha Lola yang lain, wajah gue hanya beberapa senti dari vagina Lola yang memerah dan terluka. Dari belahan vaginanya mengalir sperma yang tercampur titik-titik darah turun ke belahan pantatnya. Gue bisa liat clitorisnya, juga memerah dan memar di tumbuhi sedikit rambut kemaluan.

Dengan dua jari gue membuka labia Lola yang ada di sekitar clitoris Lola. Tangan gue yang satu lagi mengulur dan memegang clitoris yang merah itu dengan jempol dan telunjuk gue, mendengar tangisan Lola makin keras, merasakan pahanya gemetar, lalu gue jepit clitoris itu, membuat lolongan Lola kembali membahana, pahanya mengejang berusaha menutup kakinya, tapi bahu gue menghalangi usahanya yang sudah tak bertenaga.

Gue jepit, tarik dan membenamkan kuku jari gue ke daging kecil yang sensitif itu, membuatnya kembali menjerit dan menggeliat ketika gue menyakitinya lagi. Gue menarik tangan gue lagi, membuat tubuh Lola rileks lagi.

Toni kembali mendekat dan menyeret tubuh Lola dan melemparkannya ke atas meja gue lagi. Pantat Lola menungging ke atas seakan-akan siap menerima Toni.

Toni membuka belahan pantat Lola dengan kedua tangannya dan memasukan penisnya masuk dengan satu kali dorongan yang keras. Lola mengerang, dia terus mengerang setiap saat sekarang, seluruh tubuhnya telah kesakitan, buah dadanya semakin membuatnya kesakitan karena tertindih tubuhnya sendiri di atas meja. Gue berjalan ke seberang meja dan menjambak rambutnya lalu memasukan penis gue ke mulut Lola, masuk terus hingga ke tenggorokannya, merasakan hangatnya lidah dan tenggorokan Lola di seluruh bagian penis gue, tenggorokan Lola juga menjepit kepala penis gue, dan lembutnya bibir Lola melingkari pangkal penis gue. Lola kembali diperkosa di anus dan di mulut, dengan kasar dan brutal karena kita berdua harus berusaha keras untuk dapat mencapai puncak untuk yang ketiga kalinya di tubuh ini, ke dalam tubuh gadis yang tidak ada bandingannya, ke dalam tubuh Lola Amaria.

"Ambilin gue pin." Gue denger Toni berkata dan gue tersenyum lagi ketika gue liat Johan mengangsurkan beberapa pin dari meja gue, yang langsung dibenamkan Toni ke pantat Lola.

Jeritan Lola mengalir ke penis gue, membuat gue mengerang nikmat. Pin kedua kembali ditancapkan ke pantat Lola, dan jeritan kedua membuat gue gila karena birahi. Gue nggak bisa orgasme, cewek ini sudah menghabiskan seluruh sperma gue sebelumnya. Sakit sekali rasanya testis gue yang berusaha mengeluarkan sperma ke mulut Lola. Toni sudah berhenti menancapkan pin, tangan dan pinggul Toni menumbuk-numbuk pin di pantat Lola membuat jeritan Lola sambung menyambung mengalir ke penis gue, membuat gue tenggelam dalam kenikmatan dan frustasi dalam usaha gue berejakulasi.

Pantat Lola pasti bener-bener memuaskan Toni karena gue liat mata Toni membalik dan ia melolong nikmat ketika ia kembali menyemburkan spermanya ke dalam tubuh Lola, Lola yang cantik. Setelah selesai Toni menarik penisnya keluar, gue juga menarik penis gue dari mulut Lola dan melihat wajahnya yang memar, darah kemabli menetes dari hidungnya, dan menetes ke penis gue.

Gue mundur dan Johan mengulurkan tangannya meremas buah dada Lola dan menariknya ke atas hingga Lola dipegangi oleh Johan di buah dadanya, membuat Lola mengerang ketika penisnya menembus masuk ke anus Lola, pantat Lola masih ditancapi oleh pin yang makin menusuk ke dalam daging pantat Lola ketika Johan terus mendorong penis sepanjang 20 senti itu masuk ke anus Lola. Lola menjerit sekali, ketika kepala penis Johan masuk membuka liang anusnya, dan kemudian mengerang setiap kali Johan bergerak keluar dan masuk.

Penis gue terus berdenyut ketika gue melihat Lola, dipegangi oleh Johan, sementara kepalanya mengangguk-angguk seirama dengan goyangan pinggul Johan, rambut Lola bergoyang kesana kemari di sekeliling kepala Lola, matanya, matanya yang bulat indah membelalak karena kesakitan dan shock, mulutnya menganga mengeluarkan erangan yang berirama dengan gerakan Johan, bibir Lola bilur membiru, darah masih menetes dari hidungnya mengalir ke dagu, terus turun ke lehernya jenjang hingga ke belahan buah dada Lola.

Gue naik ke atas meja dan berlutut di depan Lola, meremas pantatnya yang mempesona untuk mendengar jerit kesakitan Lola, kemudian memasukan penis gue vagina Lola, tubuh Lola seperti boneka di jepit oleh gue dan Johan. Vagina dan anus Lola kembali dimasuki oleh dua buah penis bersamaan, membuat tubuh yang terluka, memar dan kesakitan itu bergoyang-goyang maju mundur.

Penis gue masih dijepit erat oleh vagina Lola yang tampaknya tidak akan pernah melebar. Dan orgasme gue datang. Gue orgasme sekuat tenaga gue, tangan gue meremas pantat Lola, testis gue seakan-akan ditarik dari penis gue ketika gue ejakulasi. Gue orgasme untuk yang ketiga kalinya malam itu. Johan selesai menyembur, tangannya melukai lagi buah dada Lola yang memar, terbakar dan berdarah dan kemudian ketika gue selesai tubuh Lola langsung ambruk terguling dari meja jatuh ke lantai, mengerang lemah.

Kita bertiga berdiri untuk beberapa saat, dan gue memandang jam.

"Waktunya berangkat." Kata gue, dan kita lalu membersihkan badan menggunakan pakaian Lola sebagai lap. Membiarkan Lola yang berbaring tak bergerak di lantai. Ketika kita sudah berpakaian lagi, gue seret dia ke bawah meja gue dan mengikat dia dengan tali yang diambil Johan dari gudang. Gue tahu kalo office boy akan menemukan Lola besok pagi, tapi pada waktu dia ditemukan gue dan temen gue sudah sedang menikmati layanan VIP di negeri yang mau gue datengin.

Dan gue masih memikirkan Lola Amaria delapan jam kemudian ketika gue sedang bersalaman dengan pejabat pemerintahan di pulau tropis tanpa perjanjian ekstradisi.


TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar