"Jangan ah, nanti suamiku cemburu,"
kataku sambil menunjukkan cincin kimpoiku yang berkilat karena memang masih
baru itu. Begitulah jawaban dan gaya
yang kuberikan pada customer atau rekan kerja yang mencoba-coba dengan
dialog-dialog menjurus, atau bahkan yang terang-terangan, dengan harapan dapat
mengajakku kencan. Memang wajar saja jika banyak yang tergoda melakukan itu.
Walau di kantor yang cukup bonafit di kota Surabaya ini, aku selalu menjaga
sikapku, namun tak dapat dihindari bahwa aku memang dikaruniai wajah yang
cantik dengan tinggi 165 cm, berat 52 kg, kaki yang jenjang dan sepasang buah
dada montok. Usiaku pun masih muda untuk lingkungan kantorku, baru 24 tahun
pada saat kisah ini terjadi 3 tahun yang lalu. Devi (edited) namaku.
Gelombang ajakan dan godaan menerpaku, namun masih mampu kutepis karena pada
dasarnya aku memang mencintai suamiku. Hampir setahun menikah tanpa dikaruniai
anak, pertahananku jebol saat muncul rekan kerja dari perusahaan mitra yang
bernama Haris. Walau beda perusahaan, tugas Haris menuntutnya untuk sering
datang ke kantorku dan kebetulan hubungan kerjanya sangat terkait erat
denganku. Akibatnya kami sering menghabiskan waktu bersama. Dimulai dari
pekerjaan di kantorku, lalu meeting di café beramai-ramai, yang akhirnya sering
kami lanjutkan berduaan setelah mitra kerja yang lain pulang, atau
berjalan-jalan bersama di mal untuk mencari kebutuhan kantor. Lama kelamaan
kudapatkan banyak kecocokan di antara Haris dan aku yang tak kudapatkan dalam
diri suamiku. Apalagi bidang kerja kami selaras sehingga komunikasi kami terasa
lebih "nyambung".
Suatu siang setelah mencari beberapa buku acuan untuk keperluan pekerjaan, kami
melewati lokasi arcade di mal besar itu dan aku melihat permainan dance machine
yang sangat kusukai, namun biasanya kumainkan sendiri karena suamiku tak
menyukainya. Spontan kuajak Haris untuk menemaniku bermain dan ternyata ia
menyambutnya dengan bersemangat karena ia juga menyukainya. Bertambah lagi satu
kecocokan di antara kami. Kami pun bermain beberapa game hingga di tengah game
terakhir, mungkin karena terlalu bersemangat mendapatkan teman bermain, aku
terpeleset sampai kakiku terkilir. Tak ada lagi yang bisa kami lakukan selain
pergi ke dokter. Sepulang dari dokter, masih dengan jalan tertatih-tatih, Haris
mengusulkan untuk mengantarku pulang saja, dan tak kembali ke kantor agar aku
bisa beristirahat. Aku setuju saja walaupun saat itu kakiku sudah tak terlalu
sakit lagi, namun masih terasa sangat mengganjal.
Setiba di rumah, kuajak Haris untuk mampir dan ia menerimanya dengan senang
hati. Haris memapahku sampai ke kamar, lalu membantuku duduk di ranjang. Dengan
manja kuminta ia mengambilkan aku minuman di dapur, karena memang sebelum
mendapatkan anak, aku dan suamiku telah sepakat untuk tidak memelihara
pembantu, jadi saat itu rumahku kosong. Haris mengambilkan minuman dan kembali
ke kamar mendapatkan aku telah melepas blazer dan sedang memijat betisku. Ia
agak tersentak melihatku, karena selain tinggal memakai blous "you can
see" longgar yang membuat ketiak dan buah dadaku yang putih mulus itu
mengintip nakal, posisi kakiku juga menarik rokku hingga pahaku yang juga putih
mulus itu terbuka untuk menggoda matanya. Tampak sekali ia menahan diri dan
mengalihkan pandangan saat memberikan minuman kepadaku. Memang
"gentleman" pria ini.
"Ris, pijetin kakiku dong, biar darahnya lebih lancar. Ini balutannya
kenceng banget sih, sampe sakit. Pijetanku nggak ada tenaganya nih!"
ujarku tulus. Sungguh mati, pada saat itu, sikap tubuhku dan kata-kataku sama
sekali tidak bertujuan menggodanya. Memang itulah yang kuinginkan, hanya
pijatan untuk melancarkan darahku yang terasa terbebat, tak lebih. Haris duduk
di pinggir ranjang dan mulai memijat betisku dari bawah lutut sampai hampir
mencapai pergelangan kakiku yang dibalut perban.
"Kayaknya emang harus ketat, Dev. Dokter bilang, supaya bengkaknya lebih
cepet kempes," tukas Haris sambil terus memijatku.
"Mmm, iya kali," jawabku sekenanya sementara mataku terpejam
menikmati pijatannya yang memang membuat kakiku lebih nyaman. Tak lama Haris
memijat sampai kurasakan kenyamanan dalam tubuhku berangsur beralih menjadi
perasaan berdesir yang aneh setiap kali tangan kekarnya menyentuh kakiku.
Kubuka mata dan kutatap wajah Haris yang tampak serius memijat kakiku. Sama
sekali tidak tampan, bahkan cenderung keras, wajah Haris sangat bertolak
belakang dengan sikapnya yang demikian lembut memperlakukanku selama ini.
Tenaga dan penampilan keras serta sikap lembut, kombinasi yang tak kudapatkan
dari suamiku, ditambah berbagai macam kecocokan di antara kami. Mungkin inilah
yang mendorongku untuk menggeser posisiku mendekatinya, lalu mencium bibirnya.
Haris terkejut, namun tak berusaha menghindar. Dibiarkannya aku mencium
bibirnya beberapa saat sebelum akhirnya ia merespon dengan hisapan lembut pada
bibir bawahku yang basah. Kami saling menghisap bibir beberapa saat sampai
akhirnya Haris yang lebih dulu melepas ciuman hangat kami.
"Dev.." katanya ragu. Kami saling menatap beberapa saat. Komunikasi
tanpa kata-kata akhirnya memberi jawaban dan keputusan yang sama dalam hati
kami, lalu hampir berbarengan, wajah kami sama-sama maju dan kembali saling
berciuman dengan mesra dan hangat, saling menghisap bibir, lalu lama kelamaan,
entah siapa yang memulai, aku dan Haris saling menghisap lidah dan ciuman pun
semakin bertambah panas dan bergairah.
Ciuman dan hisapan berlanjut terus, sementara tangan Haris mulai beralih dari
betisku, merayap ke pahaku dan membelainya dengan lembut. Darahku semakin
berdesir. Mataku terpejam. Entah bagaimana pria yang tampaknya sekasar dia bisa
menyentuh selembut ini, aku tak peduli dan menikmati saja kelembutan yang
memancing gairah ini. Kembali Haris yang melepas bibirnya dari bibirku. Namun
kali ini, dengan lembut namun tegas, ia mendorong tubuhku sambil satu tangannya
masih terus membelai pahaku, membuat kedua tanganku yang menahanku pada posisi
duduk tak kuasa melawan dan aku pun terbaring pasrah menikmati belaiannya,
sementara ia sendiri membaringkan tubuhnya miring di sisiku. Haris mengambil
inisiatif mencium bibirku kembali, yang serta merta kubalas dengan hisapan
bernapsu pada lidahnya. Mungkin saat itu gairahku semakin menggelegak akibat
tangannya yang mulai beralih dari pahaku ke selangkanganku, meremas-remas
vaginaku yang masih terbalut celana dalam itu dengan lembut namun perkasa.
"Mmhhh... Harrissshhh.." desahku di sela-sela ciuman panas kami. Aku
agak tidak rela saat tangan kekarnya meninggalkan selangkanganku, namun ia
mulai menarik blousku hingga terlepas dari jepitan rokku, lalu ia loloskan dari
kepalaku. Buah dada montok yang mengintip menggoda dari BH-ku tak disentuhnya,
membuatku semakin penasaran. Ia kembali mencium bibirku, namun kali ini
lidahnya mulai berpindah-pindah ke telinga dan leherku, untuk kembali lagi ke
bibir dan lidahku. Permainannya yang lembut dan tak tergesa-gesa ini membuatku
sangat penasaran dan terpancing menjadi semakin bergairah, sampai akhirnya ia
mulai memainkan tangannya meraba-raba dadaku dan sesekali menyelipkan jarinya
ke balik BH menggesek-gesek putingku yang saat itu sudah tegak mengacung. Aku
sendiri tidak tinggal diam dan mulai melepas kancing bajunya, dan setelah
bajunya kulepaskan untuk menyingkap dada bidang dan kekar di depan mataku, ia
pun memutuskan untuk mengalihkan godaan lidahnya ke buah dadaku.
Dihisap dan dijilatnya buah dadaku sementara tangannya merogoh ke balik
punggungku untuk melepas kait BH-ku. Ia melempar BH-ku ke lantai sambil tidak
buang waktu lagi mulai menjilati putingku yang memang sudah menginginkan ini
dari tadi. "Ooohhh..." desahku langsung terlontar tak tertahankan
begitu lidahnya yang basah dan kasar menggesek putingku yang terasa sangat
peka. Terus Haris menjilati dan menghisap dada dan putingku di sela-sela desah
dan rintihku yang sangat menikmati gelombang rangsangan demi rangsangan yang
semakin lama semakin menggelora ini, sementara tangannya mulai melepas
celananya, sehingga kini ia benar-benar telanjang bulat.
Haris melepas putingku lalu bangkit berlutut mengangkangi betisku. Penisnya
yang besar dan berotot mengacung dengan bangga. Ia melepas rokku dan
membungkukkan badannya menjilati pahaku. Kembali lidahnya yang basah dan kasar
menghantarkan setruman birahi hebat yang merebak ke seluruh tubuhku pada setiap
sentuhannya di pahaku. Apalagi bila lidahnya menggoda selangkanganku dengan
jilatannya yang sesekali melibas pinggiran vaginaku, semili lagi untuk
menyentuh bibir vaginaku. Yang bisa kulakukan hanya mendesah dan merintih
pasrah melawan gejolak birahi penasaranku yang menginginkan lebih.
Akhirnya, dengan menyibakkan celana dalamku, Haris mengalihkan jilatannya ke
bibir vaginaku yang telah begitu basah penuh lendir birahi. "Gggaaahhh..
Harrrissshh.. ohhh.." rintihanku langsung menyertai ledakan kenikmatan
yang kurasakan saat lidah Haris melalap vaginaku dari bawah sampai ke atas,
menyentuh klitorisku.
"Ohhh.. ohhh.. ngh.. ngh.. ngh.. ohhh.." Aku memajumundurkan pantatku
seirama dengan jilatannya pada vaginaku, sementara tanganku mengacak-acak dan
menjambak-jambak rambutnya. Lendir gairah mengalir dari vaginaku, diterima oleh
lidah dan mulut Haris yang tak henti menjilat dan menghisap vaginaku.
Kenikmatan merebak perlahan, berpangkal dari vaginaku ke seluruh tubuhku,
membuat pandanganku gelap dan kepalaku terasa melayang. Aku tahu aku hampir
mencapai klimaks, padahal masih menginginkan lebih. Mungkin mengetahui itu
juga, Haris melepas lidahnya dari vaginaku, dan melepas celana dalamku yang
sudah basah kuyup tak karuan. Kini kami sama-sama telanjang bulat. Tubuh kekar
Haris berlutut di depanku. Vaginaku panas, basah dan berdenyut-denyut.
Haris membuka kakiku hingga mengangkang semakin lebar, lalu menurunkan
pantatnya dan menuntun penisnya ke bibir vaginaku. "Hngk!"
kerongkonganku tercekat saat kepala penis Haris menembus vaginaku. Walau telah
basah berlendir, tak urung penis Haris yang demikian kekar berotot begitu seret
memasuki liang vaginaku yang belum pernah dilewati bayi ini, membuatku
menggigit bibir menahan kenikmatan hebat bercampur sedikit rasa sakit. Tanpa
terburu-buru, Haris kembali menjilati dan menghisap putingku yang masih
mengacung dengan lembut, kadang menggodaku dengan menggesekkan giginya pada
putingku, tak sampai menggigitnya, lalu kembali menjilati dan menghisap
putingku, membuatku tersihir oleh kenikmatan tiada tara, sementara setengah
penisnya bergerak perlahan dan lembut dalam vaginaku. Ia menggerak-gerakkan
pantatnya maju mundur dengan perlahan, memancing gairahku semakin bergelora dan
lendir birahi semakin banyak meleleh di vaginaku, melicinkan jalan masuk penis
berotot ini ke dalam liang kenikmatanku. Lidahnya yang kasar dan basah
berpindah-pindah dari satu puting ke puting yang lain, membuat kepalaku terasa
semakin melayang didera kenikmatan gairah.
Akhirnya seluruh penis Haris tertelan oleh vaginaku, memberiku kenikmatan
hebat, seakan vaginaku dipaksa meregang, mencengkeram otot besar dan keras ini.
Melepas putingku, Haris mulai memaju-mundurkan pantatnya perlahan, sementara
aku pun mulai membalas dengan gerakan pantat yang maju-mundur dan kadang
berputar menyelaraskan gerakan pantatnya, sementara napas kami semakin
tersengal-sengal diselingi desah penuh kenikmatan.
"Hhhh.. hhh.. hhh.. Devvvv.. ohhh ..nikmmattthh sahyangghh.."
"Ohhh.. Harrizzz.. hhh.. hhhh.. hhh.. hhhh.. mmm.."
Terus kami saling memberi kenikmatan, sementara lidah Haris kembali menari di
putingku yang memang gatal memohon jilatan lidah kasarnya. Aku sendiri hanya
bisa menikmati semua itu sambil meremas-remas rambutnya. Rasa kesemutan
berdesir dan setruman nikmat yang sempat terhenti kembali merebak perlahan
berpusat dari vagina dan putingku, ke seluruh tubuhku hingga ujung jariku.
Kenikmatan menggelegak ini merayap begitu perlahan sehingga terasa seakan
berjam-jam, walau sebenarnya hanya sekitar 20 menit. Penis Haris semakin cepat
dan kasar menggenjot vaginaku dan menggesek-gesek dinding vaginaku yang
mencengkeram erat. Hisapan dan jilatannya pada putingku pun semakin cepat dan
bernapsu. Aku begitu menikmatinya sampai akhirnya seluruh tubuhku terasa penuh
setruman birahi yang intensitasnya perlahan terus bertambah seakan tanpa henti
hingga akhirnya seluruh tubuhku terpaksa bergelinjang tanpa bisa kukendalikan
saat kenikmatan gairah ini meledak dalam seluruh tubuhku.
"Ngghhh.. nghhh.. nghhhhhh.. Harrrizzzhhhh.. Akkkk!!" pekikanku
meledak menyertai gelinjang liar tubuhku dan ledakan kenikmatan klimaks dalam
tubuhku, membuat Haris semakin mengendalikan gerakannya yang tadinya cepat dan
kasar itu menjadi perlahan dan kembali lembut. Ledakan kenikmatan orgasmeku
yang terasa seperti berpuluh-puluh menit itu menyemburkan lendir orgasme dalam
vaginaku, sementara Haris dengan menggoda terus menggerakkan penisnya secara
sangat perlahan, di mana setiap mili penis Haris menggesek dinding vaginaku,
suatu kenikmatan orgasme meledak dalam tubuhku.
Beberapa detik kenikmatan yang terasa seperti puluhan menit itu akhirnya
berakhir dengan tubuhku yang terkulai lemas dengan penis Haris masih di dalam
vaginaku yang berdenyut-denyut di luar kendaliku. Tanpa tergesa-gesa, Haris
mengecup bibir, pipi dan leherku dengan lembut dan mesra, sementara kedua lengan
kekarnya memeluk tubuh lemasku dengan erat, membuatku benar-benar merasa aman,
terlindung dan sangat disayangi. Ia sama sekali tidak menggerakkan penisnya
yang masih besar dan keras di dalam vaginaku. Ia memberiku kesempatan untuk
mengatur napasku yang terengah-engah.
Setelah aku kembali "sadar" dari ledakan kenikmatan klimaks yang
memabukkan tadi, aku pun mulai membalas ciuman Haris, memancing Haris untuk
kembali memainkan lidahnya pada lidahku dan menghisap bibir dan lidahku semakin
liar. Gairah Haris yang sempat tertahan tampak semakin terpancing dan ia mulai
kembali menggerak-gerakkan pantatnya perlahan-lahan, menggesekkan penisnya pada
dinding vaginaku. Respon gerakan pantatku membuatnya semakin liar dan berani
melayani gairahnya yang memang tampak sudah mendekati puncak. Genjotan penisnya
pada vaginaku semakin cepat, kasar dan liar. Walau sudah tak menikmati
rangsangan lagi, hanya menikmati kebersamaan, aku tak merasa disakiti oleh
genjotan penis Haris yang semakin bernapsu, semakin cepat, semakin kasar,
hingga akhirnya ledakan lendir kental panas muncrat bertubi-tubi di dalam
vaginaku.
"Hngk.. ngggghhh.. Devvv.." Haris melenguh menyertai ejakulasi
puncaknya yang kubuat semakin nikmat dengan menekan pantatku maju, menancapkan
penisnya sedalam-dalamnya di dalam vaginaku, sambil kupeluk tubuhnya erat.
Setelah mengejang beberapa detik, tubuh Haris melemas dan ambruk menindih
tubuhku. Berat memang, namun Haris menyadari itu dan segera menggulingkan
dirinya, rebah di sisiku. Dua tubuh telanjang bermandikan keringat terbaring
berdampingan di ranjang, tersungging senyum penuh kepuasan pada bibir kami
berdua. Haris memeluk tubuhku dan mengecup pipiku, membuatku merasa semakin
nyaman dan puas.
Sekembali Haris ke kantor, aku termenung sendirian di ranjang. Suatu kenyataan
yang tadi sama sekali tak terpikir olehku mulai merebak dalam kesadaranku. Aku
telah menikmati perbuatan nista dan telah mengkhianati suamiku. Aku mulai
merasa berdosa, sementara di lain pihak, aku sangat menikmatinya dan sangat
ingin melakukannya lagi.
Hati dan akal sehat terpecah dan menyeretku ke dua arah yang berlawanan.
Pergumulan batin terjadi membuatku limbung dalam hidup. Akhirnya kuputuskan
untuk menjauhi Haris dan kuminta dia untuk menjauhiku. Kulimpahkan tugasku pada
seorang bawahanku, sehingga aku tak perlu terlalu sering bertemu dengan Haris
lagi. Setelah beberapa minggu dalam kondisi seperti ini, Haris berhenti
bertugas di kantorku. Entah itu keinginannya sendiri atau memang ia
dialihtugaskan, aku tidak tahu. Namun hingga kini, pergumulan batin dalam
diriku masih terus berlangsung. Aku masih merindukan dan menginginkan sentuhan
tangan kekar Haris, sementara di lain pihak aku tetap mencintai dan ingin setia
pada suamiku yang begitu baik hati, namun tak bisa memberikan yang telah diberikan
Haris padaku.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar