“Selamat pagii..”, suara merdu itu menggema di
ruangan tamu rumah kosku yang cukup lapang.
Selanjutnya terdengar suara batuk yang panjang, yang dikeluarkan dari
kerongkongan yang sama.
Aku memandang si pemilik suara itu dengan rasa kasihan.
”Masih batuk Win?, kok kelihatannya semakin keras saja. Pergi ke dokter dong”.
Wiwin, si pemilik suara, hanya tersenyum manis. Dia membuka lemari es dan
mengambil sebotol air es, langsung diteguknya tanpa memakai gelas lagi.
”Enggak kok Mas No’, ini mah sudah mendingan. Kemarin aku sudah konsultasi ke
dokter katanya enggak apa-apa. Udah baik.”
Tetapi kata-katanya itu dilanjutkan lagi dengan batuk yang beruntun, membuatnya
tersedak-sedak dan terbungkuk-bungkuk.
Itulah si Wiwin, satu-satunya cewek di tempat kosku ini. Namaku Nano, dan
bersama ketiga kawanku (Dwi, Deni dan Atok) tinggal di rumah kost ini sudah
semenjak dua tahun yang lalu. Kami sama–sama kuliah di salah satu universitas
swasta beken di Jakarta
ini, dan rumah kost ini kami pilih karena jaraknya yang sangat dekat dengan
kampus. Selain harganya tidak terlalu mahal, rumah ini lumayan luas dan terawat
baik (ada satu pembantu yang datang pagi-pagi untuk memasak, mencuci dan
membersihkan rumah). Bagi kami, mahasiswa perantauan yang tinggal sendiri di
ibukota, kondisi ini cukuplah. Kami merasa nyaman dan kerasan di rumah ini.
Hingga kemudian, datanglah si Wiwin. Wiwin adalah keponakan dari Ibu Hidayat,
pemilik rumah kost ini. Ayah dan ibunya tinggal di Bandung tetapi telah bercerai semenjak dia
berusia 5 tahun. Wiwin adalah anak tunggal, tampaknya perkembangan hidupnya
menjadi kacau setelah perceraian itu. Dia tinggal bersama ibunya (yang sudah
kimpoi lagi dengan duda beranak tiga), tetapi tampaknya sangat kurang
mendapatkan kasih sayang. Dia berkembang menjadi gadis super bandel yang
semenjak SMP hidupnya lebih banyak dihabiskan untuk berkeliaran pada malam hari
bersama gengnya dari pada belajar, selalu merokok seperti kereta api dan
membuat berbagai ulah yang merepotkan orang tuanya.
Pada saat berumur 17 tahun, dia mendapatkan dua 'hadiah' sekaligus, hamil di
luar nikah dan dikeluarkan dari SMA nya karena kedapatan mengkonsumsi narkoba.
Untung saja kehamilannya dapat dihentikan dengan pengguguran kandungan, tetapi
untuk persoalan sekolah rupanya sudah tidak tertolong lagi. Si Wiwin sama
sekali mogok tidak mau sekolah. Dia memilih tinggal di rumah saja, dan
meneruskan kegiatannya lontang-lantung bersama gengnya dan terus memberikan
kontribusinya terhadap pendapatan cukai negara dengan terus menerus merokok, tidak
henti-hentinya.
Orang tuanya tampaknya sudah angkat tangan betul-betul dengan ulah anak
gadisnya itu, sehingga sejak empat tahun yang lalu dia dipindahkan ke rumah Ibu
Hidayat, bibinya yang jauh lebih ketat dalam beragama (pak Hidayat mempunyai
pesantren kecil yang dikelolanya sendiri). Tetapi keluarga pak Hidayat yang
alim inipun akhirnya angkat tangan terhadap ulah bandel si Wiwin, terutama
karena keberaniannya menggoda para santri yang masih muda dan polos.
Akhirnya untuk mengurangi akibat buruk dari ulah begajulan keponakannya itu,
pak Hidayat menempatkan si Wiwin di rumahnya yang dijadikan rumah kosku ini. Si
Wiwin (dengan setengah dipaksa) mengambil kursus sekretaris, meskipun mungkin
dia datang kursus cuma sebulan sekali. Dia ditempatkan di kamar yang paling
besar yang terletak di belakang rumah, sehingga diharapkan kalau dia mau amblas
malam-malam hari akan lebih mudah dikontrol karena harus melewati kamar-kamar
kost yang lain. Tetapi inipun tidak membantu. Si Wiwin tidak peduli dengan
pandangan anak-anak kos, dia tetap dengan santainya meneruskan kebiasaannya
setiap hari, berkelana dan merokok seperti kereta api.
Itulah sekelumit kisah hidup si Wiwin, teman kost kami. Dan inilah sekelumit
fakta lain mengenai dia, dari segi fisik, si Wiwin (ini sungguhan) astaga-naga
cantiknya.
Tubuh si Wiwin ini tinggi juga (+/- 168 cm), kulitnya putih mulus dengan rambut
hitam tebal, mata seperti kijang dan mulut super sensual dengan bibir agak
tebal. Buah dadanya berukuran 36 D (wuaah.., gede banget), dengan pinggul yang
benar-benar membuat mata setiap lelaki melotot memandangnya. Dan hebatnya,
tubuh bahenol itu kalau di rumah sering hanya ditutupi dengan selembar daster
tipis yang hanya disangkutkan di bahu pemakainya dengan dua utas tali kecil,
sehingga keindahan punggung dan lengannya tampak dengan jelas dan menjadi
konsumsi gratis mata anak-anak kos.
Pokoknya, si Wiwin sungguh-sungguh top badannya. Lha, kenapa kami selama ini
masih bisa menahan diri, tidak menubruk tumpukan daging indah yang setiap hari
melintas di hadapan kami itu? Alasannya adalah, semenjak dia masuk ke rumah
kost ini (kira-kira setahun yang lalu), si Wiwin sudah disamber si Roni, salah
seorang teman sekampusku, dan dengan bangga diproklamasikan sebagai pacarnya.
Mereka berkenalan ketika si Roni main ke tempat kost kami, dan dalam waktu
seminggu mereka sudah lengket seperti permen karet.
Kami sudah mengingatkan Roni mengenai kabar kabur si Wiwin yang tidak begitu
baik dan hobinya yang suka ngelayap dengan sembarang orang, tetapi teman kami
itu tidak peduli. Mereka berpacaran dengan bersemangat, dan hebatnya kami
melihat bahwa si Wiwin yang begajulan itu akhirnya tunduk juga. Dia sudah agak
jarang pergi malam hari, kecuali diantar si Roni. Kalau pacaran mereka juga
lebih banyak duduk saja di bawah pohon jambu di halaman rumah, sambil makan
bakso yang sering lewat malam-malam. Sungguh romantis.
Nah, kira-kira dua bulan yang lalu, si Wiwin mulai sakit. Dia bilang tubuhnya
sering lemas dan panas, ditingkahi dengan sesak napas dan batuk yang tidak ada
hentinya. Kamipun dengan mudahnya memvonis, itu pasti akibat rokok yang tidak
pernah lepas dari mulutnya. Wiwin sering terbaring lemas di kamarnya, meringkuk
di balik selimut tebal. Bapak dan Ibu Hidayat sering menengoknya dan secara
rutin membawanya ke dokter. Acara ke dokter ini tampaknya semakin lama semakin
sering, tetapi mereka sungguh tutup mulut mengenai apa sakit si wiwin
sebenarnya. Kalau ditanya pun, si Wiwin cuma menjawab, “Enggak tahu, TBC
‘kali..”, sambil mencibirkan bibirnya yang seksi.
Pada awal-awal sakitnya, Roni dengan rajin mengantar pacarnya itu ke rumah
sakit. Hampir tiap hari dia datang, memijiti si Wiwin dan memberinya obat.
Sunguh pacar kelas satu. Tetapi pada minggu-minggu terakhir ini, ada
perkembangan drastis. Itu dimulai ketika suatu malam, Roni berbicara serius
dengan bapak dan Ibu Hidayat di halaman depan rumah. Waktu itu si wiwin baru
pulang dari dokter, sakitnya kumat dengan hebat dan dia meringkuk di kamarnya
dengan tubuh menggigil. Hampir satu jam tiga orang itu berbicara di depan
rumah, dan akhirnya si Roni masuk ke dalam dengan wajah yang sangat aneh,
antara marah dan sedih, matanya berkaca-kaca. Dia mendatangi kamar Wiwin tetapi
tidak masuk ke dalamnya. Dia hanya memandang tubuh pacarnya yang meringkuk di balik
selimut dari balik kaca, berkali-kali menarik napas panjang dan akhirnya pergi
tanpa pamit.
Dan ternyata itulah kali terakhir si Roni datang ke tempat kost kami. Waktu
kami tanyakan ke Wiwin, dengan santainya dia menjawab, ”Kami udahan kok..,
putus! nggak cocok ‘kali. Mana ada cowok macem Roni yang mau dengan cewek kaya
gue“. Meskipun dinyatakan dengan bercanda, ada nada kepedihan dalam suaranya.
Waktu kami konfirmasikan ke Roni, dia selalu mengelak. Waktu kami desak, ia
hanya berkata pendek, ”Udahlah. Kami udah putus. Nggak ada apa-apa lagi.”
Tetapi pada akhir kalimatnya, ia memberikan peringatan yang aneh, dengan suara
bergetar, ”Kalian semua, jauhi si Wiwin itu. Dia sangat berbahaya.” Dan tanpa
menjelaskan lebih jauh maksudnya, si Roni cepat-cepat ngeloyor pergi.
*****
Nah, kembali ke depan, di pagi hari yang indah yang ditingkahi dengan batuk
rutin dari si cantik. Ketika Wiwin selesai dengan batuknya, muncullah ketiga
teman kosku yang lain dari kamar masing-masing. Ini hari minggu, jadi kami bangun
telat banget. Si bibik pembantu sudah selesai masak, mencuci dan membersihkan
rumah, dan sekarang dia sudah pulang. Jam menunjukkan pukul delapan pagi.
“Selamat pagi, Win“, kata Dwi dengan hormat.
Salam yang juga diikuti oleh Deni dan Atok bersama-sama. Wiwin menjawab dengan
hormat juga (basa basi), ”Selamat pagi, kakak-kakakku sayang. Enak benar
tidurnya? ngimpi apa ya semalam?“ tanyanya dengan suara nakal.
“Eehh.., mimpi jorok“, kata Dwi sekenanya.
Deni dan Atok hanya nyengir sambil menggaruk kepala, memandang tubuh Wiwin yang
terbalut daster kebesarannya. Tubuh gadis itu sudah lebih kurus dari sebelum
sakit, tetapi tetap sangat seksi. Wajahnya yang sedikit cekung malah tampak
semakin merangsang bagi kami. Wiwin terkikik mendengar jawaban itu.
”Waa.., mimpi jorok apaan yah? Mas mimpi main jorok sama siapa hayoo?”.
Dwi (yang tampaknya masih setengah ngantuk) menjawab lagi sekenanya.
“Yah, mimpi main jorok sama kamu Win.., sama siapa lagi. Wong kita tiap hari
ketemu, ya pastinya kebawa juga dalam mimpi.”
Kali ini mata Wiwin yang indah terbelalak, disusul tawanya yang berderai,
”Mosok sich Mas? bohong ah”.
“Bener”, kata Dwi meyakinkan.
“Enak nggak?“ tanya Wiwin menggoda.
Wah, ini mulai panas, pikirku.
“Enak dong“, kata Dwi lagi.
Kesadarannya sudah kembali penuh dan sekarang dia memang siap main goda-godaan.
”Terutama waktu kamu lagi.., apa yaah..”, katanya sambil pura-pura mengingat.
“Waktu lagi dicoblos kontol Mas ya?”, tanya Wiwin.
Walah, kami semua tersentak kaget. Jorok banget mulut cewek ini! Meskipun kami
tahu si wiwin ini cewek urakan, tetapi karena selama ini selalu menjaga jarak
dengan dia maka kami tidak tahu bahwa dia punya mulut secomberan itu.
Dwi tersedak-sedak minumnya, berusaha menjawab dengan tenang.
”Iya, waktu itu juga, tapi paling hebat waktuu...”, dia pura-pura mengingat
lagi.
“Waktu kita main enam sembilan yach? waktu Mas jilatin memek saya dan waktu
saya isep kontol Mas yach?“, tanya Wiwin semakin menggoda.
Kami hampir pingsan mendengarnya. Blak-blakan banget! tetapi pada saat itu,
nafsu kamipun mulai naik. Ini cewek jelas sedang menggoda kami. Dan kami saat
ini memang sedang sangat siap untuk digoda!
“Hiyaa.., betullah itu“, jawab si Dwi sambil berjingkrak.
”Kamu hebat sekali Win. Bisa saja kamu menebak.”
Si wiwin sekarang berdiri di depan kami (kami berempat sedang duduk menggelosor
di karpet, di depan TV). Dia memandang kami berganti-ganti dengan mata yang
nakal.
”Teruuss.., bagaimana ini? Mas mau sebatas mimpi apa mau direalisasikan? Wiwin
mau loh!”, dia berkata dengan serius.
Dia menggoyang-goyangkan badannya mengikuti lagu dangdut dari TV, membuat buah
dadanya yang super besar bergerak-gerak menggairahkan.
Aku yang pertama mencoba sadar.
”Udahanlah Win. Ini cuman bercanda kok. Lagian kamu lagi sakit, jangan pikir
yang macem-macem deh. Gih sono kamu mandi dulu.”
Kamar mandi kami memang cuma satu, jadi kami selalu antre mandi kalau pagi.
Tetapi si Wiwin malah membelalakkan matanya yang indah.
”Wii.., emangnya Mas Nano kira gua bercanda? Ini bener nih! Wiwin pingin dan
mau!“.
Dan tanpa diduga oleh kami semua, dengan cepat Wiwin meraih tali dasternya dan
sekali sentak menariknya. Daster itu dalam sekejap jatuh ke lantai.
Kini, Wiwin telah berdiri telanjang bulat di depan kami. Ternyata dia tidak
memakai baju dalam apapun. Dengan bebas kami melihat tubuhnya yang sangat
bahenol, buah dadanya yang berukuran 36 D tergantung bebas dengan puting
cokelat kemerahan. Meskipun sangat besar, buah dada itu tampak tidak melorot
meskipun tidak disangga bra. Perutnya yang putih mulus, pahanya yang jenjang,
dan sekumpulan bulu lebat yang menutupi selangkangannya. Bulu-bulu itu lebat
sekali, sehingga aku tidak bisa melihat belahan kemaluannya sama sekali. Aku
menelan ludah. Ini mimpi apa beneran?
Wiwin berdiri dengan tetap memutar mutar badannya pelan ke kanan kiri,
mengikuti musik di televisi.
”Hayooo.., Wiwin sudah siap nih. Lihat dong badan Wiwin, nggak usah dibawa ke
mimpi segala macam. Mas-Mas kan tiap hari melotot melihat Wiwin kan? Nih dia,
sekarang Wiwin kasih gratis buat Mas-Mas.”
Dan sambil berbicara dia mulai melenggak-lenggok, seperti penari striptease
(tukang kelayapan macam dia pasti sudah tahu, apa malah dia pernah melakukan?).
Kedua tangannya menelusuri tubuhnya sendiri, dan meremas-remas buah dadanya
yang menggelembung. Disangganya buah dadanya dengan telapak tangannya, dan
dengan gerakan menggoda mendekatkan buah dadanya ke wajahku.
”Niih Mas Nano, nikmati deh..., ayoo, nggak usah malu-malu”.
Aku masih terdiam karena kaget dan terpesona. Tetapi kini puting buah dada
Wiwin mulai digesek-gesekkan ke wajahku, terasa hangat dan lembut.
Aku mendesah. Godaan ini terlalu besar untuk dilawan. Aku memilih untuk
menyerah. Kubuka mulutku, dan sekejap kemudian puting itu telah masuk ke
mulutku. Kuhisap–hisap dengan nikmat (dan memang sangat nikmat), mulutku mulai
merambah dan menghisap lebih banyak lagi bagian buah dada yang besar itu.
Kudengar Wiwin mendesah-desah.
”Aahh..., enak Mas. Isep terus Mas..., auuuhh...”, sambil tangannya meremas dan
menarik-narik rambutku dengan gemas.
Ketika aku sedang asyik mengisap, kurasakan ada tubuh lain mendesak di
sebelahku. Ternyata si Dwi, dia mengikuti langkahku dengan mengisap buah dada
kiri si Wiwin. Dengan dua laki-laki yang menyusu dengan lahap itu, Wiwin tampak
terangsang berat. Dia mengerang-ngerang dan mendesah, kedua tangannya memegang
kepala kami seakan kuatir kami akan melepaskan hisapan kami.
Lima menit kami melakukan aktivitas kami, ketika aku merasa ada tubuh lain
mendesak di bawah kami. Ternyata Deni, menyungkupkan wajahnya ke selangkangan
Wiwin yang terbuka. Dengan ganas dia menjilat dan menghisap kemaluan Wiwin yang
berbulu super lebat itu, begitu hebatnya sehingga aku mendengar suara
berkecipak dari mulutnya. Wiwin semakin menggila. Digerak-gerakannya pinggulnya
sehingga kemaluannya bergesekan semakin keras ke mulut Deni. Kedua insan itu
saling merenggut dan merengkuh, erangan dan desahan keduanya terdengar saling
bersahutan.
Tampaknya rangsangan yang dirasakan Wiwin lebih besar dari yang dapat ditahannya.
Kulihat dan kurasakan tubuh dan kakinya bergetar, tubuhnya semakin melengkung
ke depan dan akhirnya dia roboh..., kami bertiga (sambil tetap melanjutnya
hisapan kami) menahan tubuh itu dan dengan perlahan–lahan membaringkannya ke
atas karpet. Kini dia tidur telentang, tetap bergoyang-goyang menahan
rangsangan jilatan dan hisapan kami.
Tiba-tiba Dwi melepaskan hisapannya pada puting dada Wiwin, dan menoleh ke Atok
yang masih duduk bengong di karpet.
”Ini Tok.., gantian lo yang ngisep. Enak bener rasanya. Kagak ada yang
ngalahin“, katanya sambil menjepit puting Wiwin dengan jari telunjuk dan
jempolnya.
“Rasain deh.”
Atok (yang tampaknya juga sudah terangsang berat) segera menyerbu dan
memasukkan buah dada bahenol itu ke mulutnya hingga kembali terdengar suara
berkecipak dan sedotan dari mulutnya.
Kulirik ke bawah, tampak Deni tetap bersemangat menjilat dan mengisap kemaluan
Wiwin yang kini tampak sangat basah. Pinggul gadis itu tetap bergerak-gerak
dengan liar mengimbangi jilatan Deni, pahanya yang mulus terangkat ke atas dan
menelikung kepala Deni. Aku sungguh ingin merasakan memek si Wiwin, tetapi
kutahan dahulu nafsuku. Aku punya rencana lain.
Aku melepaskan hisapanku pada dada Wiwin, dan berdiri. Kulepaskan celana
pendekku, sehingga kini kemaluanku tampak tegak berdiri siap tempur. Kemudian
aku merendahkan tubuhku dan mendekatkan kemaluanku ke mulutnya.
”Isepin Win...”, kataku penuh nafsu, ”Kamu mau kan?”.
Tetapi pada saat itu kurasakan tangan Dwi menepis lenganku.
”Gua duluan, brengsek” katanya parau.
”Gua udah ngimpiin sejak semalem“, kulihat dia, ternyata Dwi sudah telanjang
bulat dan juga mengarahkan kemaluannya yang super besar (paling besar di antara
kami bertiga) ke mulut Wiwin.
Wiwin terkikik-kikik, pura-pura bingung.
”Aduuh.., bagaimana nih? Kok ada dua kontol rebutan minta diisep? Wiwin bingung
dah“.
Tapi sambil berkata begitu, kedua tangannya memegang kemaluanku dan kemaluan
Dwi dan segera membetotnya ke mulutnya.
”Gih, masukin aja dua-duanya. Wiwin demen banget.”
Dibukanya mulutnya lebar-lebar, dan dimasukkannya kepala kemaluan kami ke
dalamnya. Tentu saja tidak bisa masuk semua, tetapi cukuplah bagi Wiwin untuk
menyapu-nyapukan lidahnya ke kepala kemaluan kami. Aku mendesah. Seakan
rangsangan listrik menjalari batang kemaluanku, rangsangan yang sungguh luar
biasa. Jari-jari lentik Wiwin memegang batang kemaluanku dan batang kemaluan si
Dwi serta mengocoknya dengan berirama. Kami berdua mengerang-erang menahan
nikmat.
Akhirnya aku tak tahan lagi.
”Dwi, gua duluan yah. Gua udah mau muncrat rasanya.”
Dwi menangguk, dan mencabut batang kemaluannya dari mulut Wiwin. Mulut Wiwin
sekarang bebas, dan aku segera mengambil posisi. Dengan gaya anjing mau
kencing, kukangkangi kepala Wiwin dan kusodorkan kemaluanku ke mulutnya. Wiwin
dengan hangat menyambut dan langsung mengisap hampir separuh panjang
kemaluanku. Kurasakan lidahnya berputar-putar di kemaluanku, dan sesekali
giginya menggigit-gigit kecil dengan gemas. Sementara kulihat tangan kirinya
tetap mengocok batang kemaluan Dwi dengan berirama.
Aku semakin menggila. Dengan setengah menelungkup, kugoyangkan pinggulku
sehingga kemaluanku keluar masuk mulutnya. Ditingkahi dengan jilatan lidahnya
di sekujur batang kemaluanku dan sedotan-sedotannya yang terasa semakin lama
semakin kuat, aku merasa tidak tahan lagi. Aku menegangkan bagian bawah
badanku, kutarik kemaluanku sehingga agak jauh dari kerongkongan Wiwin (supaya
dia tidak tersedak, pikirku), dan crooot..., crooot..., muncratlah seluruh air
maniku di dalam mulutnya. Hebat sekali, si Wiwin sama sekali tidak mengendorkan
sedotan dan tarian lidahnya selama proses ejakulasiku berlangsung. Hanya
kurasakan desahan napasnya kian memburu dan matanya kini sama sekali tertutup.
Setelah seluruh maniku keluar, aku tetap menelungkup di atas kepala Wiwin dan
kemaluanku tetap berada di mulutnya. Meskipun senjataku terasa semakin
mengecil, sepertinya Wiwin enggan melepaskannya. Kurasakan sedotannya masih
berlanjut dan lidahnya (yang kini terasa sangat basah karena bercampur dengan
air maniku) masih terus bermain menelusuri batang kemaluanku. Tetapi kenikmatan
itu tidak berlangsung lama. Si Dwi yang sejak tadi dikocok-kocok kemaluannya
oleh Wiwin, tampaknya sudah tidak sabar lagi. Didorongnya tubuhku sehingga
hampir terjengkang ke kanan.
”Gantian lu, brengsek. Gua sudah nggak tahan.”
Dan tanpa basa basi lagi didorongnya kemaluannya ke mulut Wiwin yang setengah
terbuka dan masih belepotan air maniku.
Wiwin tampak sangat kewalahan dengan tindakan si Dwi yang tampak seperti
kesetanan itu. Temanku yang biasanya pendiam itu sungguh berubah menjadi mahluk
yang liar dan ganas. Digoyangkannya pinggulnya sekuat tenaga, tanpa
memperhatikan apakah Wiwin tidak mati tersedak karena ulahnya tersebut. Kulihat
juga wajah Wiwin tampak menahan serangan itu, mulutnya terbuka lebar disesaki
oleh batang kemaluan Dwi yang super besar dan kudengar gumamannya, “Mmmpph...,
mppppff..”, dengan nada memprotes.
Aku yang sekarang duduk menggelesot di lantai karpet melihat adegan itu, dan
kulihat juga si Deni dan Atok juga menghentikan aktivitasnya dan memandang
adegan ganas itu dengan mulut melongo. Aku hampir saja akan mengingatkan si Dwi
supaya tidak terlalu ganas bekerja, ketika tiba-tiba dia menghentikan “goyang
ngebor”-nya dan mengerang keras.
”Haagh..., gua kelu...”, kata-katanya terputus ketika dia menegangkan badannya.
Tanpa melihatpun aku bisa mengetahui bahwa dia sedang melepaskan simpanan air
maninya di dalam mulut Wiwin.
Kulihat wajah Wiwin memerah, matanya melotot dan karena dia dalam posisi
telentang maka tidak ada air mani yang lolos keluar dari kerongkongannya.
Tampaknya dia sudah tidak kuat lagi, dan didorongnya tubuh Dwi ke samping
sehingga Dwi terguling di karpet. Wiwin membalikkan tubuhnya, dan dengan napas
tersengal-sengal menundukkan kepala dan mengeluarkan sebagian mani di mulutnya
ke karpet.
”Aduuh..., kalian keterlaluan deh. Kalo napsu ya napsu tapi inget dikit
doong..., kan Wiwin bisa mati kesedak. Hi, hi, hi..”.
Wah, aku kira dia akan marah tapinya malah terkikik-kikik ketawa. Dengan genit
dicubitnya si Dwi.
”Itu burung isinya berapa liter sih? bisa bikin anak sekampung beneran.”
Mendengar itu Dwi hanya diam saja. Napasnya masih tersengal-sengal.
Dengan gaya lemas si Wiwin berdiri dan berjalan gontai menuju kulkas.
Diambilnya botol air es dan diminumnya dengan gaya khasnya, langsung ditenggak
tanpa pakai gelas lagi. Setelah napasnya kembali teratur, dia memandang kami
berempat yang masih duduk menggelosor di karpet dengan pandangan lucu (ingat,
dia masih telanjang bulat lho. Untung kaca jendela masih tertutup gorden
sehingga orang di jalan tidak bisa melihat tubuhnya yang bahenol).
“Udah puas nggaak..?” tanyanya lucu.
”Mas Dwi sama Mas Nano udah keluar simpenannya berliter-liter. Tapi Mas Deni
dan Mas Atok kan belum. Mau diterusin nggak?”, tanyanya sambil melihat kepada
dua teman kami itu.
Deni dan Atok saling berpandangan, dan meskipun tidak berkata-kata keduanya
tampak sepakat. Mereka berdiri dan dengan secepat kilat menyerbu tubuh Wiwin
yang masih berdiri di sebelah kulkas. Deni memeluk dari depan, Atok dari
belakang, keduanya dengan ganas menciumi wajah dan leher Wiwin. Tangan mereka
berebutan meremas buah dada dan kemaluan Wiwin, sedemikian bernafsu dan
kacaunya sehingga gadis itu (eh, memangnya dia masih gadis?) menjerit dan
tertawa terkikik-kikik.
”Hi, hi, hi.., aduuh..., berhenti dulu..., stoop dulu deeh..., kalo main yang
lembut doong..”.
Dan dengan sekuat tenaga Wiwin melepaskan diri dari dekapan dua serigala
kelaparan itu dan berdiri agak menjauh.
”Udaah.., udaah..., kalian kayak orang belum pernah pegang badan cewek saja”,
katanya sambil tersedak-sedak ketawa.
”Buka dulu baju kalian dong. Baru kita main beneran. Ayo!”, perintahnya.
Deni dan Atok saling berpandangan, dan seperti dikomando mereka segera membuka
baju dan celananya. Hanya dalam hitungan detik keduanya sudah telanjang bulat,
kulihat kemaluan mereka mengacung ke atas karena sangat tegang. Namun keduanya
tetap berdiri diam, seakan menunggu komando dari Wiwin lagi.
Wiwin tersenyum senyum menandang dua jagoan itu, seperti gaya cewek yang lagi
memilih-milih barang di toko.
”Mmm..., lumayan juga kalian deh”, katanya sambil terus melihat keduanya
berganti ganti.
”Bukan wajah dan tubuhnya lho..., kalau itu mah kalian nilainya cuman dapet
lima setengah. Tapi kontolnya itu lho.., sungguh menggairahkan.”
Dan sambil berkata begitu, didekatinya Deni dan Atok, dipegangnya batang
kemaluan keduanya dengan tangan kanan dan kiri dan dikocoknya lembut.
”Kita mulai yach..”, desahnya penuh godaan.
Kemudian didorongnya Deni dengan lembut.
”Elo telentang deh Den..., kamu coblos memek gua sekarang.”
Deni menurut seperti orang bego, sekarang dia telentang di karpet dengan batang
kemaluannya mengacung ke atas seperti tiang bendera. Wiwin memandangnya seperti
serigala kelaparan, diremasnya kemaluan Deni, dikocok dan akhirnya dikulum
dengan buas.
”Gua tegakin dulu yach”, gumamnya dengan napas memburu.
Semenit kemudian dilepaskannya kulumannya dan benar saja, kemaluan Deni
sekarang sudah jauh lebih kencang lagi dan berkilat karena ludah si Wiwin.
Wiwin terkikik gembira dan segera melompat ke atas pinggul Deni. Jari telunjuk
dan jari tengah tangan kanannya membuka bibir kemaluannya, sedang tangan
kirinya memegang batang kemaluan Deni dan diarahkan ke lubang yang sudah
terbuka itu.
”Masukkan kontolmu sayang, rasakan nikmatnya memek ini.”, desisnya (astaga,
mulutnya comberan banget!).
Direndahkannya tubuhnya, sehingga kepala kemaluan Deni mulai melesak ke dalam
lubang kemaluannya.
“Aahh...”, desahnya.
Aku sudah menduga kalau lubang memek si Wiwin ini pasti sudah agak longgar
karena terlalu banyak dipakai. Dan ternyata benar. Tanpa terlalu banyak usaha,
batang kemaluan Deni yang berukuran menengah itu langsung melesak seluruhnya ke
dalam lubang kemaluan Wiwin. Wiwin terkikik kecil dan akhirnya merebahkan
tubuhnya ke atas tubuh Deni. Buah dadanya yang super besar menggantung bebas,
tangan Deni segera menyambut dan meremasnya. Wiwin mendesah nikmat.
“Enak ya?”, desahnya pada Deni.
“Hnggh..., enak” jawab Deni. Matanya terpejam.
“Kerasa longgar nggak? Apa sudah ngejepit?” tanya Wiwin, rupanya dia juga
menyadari kalau dia sudah lama sekali tidak perawan dan sudah dicoblos entah
berapa banyak laki-laki.
“Nggak kok Win, masih enak sekali”, jawab Deni.
Matanya merem melek dan pinggulnya mulai bergerak-gerak. Wiwin mengimbangi
gerakan itu dengan menaik turunkan pinggulnya yang besar dengan berirama. Napas
mereka memburu, seakan lupa sama sekali dengan tiga laki-laki lain yang
mengitarinya dan memandang adegan super porno itu dengan jelas. Karena aku
kebetulan duduk di karpet dengan menghadap pinggul Wiwin, aku dapat memandang
dengan jelas batang kemaluan Deni yang bergerak keluar masuk lubang kemaluan
Wiwin dengan berirama. Sangat merangsang.
Lima menit adegan itu berlangsung, gerakan mereka semakin liar dan pinggul
Wiwin semakin keras bergerak, ke atas ke bawah dan ke kiri kanan. Desahan dan
erangan mereka terdengar semakin lama semakin keras. Tetapi tiba-tiba Wiwin
mengentikan gerakannya. Kepalanya menengok ke arah Atok yang masih berdiri tegak
di sebelahnya.
”Aduuh, Mas Atok yang malang”, kata Wiwin dengan lucu.
”Masih nunggu giliran yach? Sini, masukin kontolmu ke Wiwin”, katanya lagi.
Tangan kanannya meraih pinggulnya dan membuka belahan pantatnya, ”Ayoo Mas,
cepetan”.
Atok tampak bengong, ”Dimasukin ke mana Win?”, tanyanya.
Wiwin pura-pura jengkel, ”Ya dimasukin ke pantat, bego! Belum pernah main
pantat ya?”, tanyanya.
Atok garuk-garuk kepala, ”Ee..., belum pernah Win. Gimana rasanya?”.
“Pokoknya luar biasa deh. Ayoo, cobain sekarang. Nggak sembarang cewek mau
beginian loh”, Katanya setengah memaksa.
Atok dengan gerakan kikuk menuruti perintah itu, dan mengarahkan kemaluannya ke
lubang pantat Wiwin yang sudah setengah terbuka itu, ”Begini ya Win?” tanyanya
meminta konfirmasi.
Wiwin mengangguk, ”Iyaa.., begitu. Coblos saja sekarang yok. Jangan ragu-ragu.”
Atok menurut, dan kulihat pinggulnya bergerak ke depan. Pelan tapi pasti,
batang kemaluannya melesak ke dalam lubang pantat Wiwin. Sekarang Wiwin
melepaskan tangannya dari belahan pantatnya, sehingga seluruh kemaluan Atok
terjepit pantat yang bahenol itu.
“Aaah.., enaak” desis Wiwin.
Kepalanya menoleh ke belakang, ”Kamu enak nggak Mas?”, tanyanya.
Atok mengangguk sambil mulai menggoyang pantatnya ke depan dan ke belakang.
”Hiyaah nih..., enak banget. Gua belum pernah ngerasain Win. Peret banget...”.
Sambil berkata begitu ia semakin memperkuat gerakannya, sedangkan kedua
tangannya meremas-remas pantat Wiwin yang bahenol.
Wiwin terkikik senang, ”Gitu doong. Sekarang kita mulai main kuda-kudaan ini
yah”, katanya.
Dan dia segera mulai menggerak-gerakkan pantatnya lebih kuat lagi sehingga
kemaluan Deni semakin cepat keluar masuk lubangnya yang sudah tampak sangat
basah. Ketiga orang di depanku ini sudah tampak sangat kesetanan, terbenam
nafsu yang luar biasa, sama sekali lupa pada lingkungan sekitarnya. Sedemikian
kuatnya mereka memompa, sehingga terdengar suara berkecipak ketika cairan
kemaluan Wiwin muncrat tertekan batang kemaluan Deni. Sekali lagi posisi
dudukku yang dekat dengan pinggul Wiwin menyebabkanku dapat melihat dengan
jelas bagaimana kedua batang kemaluan itu merojok-rojok kedua lubang di tubuh
Wiwin.
Sekali lagi, dalam kondisi yang sangat terangsang si Wiwin masih menyimpan
kesadaran. Sambil bertumpu pada kedua belah tangannya menahan tubuhnya yang
semakin kuat bergoyang-goyang ditekan goyangan si Atok dan Deni, wajahnya
berpaling kepadaku yang sedang duduk bengong memperhatikan.
Mulutnya tersenyum nakal, ”Mas Nano, mau diemut lagi nggak? Mulut Wiwin lagi
kosong nih. Yok sini...”, katanya sambil mengeluarkan lidahnya menggoda.
Aku, yang masih terpesona dengan segala keadaan yang serba tidak terduga ini,
menggeleng.
”Nggak deh Win. Gua udah cukup duluan. Terusin aja sama sama si Atok dan Deni”,
kataku.
Wiwin tertawa nakal, ”Wii.., diberi kesempatan kok malah nggak mau. Ya sudah”,
katanya.
Ia berpaling ke Dwi, mungkin maksudnya menawarkan hal yang sama, tetapi tidak
jadi ketika melihat Dwi sudah tidur telentang dengan mata menerawang ke atas.
Tampaknya dia sama denganku, masih shock menghadapi segala kejadian yang begitu
tiba-tiba ini.
Permainan ketiga orang di depanku tampak semakin memanas. Kulihat Atok semakin
melebarkan kedua kakinya, sehingga dia kini dalam posisi berdiri terkangkang
lebar-lebar dan semakin keras merojok-rojokkan batang kemaluannya ke lubang
pantat Wiwin. Demikian juga Deni dalam posisi telentang semakin kuat menggoyang
pantatnya ke atas, mencoblos lubang kemaluan Wiwin yang tampak semakin basah.
Akhirnya, kulihat wajah Atok meringis, ”Adduuh.., akuu...”, erangnya.
Dan akhirnya dia mencabut kemaluannya dari lubang pantat Wiwin, dan muncratlah
air maninya, banyak sekali, menyemprot ke arah pangkal dan biji kemaluan Deni
yang masih menancap di lubang memek si Wiwin.
Wiwin terkikik, ”Hiii.., bang Atok udah kalah nih. Puas nggak Mas?”, tanyanya
sambil menoleh ke belakang, sambil terus menggoyangkan pantatnya naik turun.
Atok mengangguk, ”Enak banget Win. Belum pernah aku keluar mani sebanyak ini”,
ujarnya sambil bergerak menjauh.
Tapi Wiwin segera memanggil, ”Eeh.., mau kemana Mas. Sini Wiwin bersihin kontol
mas. Lihat tuh, belepotan banget”, katanya.
Diraihnya kemaluan si Atok dan ditariknya ke arah mulutnya. Dengan paksa
ditariknya batang kemaluan yang sudah lemas itu dan segera dimasukkan ke
mulutnya. Terdengar suara seperti orang menyeruput air ketika ia menyedot dan
membersihkan kemaluan Atok dengan lidahnya.
Atok mendesah, ”Win, apa elo nggak jijik..., kan ini baru keluar dari lubang
pantat kamu”, katanya.
Kulihat Wiwin membelalakkan matanya, sekejap mengeluarkan kemaluan Atok dari
mulutnya.
”Jijik apaan.., wong napsu banget kok. Kalau udah main begini jangan omong soal
jijik. Gua aja pernah dikencingin kok. Malah nikmat banget”, katanya sambil
mulai lagi mengulum kemaluan Atok.
Temanku yang alim itu jadi diam saja.
Pada saat itu kulihat Deni semakin blingsatan gerakannya, napasnya semakin
memburu dan tangannya semakin ganas meremas buah dada Wiwin yang seperti balon.
”Win, cepetin goyangannya. Aku mau keluar”, erangnya.
Wiwin (sambil terus mengulum kemaluan Atok) semakin memperkuat goyangan
pinggulnya, dan akhirnya dia ikut menjerit.
”Aduuh, Mas Denii.., aku juga mau keluaar”.
Kulihat tubuhnya menegang, sebelum akhirnya melemah kembali. Kulihat ke arah
kemaluannya, tampak cairan membanjir keluar dari sela-sela kemaluan Deni dan
bibir kemaluan Wiwin. Campuran air kenikmatan kedua insan tersebut begitu
banyak, mengalir ke arah bola kemaluan Deni dan bercampur dengan air mani Atok.
Wiwin tampak sangat menikmati orgasme itu. Dia menelungkupkan badannya ke tubuh
Deni, matanya tertutup dan napasnya tersengal-sengal. Tangan kanannya masih
meremas-remas kemaluan Atok yang kini duduk di dekat kepala Wiwin. Deni memeluk
tubuh bahenol yang ada di atasnya itu.
”Kamu puas Win? Bagaimana pelayanan kami berempat?”
Wiwin mendesah puas, tetap menutup matanya.
”Asyiklah Mas, luar biasa kalian ini. Kalau tahu begini dari dulu aku nggak
perlu bingung cari-cari laki-laki pemuas napsu.”
“Kan ada Roni”, kata Atok menimpali.
”Memangnya dia nggak pernah beginian sama kamu?”
Wiwin mencibir, ”Uuh..., si Roni?” tanyanya.
”Boro-boro. Orang alim macem itu.., tiap kali pacaran kerjanya cuman kasih
nasehat doang. Paling banter cium bibir. Pegang susu aja kagak berani”.
Aku tertawa menimpali, ”Bego banget si Roni ya. Ada barang begini indah dia
ngak mau. Gratisan lagi”, kataku sambil mengelus-elus punggung Wiwin yang masih
tidur telungkup di atas tubuh si Deni.
Wiwin memukul tanganku, ”Enak aja, gratisan.., emangnya gua apaan?”, katanya
sambil tertawa.
Dia kini berusaha berdiri, tetapi limbung dan akhirnya jatuh dan tidur
telentang di sebelah tubuh Deni.
”Aduuh.., gua capek sekali nih. Maklum belum sehat”, katanya.
Dan seperti dikomando, mulailah serangan batuknya yang sejak kami mulai main
tadi entah kenapa sama sekali berhenti. Aku pergi ke kulkas dan memberikan
botol air es padanya.
”Minum dulu Win”, kataku.
Dia hanya minum seteguk.
”Udah ah, aku tadi udah minum mani kalian banyak sekali. Itu kan juga obat”,
katanya sambil berdiri.
”Udahan dulu ya, Wiwin harus pergi ke rumah temen sekarang. Tapi Mas-Mas mau
maen kaya tadi lagi kan? Wiwin pengen sekali lho, Oke?”
“Oke Wiin”, jawab kami seperti koor.
“Asyiklah kalau begitu. Sekarang gua sudah dapet dua, lainnya pasti menyusul”,
katanya.
Aku tidak mengerti maksudnya. Wiwin berdiri, menyambar daster kebesarannya,
tersenyum manis dan masuk ke kamar mandi. Tinggallah kami berempat di ruang
tamu, telanjang bulat dan sama sama terdiam setengah bengong memikirkan apa
yang tadi baru kami alami.
Itulah awal dari segalanya...
Mulai hari itu, Wiwin menjadi “mainan” kami. Tidak peduli pagi, siang, sore
atau malam, setiap ada kesempatan kami selalu menggerayangi dan menikmati
tubuhnya. Wiwin tidak pernah mengeluh, tidak pernah menolak, bahkan anehnya dia
tampak “setengah memaksa” agar kita mau menikmati tubuhnya. Aku sadar dia
ternyata ********* yang luar biasa, sangat suka permainan oral (“main emut”
istilah dia), dan tidak segan-segan melakukan segala cara yang tidak lazim
untuk memuaskan nafsu seks kami.
Kuliah kami jadi kacau balau, karena kami lebih suka tinggal di rumah dan
melakukan pesta seks dengan Wiwin daripada pergi ke kampus. Tidak ada rasa malu
lagi bagi kami untuk bersetubuh secara bergiliran (kadang-kadang Wiwin duduk di
kursi dengan kaki terkangkang di sandaran tangan kursi, dan kami bergiliran
menyetubuhinya). Aku sudah mulai terbiasa bangun pagi dengan “jam weker” si
Wiwin (dia memang kalong, paling telat tidurnya dan paling cepat bangunnya di
antara kami). Caranya membangunkan kami adalah dengan mengulum dan
menarik-narik batang kemaluan kami secara bergantian, sampai kami bangun.
Kalau sudah begitu, siapa yang masih punya pikiran untuk ikut kuliah pagi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar