Selama perjalanan menjalani kehidupan sebagai
seorang Call Girl, banyak kualami bermacam perilaku sexual, banyak kupelajari
kehidupan yang sama sekali tak pernah terlintas sebelumnya, mungkin sebagian
besar masyarakat menyebut kelainan sexual, sebagian lagi menyebut gaya hidup
bahkan sebagian lainnya menyebut petualangan, terserah dari sudut mana mereka
memandang, tapi bagiku semua itu adalah expresi naluri liar yang ada dalam diri
manusia. Sudah beberapa kali aku melayani tamu yang mempunyai fantasi sexual
yang liar, mereka minta dilayani 2-3 wanita, meskipun sebenarnya kebanyakan
dari segi fisik tidak mampu, tapi fantasi untuk diperlakukan bak raja
mengalahkan logika mereka.
Sore itu seperti biasa aku sudah meluncur dari satu hotel ke hotel lainnya,
dari satu ranjang ke ranjang lainnya, dari pelukan satu laki laki ke laki laki
lainnya. Sebenarnya tamuku kali ini bukanlah seperti umumnya, dia mengaku
bersama istrinya ingin main bertiga, katanya, ini adalah kali kedua aku
melayani suami-istri (baca: "Ada Apa Dengan Cinta?").
Meskipun aku sudah 'kebal' dengan perilaku aneh, tapi aku masih belum bisa
mengerti mengapa seorang istri membiarkan suaminya bercinta dengan wanita lain,
di hadapannya pula, bahkan ikutan terlibat, tapi apa peduliku sejauh mereka
membayar sesuai kesepakatan bagiku tidak ada salahnya.
Aku bukanlah seorang bi-sexual yang bisa melayani laki laki dan perempuan, aku
juga cukup sering melayani seorang laki laki bersama gadis lainnya, tapi dengan
sepasang suami istri sebenarnya memberikan sensasi yang jauh lebih tinggi
daripada sekedar permainan bertiga umumnya.
Ketika sampai di kamar yang kutuju, istrinya, seorang wanita berkulit putih
yang tidak terlalu cantik menyambutku di pintu kamar hotel di jalan Basuki
Rahmat, usianya kutaksir awal 40-an tapi bodynya masih bagus seperti layaknya
gadis 20-an, suaminya kelihatan acuh menyambut kedatanganku, mungkin berusia 50
tahunan, cukup jauh perbedaan mereka.
"Mas, ini Lily sudah datang nih", kata si istri pada suaminya yang
hanya melirikku sambil nonton TV.
"Hmm.., langsung aja suruh dia mandi", perintahnya dengan angkuh
tanpa melihatku.
Agak ragu juga aku melihat penerimaan suaminya seperti itu, mungkin dia tidak
cocok denganku atau bagaimana, aku nggak tahu. Istrinya hanya melihat dan
tersenyum ke arahku seraya menggandengku ke kamar mandi.
"Mandi dulu lalu kenakan ini" kata si istri menyerahkan piyama batik
yang di ambil dari lemari.
"Bapak baik baik saja Mbak? kalau dia nggak cocok sama aku, lebih baik
nggak jadi aja deh daripada dipaksain, ntar nggak bisa enjoy", tanyaku
melihat keangkuhan suaminya.
"Dia emang begitu, dingin dingin mau, lihat aja nanti, percaya deh sama
aku", jawabnya meyakinkan.
Si istri ternyata tidak keluar ketika aku mulai melepas kaos dan celana
jeans-ku, dia malah ikutan melepas pakaiannya sambil melihatku mandi.
"Maaf Mbak, aku nggak bisa melayani Mbak", kembali aku menegaskan
posisiku ketika kulihat dia sudah hampir telanjang.
"Husss, aku juga nggak mau, jangan pikirkan itu, yang penting suamiku
puas"
"Maass, mau ikutan mandi bareng nggak", teriak istrinya dari kamar
mandi, namun tak ada jawaban dari suaminya, bahkan sampai teriakan ketiga juga
tidak terdengar jawaban.
"Body kamu bagus, pasti dia cepat mabok kepayang", komentarnya saat
melihatku mandi.
Selesai mandi aku tak jadi mengenakan piyama, aku dan si istri hanya berbalut
handuk di dada, kami keluar bersamaan. Ternyata si suami sudah berbaring di
atas ranjang, hanya mengenakan celana dalam, si istri memandangku penuh arti
lalu menganggukkan kepala, aku segera mengerti. Tanpa rasa segan pada istrinya,
aku menyusul suaminya ke ranjang, tapi sebelum sampai ke ranjang, si istri
menarik lepas handukku hingga aku telanjang di depan suaminya.
"Wow, kamu cantik dan sexy dengan payudara yang indah", komentar
suaminya melihat tubuh telanjangku.
Aku hanya tersenyum mendengar pujiannya, langsung berjongkok di antara kedua
kakinya, kuraba raba pahanya, terlihat
kejantanannya yang menonjol dari balik celana dalamnya, sengaja kuperlambat
irama permainan, tidak segera menyentuh
kejantanannya.
"ciumi dadanya Ly, dia senang diperlakukan seperti itu", bimbing
istrinya yang duduk di samping suaminya.
Segera kunaiki tubuh si suami, kuciumi pipi dan lehernya, kujilati putingnya,
lidah dan bibirku turun terus menyusuri dada dan perutnya, tanganku mulai
meraba dan meremas remas kejantanan yang semakin keras.
Mereka berciuman ketika kulepas celana dalamnya, langsung keluarlah penisnya,
tidak terlalu istimewa, biasa saja. Langsung kugenggam dan kuremas remas,
kukocok kocok, mereka masih berciuman bibir sambil tangan si suami meremas
remas buah dada istrinya.
"Kulum dan lumat dia", perintah istrinya saat melihatku sudah mulai
menciumi kejantanan suaminya.
Ketika lidahku mulai menyentuh kepala penisnya, kulihat sesaat suaminya melihat
ke arahku.
"Uff.., ya terus sayang", komentarnya, entah ditujukan padaku atau
pada istrinya.
Kami segera kembali saling melumat bibir, kusapukan lidahku ke seluruh kepala
dan batang penisnya, bahkan hingga kantong bola, desahannya tertahan di mulut
istrinya. Mereka menghentikan ciumannya ketika kumasukkan kejantanannya ke
mulutku, keduanya melihat bagaimana penis itu menerobos masuk di sela sela
bibir manisku lalu meluncur keluar masuk dengan cepat, tangan si suami memegang
kepalaku dan mendorongnya lebih dalam.
"Ssshhh.., kamu pintar manis.., terusss.., yaaa" desahnya kembali.
Tak lama saat si istri menyodorkan putingnya ke mulut suaminya, bergantian
mereka mendesah. Aku masih menjalankan tugasku, menjilat dan mengulum saat
suami istri itu berganti posisi, mereka membentuk 69, ke empat tangan
bergantian mengocok penis itu diselingi jilatan dan kulumanku. Beberapa kali
jeritan si suami terucap disertai pujian saat penis itu meluncur di mulutku,
istrinya hanya tersenyum dan menatapku tajam setiap kali kulumat ataupun
kusapukan lidahku pada kejantanannya, dia seperti menikmati, namun tak
sekalipun bibirnya menyentuh penis suaminya, apalagi menjilati atau mengulum,
entahlah.
Si istri memutar tubuhnya, dia mengatur posisi di atas suaminya, perlahan
tubuhnya turun diiringi desahan nikmat, aku yang masih berada di selangkangan
dengan jelas melihat bagaimana penis itu pelan pelan menguak liang
kenikmatannya sambil kuelus elus kantong bolanya. Tubuh si istri langsung turun
naik ketika berhasil melesakkan semua penis si suami, seperti naik kuda dia
menghentakkan tubuhnya dengan kuat diiringi desahan desahan erotis.
Aku berpindah ke atas, kuciumi pipi si suami, dia langsung meraih kepalaku dan
melumat bibirku dengan penuh gairah, lidah kami saling beradu, tangannya
menggerayangi kedua buah dadaku, meremasnya agak kuat, sekuat goyangan istrinya
di atas. Vaginaku terasa semakin basah melihat permainan liar istrinya, ingin
segera merasakan kenikmatan yang di dapat si istri, tinggal tunggu kesempatan,
pikirku.
Sambil mendapat kuluman bibir dan remasan, tanganku tanpa sedar mulai
mempermainkan klitorisku sendiri, kusodorkan putingku ke mulut si suami,
disambutnya dengan kuluman kuluman liar pula, dan akupun ikut mendesah. Ketika
kulihat jeritan orgasme dari si istri, aku merasa giliranku segera tiba,
kugeser tubuhku di belakang si istri, seperti
orang yang sedang mengantri. Meskipun sebenarnya penampilan maupun wajah si
suami tidaklah menarik perhatianku, tapi melihat permainan mereka aku jadi
ikutan terbawa suasana, dan lebih lagi sensasi bercinta dengan laki laki di
depan istrinya sungguh tak pernah kulupakan.
"Aduh Mas, enak banget, lebih asyik dari pada di rumah", kudengar
bisikan istrinya di sela sela sengalan napasnya, mereka berpelukan beberapa
saat.
Aku masih di belakang si istri sambil mengelus elus kantong bola suaminya,
berharap dia segera turun. Setelah istrinya turun, si suami menarikku dalam
pelukannya, kami kembali berciuman dan bergulingan, dia mencumbui sekujur
tubuhku, menjilati leherku, melumat kedua putingku. Vaginaku yang sudah basah
semakin basah, ingin segera kumasukkan kejantantan itu, tapi rupanya dia masih
ingin mempermainkanku lebih lama, padahal aku yakin penis tegangnya hanya
beberapa mili dari liang kenikmatanku, bahkan sesekali kurasakan gesekan keras
di bibir vaginaku, tapi belum juga terjadi penetrasi, aku makin tersiksa
seperti cacing kepanasan, berulang kali permintaanku untuk segera melesakkan
penisnya hanya ditanggapi dengan senyuman.
Istrinya yang dari tadi hanya melihat suaminya mencumbuiku, mulai ikutan, dia
mengelus elus punggungnya, menciumi pantatnya lalu mengocok penisnya dengan
tangannya, sesekali diusapkan ke vaginaku tanpa memasukkan. Kupeluk erat tubuh
si suami di atasku, ingin rasanya segera mendapat kocokan di vagina, ciumannya
turun hingga mencapai
selangkanganku, lidahnya menjelajah seluruh daerah intim kenikmatan yang sudah
basah, aku semakin mendesah terbakar birahi.
Tiba tiba si istri telentang di sampingku, menarik tubuh suaminya dari
selangkanganku dengan paksa, tentu saja aku kecewa tapi apa dayaku, aku tak
berhak untuk menuntut apa lagi menuntut layanan atas suaminya. Dengan hati
dongkol aku terpaksa tersenyum saat si suami mengecup bibirku dan berpindah
dari tubuhku ke atas tubuh istrinya. Aku masih telentang terdiam dengan
perasaan dongkol, napasku yang mulai menderu semakin kencang saat melihat
pantat si suami
mulai turun naik dengan cepat di atas tubuh istrinya, diiringi desahan desahan
nikmat mereka berdua.
Permainan mereka sungguh menggoda, aku jadi terbawa untuk ingin ikutan bermain
bertiga, berulang kali kugoda mereka untuk mengalihkan perhatiannya padaku tapi
sepertinya si istri selalu menghalangi ketika suaminya hendak beralih padaku,
kecuali hanya sebatas cumbuan dan rabaan. Sambil mengocok istrinya, tangan si
suami menggerayangi tubuhku, aku hanya mendesah sambil mempermainkan klitoris
dengan jariku sendiri, tak kupedulikan lagi mereka, kini akupun ikutan mendesah
dengan caraku sendiri, dibantu rabaan si suami.
Mereka bercinta dengan liar, berganti ganti posisi, aku selalu menempatkan diri
supaya tubuhku terjangkau dari rabaan si suami, terkadang secara demonstratif
kupermainkan klitorisku di depan si suami. Namun semua usahaku untuk merengkuh
orgasma sia sia belaka, aku memang tak pernah melakukannya sendiri sampai
orgasme dan memang tak inging karena selalu ada laki laki yang memenuhi hasrat
ini, mana bisa dibandingkan kenikmatan kocokan penis dengan permainan jari di
klitoris.
Ketika mereka berposisi doggie, aku berdiri di depan suaminya, kusodorkan
vaginaku ke mukanya, dia menyambut dengan jilatan lidahnya di klitoris tanpa
menghentikan kocokannya, kuremas remas rambutnya. Bahkan ketika aku ikutan
nungging di atas tubuh istrinya, dia hanya menciumi vagina dan pantatku, aku
hanya berharap dia memenuhi hasratku segera, paling tidak dengan kocokan jari
jari tangannya sudah cukuplah saat itu, tapi tidak terjadi.
Entah sudah berapa kali kudengar teriakan orgasme dari si istri, tapi dia
selalu menghalangi setiap kali suaminya berusaha menghentikan kocokannya dan
beralih padaku. Akhirnya aku menyerah pasrah, mungkin nanti setelah babak ini
tiba gilirannya. Kupeluk si suami dari belakang, yang mengocok istrinya, buah
dadaku menempel rapat pada punggungnya yang berkeringat, terasa hangat, kugesek
gesekkan sambil meraba raba dada dan perut yang agak buncit itu, sesekali
kuciumi tengkuknya, dia menggeliat geli. Tangannya kubimbing ke selangkanganku,
namun dia hanya mengusap usap klitoris dan menggesek bibir vaginaku tanpa
berusaha memasukkannya, bahkan ketika kupaksa memasukkan jari jarinya, dia
malah menariknya, aku semakin hopeless. Mereka bersetubuh dengan liar seakan
melupakan keberadaanku di kamar itu.
Harapanku semakin terbang menjauh saat kudengar teriakan kenikmatan puncak
mereka berdua secara bersamaan. Si suami segera menarik keluar kejantanannya,
membalik tubuh istrinya lalu menjepitkan penis yang masih basah karena cairan
kenikmatan itu di antara kedua buah dadanya. Kulihat berulang kali si istri
menghindar dan menutup rapat bibirnya saat kepala penis mengenai mulutnya. Si
suami melihat ke arahku, seperti baru sadar aku ada, ditariknya tubuhku lalu
ditelentangkan di samping istrinya, dia beralih menaiku tubuhku dan menjepitkan
penisnya ke buah dada sambil memainkan putingku hingga akhirnya melemas
beberapa menit kemudian, diakhiri dengan kocokan di mulut. Kurasakan aroma
sperma yang kuat menyengat memenuhi rongga mulutku, pasti sudah berampur dengan
cairan istrinya. Dia tersenyum puas, tanpa kata meninggalkanku sendirian di
ranjang, menyusul istrinya ke kamar mandi. Tak lama kemudian
kususul mereka yang sedang mandi, berdua dengan istrinya kami memandikannya.
Babak selanjutnya ternyata tak lebih baik, sepertinya mereka memang menyewaku
hanya untuk menambah sensasi, perananku sebagai foreplay dan penutup tanpa aku
bisa merasakan permainan yang sebenarnya, seperti layaknya figuran yang hanya
numpang lewat penambah indahnya permainan.
Pukul 23:30, setelah membersihkan diri dan mandi, aku pamit pulang, sebenarnya
mereka masih mengharapkanku untuk menginap, melanjutkan permainannya, namun
meskipun statusku dibayar tapi kalau berperan seperti itu tentu merupakan
siksaan yang berat. Dengan alasan aku sudah ada janjian dengan orang lain, maka
mereka tidak bisa menahanku lebih lama lagi karena memang sebelumnya tidak ada
permintaan untuk menginap.Akhirnya mereka melepaskan kepergianku, mungkin
dengan kecewa. Hingga keluar kamar meninggalkan mereka berdua, aku tidak tahu
nama suami istri tersebut, hal ini bukan pertama kali terjadi, bahkan terkadang
meskipun kami tidur dan bercinta semalaman tak jarang aku tidak tahu nama orang
yang telah meniduri dan menikmati tubuhku.
QUICKIE
Akupun langsung naik ke lantai 9, karena memang sudah janjian untuk menemani
menginap dengan tamuku yang lain.
Dengan tamuku inilah aku berharap bisa menumpahkan segala birahi yang tertahan
sejak tadi, ingin kuberikan servis yang sepenuhnya, bercinta hingga pagi,
nonstop.
Pak Beni, nama tamuku berikutnya, ternyata sudah menungguku, terlihat sinar
kelelahan di matanya.
"Ah akhirnya kamu datang juga, hampir kutinggal tidur", sambutnya
ketika membukakan pintu kamar.
"Maaf Pak, habis tadi teman teman ngundang pesta ulang tahun dulu, untung
aku bisa ngabur nemuin Bapak", jawabku berdalih.
Mana mungkin aku berterus terang kalau sedang menemani tamu lainnya. Sudah
menjadi watak dasar manusia, meskipun statusku hanyalah gadis panggilan tapi
kalau mendengar aku sedang bersama laki laki lain selalu timbul rasa
cemburunya, ini berdasarkan pengalamanku.
Aku langsung mandi, dua kali dalam waktu tidak lebih 10 menit, di kamar yang
berbeda dan dengan orang yang berbeda pula, sekedar meyakinkan bahwa tidak ada
lagi sisa sisa dari tamuku sebelumnya. Selesai mandi kukenakan piyama yang ada
di lemari dan kutemani Pak Beny yang sedang tiduran di ranjang menungguku.
"Bapak capek ya, sini aku pijitin", aku menawarkan diri.
"Pijit beneran ya, kebetulan aku lagi capek dan ngantuk, dari Jember tadi,
jalanan macet lagi", jawabnya sambil langsung tengkurap.
Sepuluh menit aku memijit kakinya, kudengar dengkur kelelahan dari Pak Beni,
rupanya dia sudah tertidur kelelahan,
meninggalkanku seorang diri dalam keadaan masih terbakar gairah. Tak tega
rasanya membangunkannya, dan tidaklah etis kalau aku memaksa dia untuk
melampiaskan nafsuku, maka akupun kembali "menganggur" mendengarkan
dengkurannya.
"sungguh malam yang sial" pikirku, baru kali ini aku dibooking oleh 2
laki laki dalam semalam tanpa merasakan penis di vaginaku. Dengan susah payah
akhirnya akupun tertidur di sampingnya dalam keadaan birahi yang masih
menggantung tinggi.
Keesokan paginya saat aku terbangun, kulihat Pak Beny sudah rapi bersiap untuk
pergi.
"Pagi Pak, maaf aku baru bangun, abis Bapak nggak ngebangunin sih",
sapaku lemah.
"Sorry, semalam aku tertidur, habis pijitanmu enak sih, dan lagi badanku
terasa capek banget", jawabnya sopan.
Kulihat dia meletakkan amplop putih di atas meja.
"Aku ada rapat nanti jam 9 ini, kalau kamu pulang titipkan saja kuncinya
di receptionist dan ini uang kamu", lanjutnya.
Pak Beny adalah pelanggan tetapku, setiap kali ke Surabaya dia selalu
mem-booking-ku, biasanya kami bercinta hingga pagi, tapi kali ini lain. Mungkin
karena sudah "akrab" dia tetap membayarku meskipun dia tidak menerima
servis atau menikmati tubuhku, aku jadi nggak enak dibuatnya.
"Ah nggak usah Pak, toh kita nggak ngapa ngapain, lagian aku sudah numpang
tidur di sini", aku menolak pembayarannya.
"Jangan begitu, kamu toh sudah meluangkan waktumu menemaniku tidur, jadi
sudah hak kamu untuk mendapatkannya"
"Tapi aku kan tidak berbuat apa apa untuk Bapak", aku masih
bersikeras
"Itu salahku dan aku tidak mau kesalahan itu merugikan kamu"
Aku terdiam sesaat.
"Aku tidak bisa terima pemberian tanpa mengerjakan apa-apa"
"Ya udah kalo begitu bersihkan kamar sebelum pergi", katanya sambil
tertawa.
"Bapak kan rapat jam 9, sekarang masih jam 8, jadi ada waktu 30 menit
kan", bujukku sambil mendekatinya.
Kupeluk tubuhnya yang setinggi telingaku itu, sambil tanganku meremas remas
selangkangannya.
"Kamu memang pintar ngerayu, maumu apa" tanyanya pura pura
"Paling 10 menit aja" jawabku meyakinkan sembari membuka resliting
celananya, dia diam saja.
"Mana bisa 10 menit, paling tidak 30 menit"
"Percaya aku deh, 10 menit tidak lebih, bahkan mungkin kurang",
tantangku sambil mengeluarkan dan mengocok penisnya.
Kuciumi lehernya, aroma parfumnya terasa lembut menyengat, kukeluarkan
kejantanannya, dia mulai mendesis dan menjamah dadaku, tangannya diselipkan di
balik piyama, meremas remas lembut bukit ranum di dadaku. Aku merosot turun
dari pelukannya, berlutut di depannya, penisnya tepat di depanku, sedetik
kemudian kulahap habis dan keluar masuk ke mulutku. Pak Beny mendesis, meremas
remas rambutku dan mulai menggerakkan pinggulnya mengocok mulutku.
Lidah dan bibirku bergerak lincah sepanjang penis yang makin keras menegang,
sesekali kuselingi dengan gigitan ringan menggoda. Aku lalu duduk di atas meja
menghadapnya, piyama sudah melayang dari tubuhku, kusapukan penis tegangnya,
tanpa menunggu lebih lama, dia mendorong masuk melesakkannya ke vaginaku,
terasa sedikit sakit dan perih karena vaginaku masih kering, hanya air liurku
yang ada di batang penis menjadi pelumas, dengan sedikit usaha akhirnya bisa
tertanam semuanya. Terasa begitu nikmat setelah tersiksa semalaman, seperti
biasa, Pak Beny langsung mengocokku dengan cepat dan keras, permainannya memang
cenderung kasar namun menimbulkan kesan erotis.
Dia meremas remas kedua buah dadaku dengan keras, tiba tiba secara kasar
dicabutnya penis itu, tubuhku dibalik, aku menungging di depannya, tanganku
bersandar pada meja, detik berikutnya dia mulai memompaku dari belakang, tepat
menghadap cermin di atas meja. Aku terdongak merasakan sodokan demi sodokan,
ditariknya rambutku ke belakang, lalu pegangannya beralih ke buah dadaku dan
meremasnya kuat. Aku menjerit antara sakit dan nikmat, Pak Beny tak
mempedulikan jeritanku, semakin kuat dia membenamkan ke vaginaku, sesekali
diiringi tamparan ringan pada pantatku, terasa agak panas, semakin aku mendesah
semakin kuat tamparannya, kutoleh wajahnya menyeringai menikmati permainan ini,
pantatku sudah agak memerah.
Permainan kasarnya membawaku melayang mengarungi lautan kenikmatan, aku
mengimbangi dengan goyangan pantat, meremas remas kejantanannya yang berada di
vaginaku, akhirnya kurasakan tubuhnya menegang, cengkeraman di buah dadaku
makin kuat dan menyemburlah cairan nikmat memenuhi celah celah kenikmatanku,
terasa hangat, seiring dengan denyutan denyutan kuat menghantam dinding-dinding
kewanitaanku. Pak Beny menjerit keras dalam kenikmatan bercinta saat kuremas
remas dengan otot otot vaginaku.
Meskipun aku belum orgasme tapi aku sudah puas melihat tamuku mendapat
kenikmatannya. Segera kucabut penisnya, kuraih dan kugenggam, ternyata masih
cukup keras. Aku mengambil piyama yang tergeletak di lantai untuk membersihkan
penis itu, tapi Pak Beny mendorong tubuhku turun, mengerti maksudnya, maka
kukulum kembali penisnya sambil
kusapu-sapukan ke wajahku, bau sperma sangat kuat, lebih tajam dari punya
tamuku tadi malam.
"8 menit, ternyata kamu memenuhi janjimu, tak lebih dari 10 menit",
katanya saat aku "mencuci" penisnya dengan mulutku.
Dia langsung memasukkan kejantanannya kembali ke 'sarang'nya setelah dirasa
cukup bersih.
"Kuncinya kasih aja ke receptionist kalau kamu pulang nanti", katanya
sambil menutup resluiting celananya.
"Nanti siang kalo Bapak masih mau ngelanjutin, HP aja ya", kataku
sebelum dia meninggalkan kamar.
Aku tahu bagi dia tentu belum cukup kalau hanya permainan cepat seperti itu dan
aku yakin uang yang dibayarkan adalah untuk tarif menginap seperti biasanya,
meskipun aku belum membuka amplop itu.
"Tergantung nanti", jawabnya seraya menutup pintu kamar.
VAGINA MONOLOG
Sepeninggal Pak Beny, aku kembali rebahan di ranjang, ingin melanjutkan tidurku
yang tidak terlalu nyenyak, kunyalakan HP dan membaca SMS yang masuk, tidak ada
booking-an yang masuk, semua SMS hanyalah ajakan hura hura nanti malam.
Aku kembali terlelap dalam pelukan ranjang hangat nan empuk, tiba tiba HP-ku
berbunyi, agak malas juga menerimanya, ternyata Pak Indra, salah satu tamu
langgananku yang unik.
"Haloooo, pagi Bapak", suaraku agak parau.
"Pagi Non, baru bangun rupanya ya", suara dari seberang sana.
"Ih Bapak sok tahu deh", jawabku manja
"Dari suaranya emang kelihatan kok, masih parau"
"Ah udah lama kok, tapi tidur lagi, abis cuacanya ngajak tidur sih",
aku memberi alasan karena diluar memang mendung.
"Ya udah, kalo nggak ada acara kita ketemu yuk, gimana?", ajaknya
"Kapan dan dimana?", aku mulai antusias mendengarnya.
"Gimana kalo sekarang aja, aku lagi ada seminar di hotel xxxx, giliranku
nanti setelah makan siang, jadi kita bisa ketemu sebelumnya, kalo sesudahnya
nggak bisa, gimana?"
Aku terdiam kaget, entah kebetulan macam apa ini, ketiga tamuku berturut turut
berada di hotel yang sama, tinggal naik atau turun lantai.
"Halooo, gimana Ly, bisa nggak?"
"Pagi ini? Kasih aku satu jam deh, mandi dulu, sarapan dulu, dan pagi gini
biasanya kan macet, Bapak di kamar berapa sih?"
Dia menyebutkan nomor kamarnya, berarti aku harus naik lagi 2 lantai, sengaja aku
minta waktu lebih lama supaya tidak curiga kalau kami berada di hotel yang
sama.
Kumanfaatkan waktu yang tersisa dengan mandi dan berendam di bathtub, air
hangat serasa melemaskan otot ototku dan meredakan ketegangan yang ada dalam
diriku, begitu relax dan santai. Lebih 30 menit kuhabiskan dalam nikmatnya
pelukan air panas di pagi hari, segera aku berpakaian, pakaian yang semalam
terpaksa kukenakan kembali untuk menemui tamuku ketiga dengan pakaian yang
sama, make up tipis kusapukan ke wajahku dan tak lupa Issey Miyake menambah
semarak aroma tubuhku. Setelah mengemasi barangku dan memastikan tak ada yang
tertinggal, kupanggil Room Boy untuk menitipkan kunci ke receptionist dengan
diselipi selembar 20 ribuan, kulihat dia begitu gembira menerima rejeki di pagi
hari. Kususuri koridor menuju Lift, beruntunglah sepanjang jalan menuju kamar
Pak Indra tak kujumpai orang yang kukenal (hal ini sering terjadi, terutama di
hotel ini yang merupakan favorit tamuku setelah Shangri La).
Pak Indra menyambutku dengan ciuman di pipi, penampilannya masih seperti
biasanya, tenang, lembut, ganteng dan elegant di usianya yang sudah pertangahan
40 tahun. Dia seorang dokter, katanya sih spesialis tapi aku tak tahu spesialis
di bidang apa. Kumis dicukur rapi dengan dasi pink menghiasi stelan kemeja yang
berwarna sama.
"Udah lama nunggu Dok?", sapaku setelah melepaskan diri dari pelukan
dan ciumannya.
"Jangan panggil gitu ah, kayak pasien aja, aku baru datang, belum juga
duduk kamu udah nongol"
Pak Indra adalah salah satu tamu yang terbilang unik, dia lebih suka mengobrol
dan curhat dari pada harus bercinta, entah kenapa, tak jarang dia memuji muji
kecantikan dan kebaikan istrinya, toh meskipun begitu dia nyeleweng juga,
secara garis besar aku jadi tahu kehidupan pribadi keluarganya, baik itu istri
maupun anak anaknya secara mendetail, mulai namanya, kerjanya, umurnya, bahkan
aku juga tahu dimana anak anaknya sekolah. Dia begitu terbuka padaku, tapi aku
tak pernah tahu alasan dia berselingkuh.
Seperti kebiasaannya, kami duduk berseberangan di sofa, seperti orang yang lagi
bicara bisnis, tak ada pembicaraan yang menjurus ke sex ataupun porno, semua
hanyalah masalah ringan tentang politik, film, TV, musik dan untunglah aku yang
sering nonton TV maupun baca majalah bisa meladeni pembicaraannya, jadi nggak
timpang. Cangkir Chinese Tea dan snack yang ada di meja di depan kami sudah
habis, mungkin sudah lebih setengah jam kami ngobrol tapi tak ada tanda tanda
untuk mulai permainan panas, aku sudah mahfum akan kebiasaannya, jadi tak perlu
buru buru.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 10:47 ketika dia menggandengku ke ranjang,
kami saling melepas pakaian, menyisakan celana dalam dan bra hitam berenda
putih, kontras dengan kulitku yang putih mulus, dia memandangiku sejenak.
"Kamu makin cantik dan sexy", komentarnya.
Dengan sopan Pak Indra merebahkan tubuhku di atas ranjang. Bibir lembutnya
menyapu kening, pipi dan bibirku, aku terpejam menikmati sentuhan lembutnya
menyusuri wajahku. Sapuannya perlahan menjelajah turun, leher dan dada adalah
favoritnya, masih dengan lembut dia mengeluarkan kedua bukitku dari
'sarang'nya. Lidahnya langsung mendarat di puncak bukitku dan menari nari
mempermainkan putting yang merah kecoklatan, aku mendesah merasakan kenikmatan
yang mulai menjalar ke sekujur tubuhku. Tangan Pak Indra berpindah dari remasan
di dada ke selangkangan, diselipkannya di antara celana dalamku, dia
menggesek-gesekkan jarinya di bibir liang kenikmatan, masih kering. Bibirnya
bergerak turun ke perut dan berhenti di antara kedua kakiku, dengan kedua
giginya dia melepas celana dalam yang menghalangi gerakannya.
Aku menjerit tertahan saat lidahnya mulai menyentuh klitorisku, ada
kekhawatiran kalau dia, seorang dokter, masih bisa mendeteksi sisa sisa sperma
yang ada di rongga kewanitaanku, meskipun aku sudah berusaha untuk
membersihkannya sejauh mungkin. Kecemasanku perlahan hilang saat bibirnya mulai
mempermainkan bibir vaginaku, dengan gerakan yang kurasa indah disusurinya
celah celah kewanitaan di selangkanganku, sungguh terasa kenikmatan yang
berbeda dari jilatan lainnya, aku semakin mendesah nikmat sambil meremas remas
kedua buah dadaku, sesekali kujepit kepalanya dengan pahaku dan meremas remas
rambutnya.
Pak Indra hanya tersenyum melihat kenakalanku tapi dia terus melanjutkan permainan
lidah dan mulutnya. Puas bermain di selangkangan, ciumannya kembali naik ke
perut, dada dan untuk kesekian kalinya kami saling melumat dan
bermain bibir, lidah beradu lidah. Pak Indra membalik tubuhku, dijilatinya
telinga, tengkuk dan sekujur punggungku hingga ke pantat, aku menggelinjang
geli apalagi tangannya tak henti mempermainkan vagina dan klitoris. Memang
kegemaran dan keahlian Pak Indra adalah melumat seluruh tubuh pasangannya,
mungkin ini adalah kompensasi atas
kelemahan yang dia miliki. Entah berapa kali vaginaku mendapat sedotan dan
kuluman nikmat darinya. Kami berpelukan mesra dan bergulingan, giliranku untuk
memuaskannya, ciumanku turun ke lehar dan dada, kukulum dengan gigitan
ringan di putingnya, Pak Indra menggelinjang, lidahku menyusuri perutnya yang
rata seolah tanpa lemak. Akhirnya kulepas celana dalamnya, tampaklah kejantanan
yang masih tergolek lemas, inilah ke-unikan dari Pak Indra, dia
menderita impotensi ringan (menurutnya sih), laki laki normal pasti sudah
tegang setelah cumbuan cumbuan seperti itu, tapi ini kasus lain, karena aku
sudah berulang kali melayani dia, akupun sudah mempersiapkan mental untuk itu.
Kugenggam penisnya yang lemas, ingin ketawa rasanya melihat penis yang begitu
tidak berdaya, padahal masih relative muda, tapi tentu saja kusimpan rasa itu
beralih ke rasa kasihan. Kuciumi dengan penuh kasih sayang pada penis yang
tidak pernah memberiku kepuasan itu, seperti menciumi mainan anak anak, tak ada
sama sekali kesan kalau penis itu merupakan alat kejantanan dan kebanggaan laki
laki. Begitu bersih dan kemerahan seperti penis anak anak, mungkin karena tidak
pernah dipakai, karena itu tanpa ragu dan ada perasaan jijik kujilati dan
kumasukkan dalam mulutku, semua bisa kulahap masuk, hidungku menyentuh rambut
kemaluannya. Pak Indra mulai mendesis saat kupermainkan lidahku pada penisnya
yang masih berada di mulutku, ingin kugigit karena gemas.
Beberapa menit penis itu mulai sedikit menegang, tapi masih jauh dari memenuhi
syarat untuk bisa penetrasi, kombinasi kuluman dan kocokan tangan disertai
elusan lembut di kantong bola membuatnya mekin mendesah desah dalam irama
kulumanku.
"Kita coba Ly", katanya, seperti kebiasaannya.
Aku telentang di sampingnya, kubuka kakiku lebar lebar, dia mengambil posisi di
atas seperti layaknya laki laki siap bersetubuh, kubantu menggesekkan penisnya
ke vaginaku, belum berhasil, beberapa kali kucoba tetap saja masih kurang
perkasa menembus liang kenikmatanku, malahan semakin melemas. Terpaksa kuambil
inisiatif lain, kuminta dia telentang, kukulum dan kupermainkan sejenak seperti
tadi, sedikit menegang, segera kunaiki tubuhnya dan kuusapkan ke bibir
vaginaku, namun kembali tidak membuahkan hasil.
Setelah beberapa kali usaha dengan bermacam cara akhirnya kami menyerah,
terpancar sinar kekecewaan di wajahnya meskipun senyuman menghiasi wajahnya.
Aku merasa gagal untuk memuaskannya, meskipun hal itu terjadi setiap kali kami
bertemu, terkadang hanya sekali penetrasi tapi begitu ditarik tidak bisa masuk
lagi, namun kali ini gagal total. Akhirnya kuputuskan memuaskannya dengan cara
lain seperti yang biasa kulakukan pada Pak Indra. Aku berlutut di antara
kakinya, dia hanya telentang menunggu permainanku. Menit pertama hanya kuciumi
seluruh batangnya, menit selanjutnya jilatanku merambah ke daerah kantong bola,
menit selanjutnya penis lemas itu sudah keluar masuk mulutku diiringi permainan
lidah dalam rongga mulut. Pak Indra mendesah kenikmatan dengan caranya sendiri,
basah seluruh selangkangannya karena ludahku yang bercecer di daerah itu, kombinasi
antara jilatan, kuluman dan kocokan cukup membuatnya terbuai dalam gelombang
kenikmatan yang kuberikan.
Kami berubah posisi 69, dengan posisi ini kami bisa saling memberikan
kenikmatan, harus kuakui kepiawaiannya bermain oral ikutan membawaku melayang,
meskipun sangat jarang aku bisa orgasme hanya dengan oral, tapi saat ini
kenikmatan seperti itu sudah cukup bagiku, dari pada tidak sama sekali. Tak
lama kemudian kudengar teriakan keras disusul sedotan kuat pada vaginaku,
sedetik kemudian kurasakan sperma meleleh pelan keluar dari kejantanannya,
segera kumasukkan penisnya ke dalam mulutku dan kurasakan spermanya yang asin
gurih membasahi lidahku, aromanya masih keras kurasa. Dan penis yang lemas
itupun semakin melemas dalam mulutku.
"Uff, kamu memang pintar membuat orang puas", komentarnya setelah aku
turun dari tubuhnya.
Kusapukan penis lemas itu ke wajahku.
"Ah, Bapak juga pintar mempermainkan orang kok", pujiku jujur.
Pukul 11:30 aku sudah keluar dari kamar Pak Indra setelah mandi membersihkan tubuhku
dari sisa sisa ludahnya. Meskipun tujuan kami sama sama ke lobby tapi demi
keamanan kami harus jalan sendiri sendiri seolah tidak saling mengenal.
Sesampai di Lobby kucoba menghubungi HP Pak Benny, tapi tidak aktif, aku belum
mendapat keputusan apakah dia akan melanjutkan atau tidak siang ini.
Beberapa saat kemudian kulihat Pak Indra sudah di lobby diiringi beberapa
rekannya menuju ruang seminar, aku yakin mereka adalah sesame dokter. Pak Indra
terlihat begitu anggun dan berwibawa dengan setelan jasnya, pasti tak
seorangpun menyangka kalau dia menderita secara psikis sejak terjadinya
kecelakaan lalu lintas yang membuatnya impotent, dia hanya melirikku penuh arti
ketika kami bertemu pandang, senyumnya hanya bisa diartikan antara aku dan dia.
Kutunggu Pak Benny yang belum juga ada kepastian. Setelah 20 menit tak ada juga
kepastian dari Pak Benny, kutinggalkan hotel itu menuju hotel lain yang sudah
menunggu kedatanganku dengan tipe dan bentuk permainan yang berbeda.
TAMAT
Walaupun masih kelas 2 SMP, tapi bentuk tubuhku
sudah seperti postur tubuh gadis umur 17/18 tahun. Walaupun belum besar dan
kencang seperti sekarang, tapi payudaraku sudah tumbuh melebihi anak perempuan
seusiaku. Bahkan tak jarang, teman-teman lelakiku berusaha untuk meremas atau
paling tidak berusaha untuk memegang payudaraku ini. Ini tak lepas dari
partisipasi ibuku dalam membentuk aku. Ibu selalu mengajarkan aku untuk menjaga
badan. Ibuku saja, pada saat itu, badannya masih kayak orang belum kimpoi. Buah
dadanya besar dan kencang, pantatnya bulat dan montok, tapi pinggangnya
langsing. Dan ibu selalu mengajakku ketika ia sedang dandan, dan akupun mulai
belajar berdandan dan merapihkan diri. Ibu juga mengajari aku cara merapihkan
bulu-bulu yang ada di sekitar kemaluanku. Ibu tidak malu untuk memperlihatkan
kemaluannya sendiri, dalam rangka memberikan pelajaran untukku.
Terkadang, ketika sedang jalan atau belanja ke pasar, ibu sering di goda oleh
laki-laki. Tapi ibu selalu senyum dan bilang begini; “Lihat Mi,… semua
laki-laki pada ngeliatin ibu. Mereka cuma bisa lihat, tapi gak bisa nyentuh…
kasihan ya…?!” Tapi memang, ibuku yang cantik dan sexy ini selalu menjadi pusat
perhatian. Dan ibu pun seolah selalu ingin memamerkan keindahan tubuhnya. Ibu
nggak pernah malu untuk berpakaian, mulai dari celana jeans ketat, rok mini
(yang pendek banget), sampai baju-baju yang agak terbuka. Kalau di rumah,…
jangan ditanya…. Dia selalu memakai celana pendeknya yang super pendek dan
ketat. Bahkan, kalau di rumah nggak ada orang, dia pasti telanjang bulat
(hihihi… nggak ibu, nggak anak…. Sama aja!).
Pernah ada satu kejadian. Waktu itu, aku dan ibu sedang jalan-jalan ke Aldiron
di Blok M. Saat itu, kami sedang makan di sebuah rumah makan. Aku sedang
duduk-duduk sambil menunggu pesanan, dan ibu sedang ke kamar kecil. Tiba-tiba,
ada seorang laki-laki yang mendatangi aku dan bertanya; “Dek, tadi itu ibu kamu
ya?” tanya laki-laki itu. “Iya!” jawabku. Lalu ia bertanya lagi, “Bilang sama
ibunya ya… tanyain, Om boleh kenalan nggak?”, lalu
dia balik ke kursinya sendiri. Ketika ibu balik dari kamar kecil, aku
menyampaikan pesan orang tadi. Lalu ibu melihat ke arahnya dan tersenyum.
Singkat cerita, 1 jam kemudian kami sudah belanja-belanja bertiga; aku, ibu dan
laki-laki tadi (namanya Om Rahmat). Sepulangnya dari Blok M, kami diajak mampir
kerumahnya Om Rahmat. Kami disana dari jam 3 sore, sampai jam 9 malam. Aku
disuguhin apa aja yang aku mau. Di situ cuma ada Om Rahmat saja, nggak ada
siapa-siapa lagi. Aku cuma nonton video atau main nintendo (katanya punya
anaknya Om Rahmat). Ibu dan Om Rahmat ngobrol-ngobrol di kamarnya Om Rahmat di
atas, sementara aku di bawah, dan mereka nggak pernah keluar kamar.
Aku cuma ngeliat ibu turun 3 kali, katanya mau ke kamar mandi, dan ibu hanya
memakai handuk saja. Aku sempet tanya, tapi kata ibu, dia dan Om Rahmat sedang
olahraga senam di kamar atas. Pas pulang, kami dianterin sampai depan gang
dekat rumah. Sebelum turun mobil, ibu sempat dicium sama Om Rahmat di bibirnya,
laaammmaaa banget…!
Terus, tangannya Om Rahmat ngeremes-remes dadanya ibu, dan ibu merogohkan
tangannya ke dalam celana pendeknya Om Rahmat, seperti sedang menggenggam
sesuatu. Setelah selesai, kamipun turun mobil dan pulang. Pas lagi jalan mau
kerumah, ibu ngomong begini; “Mia, nanti nggak usah bilang ke ayah, kita
darimana. Nanti ayahmu jantungan… bilang aja kita kemaleman di jalan, soalnya
kena macet!” Aku hanya menganggukkan kepala, mengiyakan perintah ibu. Dan
kejadian itu nggak Cuma sekali-dua kali… tapi sering sekali, dan nggak cuma
sama Om Rahmat, tapi juga sama beberapa pria yang aku lupa namanya.Tapi yang
jelas, pada saat itu aku merasa bangga sekali punya ibu yang cantik, sexy,
selalu jadi pusat perhatian dan baik sama orang (soalnya waktu itu, ibu bilang
kalo’ ibu selalu bantuin dan ngajarin olahraga ke semua pria yang aku lihat…
tanpa dibayar! Baik kan?)
O iya… nama ibuku Mirna.
Suatu hari, ayah sedang tugas luar kota
selama 2 minggu. Ketika berangkat ke bandara, ibu ikut mengantarkan ayah.
Sepulangnya dari bandara, ibu diantarkan pulang oleh salah seorang teman kantor
ayah. Namanya Om Doni. Dia sempat ngobrol sebentar sama ibu, terus dia langsung
pulang. Setelah ganti baju, ibu bilang kalo’ Om Doni mengajak ibu nonton
bioskop dan makan malam. Aku disuruh jaga rumah sendiri… karena memang, aku ini
adalah anak tunggal. Ketika aku dan ibu baru selesai shalat magrib, Om Doni
datang menjemput ibu. Setelah ganti baju dan sedikit berdandan, mereka pun
berangkat. Mereka pulang sekitar jam 11 malam. Ibu bilang, Om Doni mau nginep
dirumah, soalnya ibu takut tidur sendiri. Jadinya, nanti Om doni tidur dikamar
Ibu. Karena besok harus masuk pagi, aku pamit tidur sama ibu (yang sedang
melepas bra di kamarnya) dan Om Doni (yang lagi duduk dipinggiran tempat tidur,
dan sedang melepas celana dalamnya).
Aku terbangun. Aku lihat jam… jam 2 pagi. Aku mendengar ada suara orang ngobrol
dan tertawa dari arah kamar mandi. Suaranya sih suara ibu dan Om Doni. Untuk
memastikan, aku bangun dan berjalan pelan-pelan ke kamarnya ibu. Kamarnya ibu
berantakan banget! Di lantai, ada baju dan celana dalam ibu, juga baju dan
celana dalam laki-laki (mungkin punya Om Doni). Tempat tidur berantakan, dan di
seprei ada cairan putih yang banyak sekali. Setelah kusentuh, cairan itu
ternyata lengket banget. Pada saat itu, aku penasaran… ini apa ya? Lalu aku
balik ke kamarku dan pura-pura tidur. Di luar, aku mendengar ibu dan Om Doni
balik ke kamar sambil tertawa tertahan. Setelah aku pastikan mereka sudah ada
di dalam kamar, aku bangun lagi dan berjalan pelan-pelan ke kamarnya ibu.
Rupanya, pintunya nggak dikunci. Aku buka pelan-pelan dan aku mengintip ke
dalam.
Didalam kamar, aku melihat seprei yang tadi sudah berada di lantai. Aku
mendengarkan pembicaraan mereka;
“Makanya… kalo’ aku bilang keluarin di dalem… keluarin aja!” kata ibu.
“Aku nggak enak sama kamu…” sahut Om Doni, “ kalo’ jadi,… gimana?”
“Kan aku sudah bilang… aku selalu minum pil! Kamunya aja…. Dan kalaupun toh
jadi, berarti Mia punya adik dan kita punya anak… iya kan? Pusing-pusing amat.
Pokoknya, manfaatin memekku sebaik-baiknya… mumpung masih punya kamu. Nanti
kalau suatu saat di pake orang, kamu nyesel lho!”
“Ya sudah… nanti babak ke 2, aku buangnya di dalem! Setuju?”
“OK!” kata ibu.
Mereka ngobrol dengan suasana dan kondisi yang aneh sekali. Mereka berdua telanjang
bulat, terus ibu duduk mengangkang diatas Om Doni yang tidur terlentang.
Setelah itu, aku melihat ibu berputar dan membungkuk di bawah Om Doni sambil
mengemut sesuatu yang panjang dan besar. Yang kalau di buku biologi, namanya
penis. Ibu ngapain ya?
Karena pintu kamar ibu langsung menghadap tempat tidur dari samping, maka
akupun dapat dengan jelas melihat semua kegiatan mereka. Setelah mami selesai
mengemut, sekarang posisinya gantian, Om Doni menjilati selangkangannya ibu
sambil meremas-remas dadanya. Posisinya ibu, dia terlentang, dan pahanya dibuka
lebar-lebar. Terkadang, Om Doni menyelipkan jarinya ke arah selangkangan ibu.
Tapi kalo’ aku lihat, ibu sepertinya keenakkan, walaupun terkadang ia menjerit
kecil. Tapi desahannya membuat jantungku deg-degan. Setelah mendengar ibu
teriak tertahan, aku melihat Om Doni memasukkan penisnya ke dalam vaginanya
ibu.
Sambil berlutut, Om Doni bergerak maju mundur. Ibu dan Om Doni sama-sama
mendesah keenakkan. Om Doni bergerak makin cepat, sementara tangannya memegangi
lutut ibu… lalu Om Doni berhenti. Pelan-pelan, ia mengeluarkan penisnya lalu
mengocoknya dengan tangan. Aku melihat ibu bergerak perlahan. Sambil mengelus
vaginanya, ia bangun dan membuat gerakan menungging, membelakangi Om Doni.
Setelah itu, Om Doni memasukkan lagi penisnya ke dalan vaginanya ibu.
Pinggangnya ibu di pegang oleh Om Doni, lalu ia kembali membuat gerakan maju
mundur, kadang cepat, kadang pelan. Aku juga melihat dadanya ibu bergoyang
kencang sekali.
Sekitar 10 menit kemudian, Om Doni berhenti, lalu tiduran terlentang. Penisnya
yang besar dan panjang itu, di pegang sama ibu… terus ia memasukkannya sendiri
kedalam vaginanya. Ibu sekarang duduk berlutut diatas Om Doni. Sementara
penisnya, menancap di vaginanya ibu. Aku melihat tangannya ibu diatas dada
teman ayah itu. Aku berfikir, mungkin untuk menyangga badannya yang agak
condong ke depan supaya tidak jatuh, karena pada saat yang bersamaan, ibu
menggoyangkan pinggulnya maju-mundur, turun naik, dan kadang di putar-putar.
Nggak lama setelah itu, ibu menjatuhkan dirinya di di dada Om Doni, lalu diam
tak bergerak. Desahan dan erangan ibu semakin keras, ketika Om Doni meremas
kedua belahan pantat ibu sambil menusuk-nusukkan penisnya terus menerus ke
dalam vagina ibu. Penis Om Doni yang besar itu terlihat basah sekali, ketika ia
bergerak makin cepat dan ibu berteriak tertahan. Di tengah desahan, erangan dan
teriakan tertahannya, tiba-tiba aku mendengar ibu ngomong; “Aku dapet… aku
dapet!!! Kamu hebat..!!” Pada saat itu, aku bingung mendengarnya, dapet? Dapet
apaan? Gak lama kemudian, aku juga mendengar Om Doni ngomong; “Mir… aku mau
keluar! Memekmu siap nerima ya…..”
Setelah itu, sambil masih berpelukan, ibu dan Om Doni berputar. Sekarang ibu
dibawah. Aku melihat kedua kakinya dilingkarkan di pantat Om Doni, seakan-akan
sedang sedang menekan dan menariknya, sementara tangannya dilingkarkan di leher
Om Doni. Tak lama, aku mendengar Om Doni dan ibu berteriak pelan
“Aacchhhh….!!!” Dengan nada puas. Setelah menekan-nekankan pantatnya 3 kali, Om
Doni bangun dan mencabut penisnya. Lalu ia menggenggam dan mengocokkannya di
depan mulut ibu yang membuka. Ada cairan putih yang keluar dari penis Om Doni.
Ibu menelan cairan itu, lalu kembali menghisap-hisap penis Om Doni yang
berlutut sambil mengangkang diatas mulutnya. Om Doni tersenyum puas, sambil
melihat ibu yang bernafsu sekali menjilati penisnya, aku mendengarnya berkata;
“Dasar kamu, udah nerima di dalem… masih aja pingin dapetin peju sisa…” Lalu
mereka berdua tertawa.
Mereka sepertinya mau bangun. Aku langsung buru-buru ke kamar. Aku mendengar
mereka berjalan ke kamar mandi. 5 menit kemudian, mereka balik ke kamar dan
mengobrol. Karena kamar ibu bersebelahan dengan kamarku, otomatis aku mendengar
obrolan mereka.
“Sumpah!!” kata ibu, “yang kedua tadi enak banget!”
“Iya… kayaknya, pejuku keluar banyak banget deh!” timpal Om Doni, “soalnya,
yang kamu telen aja udah sisa!”
“Emang… banyak banget! Sampe netes dari memekku!”
“Iyalah…!!! Pejuku banyak… memekmu sempit… mana muat nampung?!”
“Itulah gunanya jaga badan…” kata ibu, “biar anak sudah SMP, badan harus tetap
sexy, dada harus tetap kencang. Dan yang penting,… memek harus tetep sempit,
supaya yang nyobain, nggak kecewa. Kayak perawan kan?”
“Itu yang aku suka… padahal sempit ya… kok kontolku bisa masuk semua?”
“Mirnaaa…..!” sahut ibu bangga, “padahal…. dari beberapa peler yang pernah
masuk ke memekku, punyamu yang paling besar dan panjang lho! Punya suamiku aja
kalah!! Ditambah,… pejumu gurih banget! Sampe ketagihan, aku!”
Sebenarnya, aku bingung mendengar pembicaraan mereka. Peju, kontol, peler,
memek… itu apaan sih? Dan aku bertekad untuk menyakan itu semua ke ibu besok
pagi! Tapi dibalik itu, aku senang punya ibu seperti itu. Tubuh dan semua
anggotanya selalu digunakan untuk menyenangkan hati banyak orang. Akhirnya…
akupun mengantuk. Tapi sebelum benar-benar tertidur, aku mendengar ibu berkata;
“Babak ketiga mulai… teng!” Lalu Om Doni, “Kontolnya Doni melawan memek istri
temannya!!”
Dan mereka berdua tertawa tertahan.
Itulah sekelumit kisah masa kecilku. Sudah terbayang kan? Kenapa setiap ML aku
mengajak Fanny? Ya… supaya dia mendapatkan informasi yang benar tentang apa
saja yang dilakukan oleh maminya ini. Karena, aku dulu mencari tahu sendiri
tentang ini semua. Dan aku nggak malu buat bilang.. mmhh… bahwa keperawananku
hilang pas aku kelas 3 SMP. Dan itu adalah perbuatan kakak sepupuku sendiri.
Tapi itu adalah cerita tersendiri…
Makanya,… selain membantu Fanny mengerti tentang tubuhnya sendiri, aku juga mau
bilang, bahwa ML didepan anak kecil, apalagi anak sendiri, sensasinya beda
banget! Kalo’ nggak percaya, coba sendiri yaaa….!!
TAMAT
Teman-teman akrabku waktu SMP hilang semua
sewaktu aku masuk SMA. Karena hanya aku saja yang masuk di sekolah negri, teman
yang lainnya masuk sekolah swasta. Bukannya sombong, aku termasuk orang yang
punya otak lumayan juga. Di dalam komplotanku, aku termasuk anak yang sulit
bergaul dengan lingkungan yang tidak sejalan dengan kemauan sendiri. Tapi
jangan dikira aku anak yang nakal, justru kebalikannya, tidak suka berkelahi
atau membuat keributan. Keras kepala memang, tapi tidak suka memaksakan
kehendak.
Ini yang menyebabkan aku dan komplotanku yang sepaham memilih keluar dari
kepengurusan organisasi sekolah, dan membuat kegiatan sendiri (mading). Kami
menjadi apriori terhadap organisasi sampai sekarang, karena setiap kegiatan
organisasi sering dijadikan acara pacaran pengurusnya dan tidak untuk
menjalankan program kerja. Dan mading buatan kami selalu ditunggu-tunggu semua
siswa, karena menurut mereka sangat menarik dibandingkan dengan yang lainnya.
Inilah yang membuatku merasa sendiri di lingkungan yang baru, yang mana
mengharuskanku memakai celana panjang (biasanya pakai celana pendek tanpa
underwear). Sangat risih.
Tapi ada satu sisi yang harus kusadari, aku harus dapat unjuk diri. Toh
anak-anak yang satu SMP dulu masuk sekolah ini juga kehilangan teman-temannya
yang diandalkan untuk jadi tukang pukul.
Hari pertama masuk penataran (perlu diingat, saat ini masih masa orde baru)
kami diperkenalkan kepada guru-guru PPL yang berjumlah sekitar 9 orang. Ada satu PPL wanita yang
menarik, Is namanya. Body-nya biasa saja, tidak pendek tapi tidak dapat
dibilang tinggi. Penampilannya anggun. Suaranya aku suka, jernih dan merdu
kalau menyanyi. Yang tidak kusuka adalah penampilannya yang lainnya, yaitu
terlalu menor.
Hari pertama itu aku langsung dihukum Bu Is (guru PPL), karena melanggar
ketertiban sewaktu diskusi. Gila, disuruh berdiri di depan kelas, mana aku
tidak pakai celana dalam lagi. Aku harus berdiri di sebelah kursinya, dan
secara tidak langsung aku diharuskan melihat pahanya yang mulus itu dengan rok
yang kalau dia duduk terangkat sampai sebatas lutut. Apalagi dengan posisiku
yang disuruh berdiri, dengan tinggi badan 170 cm akan dapat melihat dengan
jelas garis belahan dadanya dari atas sewaktu dia duduk. Ala maak... serba salah rasanya.
Apalagi sewaktu dia mengambil bollpoin-nya yang jatuh, sehabis menunduk dan mau
mengambil posisi tegak lagi, kibasan pakaian bagian dada yang memang agak
rendah, memperlihatkan dengan jelas buah dadanya di balik BH dengan kain cup
yang tipis dan tidak begitu luas. Sehingga banyak area payudaranya yang sempat
kulihat. Kencang... mulus... dan transparansi daerah puncaknya yang warnanya
terlihat lebih tua dibandingkan kulit dadanya. Adik kecilku menggeliat dan
kucoba untuk menahan gejolak, agar tidak bergerak kemana-mana.
"Kamu tetep berdiri di situ. Dan yang lain.., jangan dicontoh teman kalian
ini." kata Bu Is.
Teman-teman pada tertawa riuh mendengarnya. Wah... seram juga orang ini. Tidak
disangka deh kalau orang secantik dia bisa marah. Dengan mata yang
memelototiku, aku merasa menjadi aneh. Tidak seperti biasanya kalau orang
dimarahi ketakutkan, aku malah sedikit melamun seolah ingin mendekapnya dengan
kencang dan menengadahkan wajahnya untuk melumat bibirnya yang merah dan
menikmati matanya yang walaupun melotot karena marah menjadi sangat indah.
Walaupun aku belum pernah merasakan ciuman, tapi aku dapat merasakan nikmatnya
seperti yang pernah kulihat di Video porno (Di desa anak-anak memutar BF
ramai-ramai kalau salah satu dari mereka yang punya video kebetulan orangtuanya
lagi tidak ada. Walaupun desa, yang namanya video waktu itu bukan barang mewah,
karena kebanyakan orangtua mereka pernah menjadi TKI dan membeli videonya dari
sana).
Mendadak tersadar setelah terasa ada sesuatu yang menyentuh adik kecilku. Aku
jadi sangat gugup. Tapi ada perubahan sikap pada Bu Is, jadi lebih lembut dan
menyapa dengan manja kepadaku seolah tak percaya.
"Kamu bisa mainin gitarya..? Sudah kamu main gitar sambil kita sama-sama
nyanyi lagu daerah..." katanya sambil menyorongkan gitar di depanku dan
menyenggol adik kecilku.
Teman-teman satu kelas pada tertawa riuh. Aku jadi sadar teman-teman tadi
mentertawaiku karena batang kemaluanku menyembul dan bergerak liar di balik
celana abu-abuku. Aduh.., wajahku terasa panas dan malu. Untung saja gitar itu
langsung kusambar dan siap-siap mau memainkan, sekalian untuk menekan batang
kemaluanku yang gerakannya semakin liar.
Tetapi pada posisi ini sangat tidak enak untuk main gitar, karena posisi gitar
terlalu ke bawah, yang semestinya pada posisi perut untuk main gitar dengan
berdiri. Aku ambil keputusan turun dari lantai depan papan tulis yang memang
lebih tinggi 20 cm dari lantai bawah bangku. Aku duduk di atas bangku temanku
terdepan. Tapi Bu Is lihat tidak yaaa... tadi. Ah semoga tidak melihat. Ahh...
EGP! Dan akhirnya kami pun bernyanyi bersama-sama, dan dari sini saya tahu
kalau dia suaranya boleh juga.
Sejak peristiwa itu aku jadi sangat akrab dengan Bu Is yang kalau di luar
sekolah biasa kupanggil Mbak Is. Aku sering main ke tempat kost-nya yang tidak
begitu jauh dari tempatku, dan kebetulan dia kontrak satu rumah dengan
teman-teman angkatannya. Tidak ada yang namanya ibu kos di tempatnya, sehingga
tempatnya sering jadi tempat main teman-temanku, baik sore maupun malam hari.
Dan aku sering ke sana untuk main gitar dengan mas-mas dan mbak-mbak PPL.
Apalagi dia yang mau bisa main gitar (dengan alasan biar kalau ingin menyanyi
bisa main gitar sendiri) tidak mau diajarikan siapa-siapa selain aku. Padahal
aku tidak seberapa mahir.
Tapi aku suka. Dia manja, dan kalau memanggilku dengan panggilan 'sayang' kalau
sedang di luar sekolahan. Aku tidak berpikir yang macam-macam, toh teman-teman
satu kontrakannya juga tidak ada yang berpiikir macam-macam padaku. Dan aku
tahu salah satu teman PPL-nya ada yang naksir sama dia, dan dia (temannya yang
naksir itu) tidak akan pernah cemburu padaku, walaupun untuk anak SMA dengan
tinggi badan 170, aku masih terlihat seperti anak kecil, apalagi aku kalau
memanggil Bu Is dengan sebutan 'mbak'.
Keakraban kami tidak hanya di luar sekolah. Kebetulan dia pegang mata pelajaran
Kimia. Salah satu pelajaran yang paling aku tidak suka. Sewaktu aku keluar
kelas dan mau ke kamar kecil dan melewati ruang guru, aku dipanggil.
"Dy... sini..!" katanya.
Wah.., dia pakai blus dengan potongan leher yang pendek lagi, (bajunya banyak
yang model gitu kali) dan dibalut jas almamaternya dengan kancing yang terbuka
semua, juga masih dengan model rok yang sama.
"Ada apa..?" jawabku.
Aku ditarik masuk ke ruang guru. Sepi tidak ada satu orang pun. Aku
dibimbingnya berjalan menuju satu meja dan berdiri menempel ke bibir meja. Dia
berdiri di belakangku dengan tangan kirinya menopang meja sebelah kiri merapat
ke pahaku, dan tangan kanannya bergerak di kanan badanku mengambil lembaran
kertas buram.
"Besok aku mau ngadain ulangan. Ini soalnya, kamu baca dan kamu
pelajari..!" katanya.
Aku terdiam. Posisiku sangat tidak enak, aku ditekan dari belakang, badannya
agak miring ke kanan dengan tangan yang terus corat-coret di kertas buram.
Pantatku yang tidak seberapa besar menempel ketat di sekitar daerah pusarnya.
Tetapi punggungku terasa ada sesuatu yang asing menempel hangat dan empuk
(maklum, sebelumnya aku tidak pernah merasakannya).
Setiap dia menerangkan dengan mencorat-coret kertas, badannya bergerak ke kanan
dan ke kiri dengan tekanan-tekanan. Membuat punggungku terasa ada tekanan
sensasi nikmat yang berputar-putar. Batang kemaluanku langsung bergerak.
Edan..! Aku tidak memakai celana dalam. Dia terus menerangkan dengan antusias.
Bau parfumnya halus sekali. Aku jadi kelimpungan, dia terus menekan-nekan
punggungku dengan dadanya. Kadang-kadang aku juga merasakan pantatnya sering
digeser-geser untuk menekan pangkal atas pahanya ke pantatku dengan sedikit
menjinjingkan kaki, walau dia pakai sepatu hak tinggi. Hangat sekali rasanya.
Aku berkeringat dan tidak dapat berpikir jernih. Dia terus saja menerangkan.
Setiap selesai menerangkan satu bahasan soal, dia memandangku sambil menekan
lebih keras badannya ke punggungku, bahkan terasa dia merangkulku dengan satu
tangan kirinya yang ditempel dan ditekan keras ke pahaku. Jari-jarinya sedikit
menyentuh batang kemaluanku. Ah.., makin lain saja rasanya. Satu sisi aku takut
kalau dia tahu ada yang tidak beres dan memalukan pada diriku, karena
sangat-sangat jelas batang kemaluanku menyodok kain celanaku hingga membentuk
gundukan yang tidak wajar pada pangkal paha.
Bergerak-gerak lagi. Wah aku rasa denyutannya semakin kencang sampai aku tidak
dapat mengontrol perasaanku, badanku terasa tidak menginjak lantai. Apalagi bila
dia menatapku dengan pertannyaan, "Sudah mengerti..?" dengan sedikit
mendenguskan nafasnya ke arah dadaku.Terasa hangat. Dan tangan kiri yang yang
menempel ketat di pahaku dengan jari-jari yang kadang seolah-olah mau mengelus
tonjolan batangan kemaluanku di balik celana seragam. Ah... aku rasa dia tahu
dan mengerti perubahan keadaanku. Aduh aku tidak dapat mengontrol diri lagi,
aku sudah tidak dapat merasakan denyutan batang kemaluanku, rasanya tegang
sekali dan seolah-olah mau pecah.
Apalagiu ketika dengan sedikit disengaja (mungkin), posisi kuku jari tengahnya
menempel tepat di tonjolan celana dan pada area kepala batang kemaluanku.
Digaruknya pelan dan lembut. Saat itu aku langsung tegang dan seolah-olah ada
suatu yang menjalar pada tubuhku, persendian terasa lepas dengan keringat
dingin sedikit membasahi punggungku yang panas, juga pangkal pahanya dan pahaku
yang semakin terjepit ke bibir meja. Mbak Is terasa mamaksa merangkulku dengan
tangan kanan yang tadi memegang pen, dilepas dan mencengkeram tanganku. Dan
tangan kirinya langsung saja ditekan dan digesek-gesekkan dengan cepat di
tonjolan celanaku. Seolah-olah ada keraguan untuk meremas.
Aku diam dan sedikit mengeluh, dia pun begitu. Terasa ada yang hangat dan basah
pada celanaku, perih juga rasanya lubang kepala batang kemaluanku. Mbak Is
berjingkat sambil melihat telapak tangannya yang basah. Setengah sadar kutarik
nafas dan bergerak menghindar dan berusaha keluar ruang guru dengan tubuh
terasa melayang tanpa menoleh memperhatikannya lagi. Tidak tahu apa perasaanku
waktu itu.
"Aku keluar dulu. Biar kupanggil Eko untuk lihat soal itu.." kataku.
"Dy... kamu bawa saja..! Nanti malam kembalikan di tempatku..!"
potongnya.
Aku tidak memperhatikannya, dan mengurungkan niat kembali ke kelas untuk
memanggil Eko agar membaca soal itu juga. Aku tidak balik masuk ke dalam
ruangan untuk mengambil kertas soal, tetapi langsung ke kamar kecil. Langsung
kubuka celana dan menarik batang kemaluan yang masih keras dan berdenyut-denyut
dengan berirama. Ada cairan putih kental membasahi kain dalam celanaku dan
tembus keluar. Aku langsung berusaha konsentrasi buang air kecil. Rasanya
sulit, perih dan panas sekali. Lama aku berusaha mengeluarkannya, dan akhirnya
keluar juga.
Aduuhh... periihh..., dan saluran airnya terasa panas sekali. Benar, terasa
kebakar. Selesai keluar habis, panasnya tidak hilang. Aku berusaha tenang
dengan merendam kepala batang kemaluanku ke dalam gayung berisi air penuh.
Masih saja terasa panas, padahal airnya dingin. Kudiamkan saja, toh dengan situasi
seperti ini aku tidak enak untuk masuk kelas. Apalagi batang kemaluan ini kalau
lagi bangun keras sekali, pasti deh bikin tonjolan keluar. Sebenarnya ukuran
punyaku lebih kecil dari punya teman-temanku di kampung, sekitar 14,5 cm dengan
lingkar 12 cm saja, bengkok ke kanan lagi. Ini aku tahu karena seringnya aku
main dan berenang bersama mereka. Aku pun menunggu sampai semua beres, walau
sampai bel istirahat. Tidak apa-apa, sekalian bolos.
Tidak hanya dalam mata pelajaranya saja dia membantu. Pada saat ujian
matematika pun, walau dia mengajar di kelas sebelah, selalu dia sempatkan
menengokku dan membantu menyelesaikan tugas dengan memberikan jawaban pada
selembar tissue. Dan tidak ada yang tahu selain teman sebangku aku. Teman
sebangkuku ini sangat akrab denganku. Dengannya pula aku membangun komplotan
(Kami sebut komplotan karena selalu oposisi pada organisasi sekolah) bersama
seorang anak yang kami tuakan, Avin namanya. Dia tinggal kelas, sebenarnya
tidak nakal (nakal menurutku = suka berkelahi). Komplotan kami sebenarnya tidak
takut berkelahi, tetapi kalau ada yang 'jadi', kami juga tidak takut 'beli'.
Nanti ada ceritanya. Mungkin kalau menurut bahasa anak sekarang 'cool'.
Dari dia juga, ada rencana mengajak kumpul malam minggu di pantai dengan Mbak Is
dan teman-temannya yang lain. Sambil bakar jagung dan nyanyi-nyanyi, PPL
semuanya pada ikut. Kami bikin acara api unggun, ngomong ngalor-ngidul,
nyanyi-nyanyi dan main gitar. Dan dimana ada aku, di situ Mbak Is selalu ada.
Walau disana ada temannya yang naksir dia, sikapnya biasa saja. Dan kami sering
berangkulan bertiga dengan Mas Itok (PPL Bhs. Inggris). Mas Itok pun tidak
pernah curiga denganku. Dia mengerti kalau Is itu manja, anak bungsu (tidak
punya adik dong) dan dia menganggap aku ini adiknya. Tetapi kalau ada apa-apa,
Mbak Is pasti merangkulku.
Aku jadi tidak enak juga lama-lama. Padahal tubuhku biasa saja, cenderung
kurus. Jika dibandingkan dengan Mas Itok yang walaupun lebih pendek dariku,
tetapi dia dapat dikatakan memiliki bentuk tubuh yang atletis. Kulitnya sedikit
gelap dibandingkan dengan kulit Mbak Is yang kuning langsat 'cerah', kulit
orang jawa yang bersih terawat dengan payudara yang walau dari luar kelihatan
biasa saja tapi kalau dilihat benar-benar lumayan besar. Mungkin satu genggaman
tangan lebih sedikit, kencang lagi. Toh aku pernah secara tidak sengaja juga
pernah melihat dan merasakan gesekan-gesekan di punggungku, jadi aku dapat
mengira-ngira berapa ukurannya.
Aku tambah tidak mengerti sewaktu Mbak Is tidak mau diajak pulang sama Mas
Itok, karena alasan sudah dini hari. Akhirnya ditinggal pulang juga, karena
disitu toh ada aku. Dan Mbak Is semakin tidak kumengerti. Dia semakin erat saja
memelukku pada posisi berbantal di pahaku dengan wajah dibenamkan dekat
selangkangan. Tangannya melingkar di punggungku. Aku takut batang kemaluanku
akan bergerak-gerak lagi. Memang sudah dari tadi terasa sudah tegang sekali
karena terangsang bergesakan badan terus dengannya. Apalagi sekarang wajahnya
dibenamkan ke selangkanganku dengan hembusan nafasnya yang tidak teratur dan
hangat.
Sudah tidak bisa dicegah lagi, batang kemaluanku terasa berontak dan langsung
menonjol membetuk gundukan hebat di balik celana menekan wajahnya. Kepalang
basah dan tidak dapat dicegah lagi. Sudah hilang rasa maluku, dan seopertinya
dia yang sengaja demikian. Tapi aku tidak mengerti, aku harus bagaimana.
Wajahnya malah seolah-olah digesek-gesekkan dan ditekan ke selangkanganku. Dan
pelukannya ke punggung malah semakin kencang saja. Posisiku yang duduk dengan
satu kaki bersila dan satunya lagi selonjoran di tanah menyulitkanku untuk
bergerak bebas. Ditambah lagi ketidakberanianku untuk.. Ah ngaco.., Avin yang
sedari tadi memperhatikanku mendekat mengendap-endap di hadapanku. Kasih kode
yang tidak kumengerti.
Mbak Is semakin tidak karuan saja, sekarang dia malah seolah-olah mau menggigit
batang kemaluanku yang menyembul menekan celana. Avin masih pada tempatnya
dengan tangan dan mulut bergerak-gerak tapi tidak kumengerti maksudnya. Aku
sekarang semakin terasa sakit karena Mbak Is telah benar-benar menggigit batang
kemaluanku, dan tangannya yang melingkar di punggungku dilepaskan satu untuk
memegang tonjolan itu. Aku meringis menahan nikmat, geli, sakit... tidak
karuan.
Sekarang tangan yang satunya malah dilepaskan dari pinggang dan kedua-duanya
memegang batanganku, lalu berusaha membuka resletingku. Aku semakin gemetaran
saja. Begitu celana terbuka batanganku terasa melompat keluar, dan dia langsung
saja nyosor mengulumnya. Nafasnya semakin tidak beraturan. Aku merasa kegerahan.
Dia langsung merubah posisi jongkok sambil membenamkan wajahnya mengulum habis
batangan. Tanganku dibimbingnya menyentuh buah dadanya.
"Dy... pegang ini sayang... remaass... sayaanggg... nggg... ssstt...
nikmat sayanggg... ssstt.."
Tanganku gemetaran dan langsung kuremas keras-keras. Langsung kutarik ke bawah
BH tipisnya, tapi tetap tidak bisa. Hanya sedikit yang menyembul keluar, aku
kesulitan menjamahnya. Tangan Mbak Is langsung menyusup ke dadanya sendiri.
Ternyata melepas kaitan BH-nya. Aku tidak ngerti kalau kaitan itu ada di depan,
dan kalau toh tahu belum tentu aku dapat melepaskan kaitan itu.
Sekarang buah dadanya menggantung bebas dan aku jadi leluasa meremasnya.
Rasanya aneh... empuk, padat, hangat... belum pernah aku merasakan sensasi seperti
ini. Batang kemaluan disedot-sedot... nikmat, dan aku meremas-remas buah
dadanya yang kenyal dan asing rasanya. Seumur-umur belum pernah aku merasakan
meremas buah dada wanita. Apalagi dengan batang kemaluanku dihisap-hisap. Avin
merayap dan mendekat. Lewat kode-kodenya aku jadi mengerti kalau aku disuruhnya
meletakkan tanganku pada pantat Mbak Is yang nungging itu. Kuelus-elus pantat
yang tak begitu besar tapi padat itu. Sekonyong-konyong tangan Mbak Is membuka
reitsletingnya sendiri.
"Sini sayangg... masukkan sini sayaaangg..."
Aku selusupkan tangan kananku masuk ke dalam celananya. Kuraba-raba sampai ke
selangkangannya yang paling sempit. Aku tidak menemukan apa yang ingin kucari.
Kecuali ada sedikit daging yang membukit dan hangat rasanya. Tangan kiriku yang
dari tadi bebas tanpa aktifitas kini kualihkan untuk menarik celananya agar
lebih turun ke bawah dan aku jadi lebih bebas bergerak meraba-raba
selangkangannya.
Dia semakin liar saja menghisap batang kemaluanku sampai pada pangkal bawah
dekat telur puyuh. Dijilatnya penuh nikmat. Dan celananya sudah turun sampai
atas lututnya, dan dia berusaha mengangkangkan kakinya, tetapi tidak dapat
karena tertahan lingkar pinggang celananya. Tetapi sedikit lumayan, aku dapat
menemukan gundukan daging di selangkangan yang sudah basah. Coba kutekan-tekan
sedikit, sepertinya bisa cekung ke bawah. Dia semakin mendesis-desis tidak
karuan. Avin sudah dekat. Aku diam saja sewaktu tangan Avin mencoba menyusup ke
balik celana dalam Mbak Is yang tipis dan berwarna pink itu. Avin mengulurkan
telunjuknya dan menyusupkannya, lalu menekannya dan masuk setengah jari.
"Aduhhh... sssaayanggg.. eehhmm... terruusss... sayaangg... nggg...
aakkkhh... teerrruuss... sss.." erangannya menjadi-jadi.
Aku jadi mengerti kalau lubang itu mungkin yang disebut vagina, lubang
kewanitaan yang bisa untuk hubungan seks. Langsung saja kumasukkan satu jariku
mengikuti jari Avin yang sudah masuk ke dalam.
"Aaauuggghh.. hhh..." Mbak Is tersedak menghisap batangku sewaktu
jariku dan jari Avin masuk bersamaan di lubangnya.
Jari-jari tangannya mencengkeram keras di batangku dengan kuku-kukunya yang
panjang terawat menancap daerah sekitar kemaluanku.
"Aaauu... sakiiit..!" aku menjerit.
Mbak Is langsung mau bangun, tapi tanganku yang kiri langsung membenamkan
kepalanya lagi untuk menghisap batang kemaluanku. Aku takut nanti Mbak Is tahu
kalau Avin yang menusuk kemaluannya dengan jari.
"Ssudaahhh... Dy... akuu... nggaaak... kuaattthh.. llhhhheeebb..
bbbbeebbb..."
Aku semakin kasar saja bertindak dengan membenamkan wajahnya, dan dia tersedak
lagi. Aku merasa batang kemaluanku sampai menyentuh pintu tenggorokannya. Dan
dia batuk-batuk, tapi masih saja menghisap batang kemaluanku sambil menangis
mengiba-iba nikmat dan tidak jelas apa yang diucapkannya.
Sekonyong-konyong Avin sudah memelorotkan celananya dengan setengah berdiri
bertumpu pada lutut, siap mengeluarkan batang kemaluannya sendiri sambil
merapatkan satu jari telunjuk pada bibirnya, menyuruh aku untuk diam saja.
Kubantu Avin menurunkan CD Mbak Is yang basah membentuk lintangan panjang oleh
lendir. Kini aku dapat melihat dengan jelas. Disitu ada bulu-bulu yang tidak
begitu lebat bila dibandingkan punyaku dan Avin. Belahan pantatnya begitu
sempurna. Padat, kenyal, bersih dan tidak ada perbedaan warna seperti punya
teman-teman yang biasa kutahu.
Mbak Is mengerang sewaktu aku berusaha membantu Avin melepas celana panjang dan
CD Mbak Is biar berada lepas dari lututnya, sehingga kakinya dapat lebih lebar
mengangkang. Avin mencoba menggeser penisnya pelan-pelan ke mulut lubang Mbak
Is. Terlihat mengkilat kepala penis Avin oleh lendir Mbak Is yang terkena
terpaan cahaya bulan malam itu. Pelan-pelan disodoknya masuk ke dalam.
"Bblleebbb sss... sssttt.. niikmaatt... shaayyyaaangg... aauughhh.."
erangnya tanpa tahu penis orang lain yang menusuk vaginanya.
"Aughh... terrruuusshh... sshhh... sshh... saayyyaaaangg... terusss...
shh.. ssshhh... sshaayyangg... shh.."
Kepalanya digoyang-goyang keras ke kiri dan ke kanan tanpa mau melepas batang
kemaluanku dengan cengkeraman kuku tangannya yang menghujam panas di
selangkanganku.
"Aauu..!" jeritku tertahan.
Kutarik tangannya dari kemaluanku, tapi tanganku malah dipegangnya dan
diarahkan ke dadanya. Kuremas habis payudaranya yang kenyal, kupelintir
putingnya yang kecil dan lancip. Daging yang tadi menggelatung bebas kini
kuremas dan kupelintir dengan kedua tanganku. Gelengan kepalanya ke kiri dan ke
kanan semakin keras, kadang-kadang kepalanya dibentur-benturkan ke
selangkanganku.
Nafasnya memburu dengan desisan yang tidak menentu. Punggungnya ditekan lebih
ke bawah dan payudaranya hampir menyentuh rumput-rumput tanah. Tanganku jadi
tidak hanya memelintir dan meremas payudaranya saja, tetapi juga menahan
tubuhnya. Kepalanya sedikit mendongak ke atas dengan rambut yang semakin
awut-awutan menutupi wajahnya dan mulutnya menganga lebar merasa kenikmatan
yang tidak kumengerti seberapa dahsyat yang Mbak Is dapat dari sodokan penis
Avin dengan ukuran yang lebih pendek dari punyaku itu.
Posisi dia ini menyebabkan pantat Mbak Is semakin menungging terangkat ke atas.
Bertambah indah, aku kagum melihat bentuknya, walaupun tidak begitu besar tapi
didukung perutnya yang kecil, apik, jadi terkesan berbody gitar. Suara-suara
cepakan pantat yang beradu dengan pangkal paha seolah tidak dihiraukan oleh
Mbak Is. Dia mengerang dan goyangan pinggulnya semakin hebat. Desisan nafasnya
semakin cepat dan dia semakin kuat mencengkeram kemaluanku.
Pada tahap berikutnya seolah dia tegang luar biasa, menjerit kecil.
"Aacckhh... aahhh... cceeeepttt... shhaayyaang..!" badannya sedikit
mengejang dan tiba-tiba dikulum dan dihisapnya lagi batangku yang tadi hanya
dicengkeram saja.
Aku semakin terhanyut iramanya, kuremas-remas payudaranya dengan kuat.
Sekonyong-konyong ada rasa yang menjalar kuat pada saluran batangku. Mbak Is
tanpa kuduga menggigit dengan kuat batangku yang keras itu diikuti sentakan
yang cepat dan kuat pada pantatnya yang beradu dengan perut Avin dengan vagina
yang masih disodok-sodok penis.
"Aakkhh..!" aku menjerit panjang dan lirih, merasa sakit dan nikmat.
Ada rambatan aneh pada saluran kemaluanku. Rasanya tulang-tulangku copot dari
persendian dan saraf-sarafku terasa kendor setelah ketegangan luar biasa dan
lama yang kurasakan. Aku jatuh rebah telentang setelah sekian lama bertahan
pada posisi duduk. Batang kemaluanku terasa memuntahkan muatannya yang dari
tadi tertahan oleh ketidaktahuanku akan seks. Terasa hangat membanjiri rongga
mulut Mbak Is dan langsung ditelannya. Karena saking banyaknya yang kukeluarkan
dan dia sendiri habis mengalami sentakan hebat dan lemas, sampai dia
terbatuk-batuk tersedak air maniku.
Mbak Is mencoba bangun, terkejut dan mau menjerit ketika dia sadar masih ada
sesuatu yang menusuk-nusuk kemaluannya, sementara posisiku melintang dari
tubuhnya. Avin cepat-cepat membekap mulutnya dari belakang, dan aku coba
membantu Avin dengan memeluk tubuh Mbak Is. Mbak is manangis hebat, wajahnya
dibenamkan ke pundakku. Aku merasa sodokan-sodokan hebat dari tubuh Mbak Is
karena digenjot Avin dari belakang. Avin mengerang dengan tubuh yang sedikit
gemeter.
"Aaakkhh... Iiissshh... Aaakkkhh... sshhudddaakhh... hhh.." dia
mengerang dengan menancapkan habis-habis punyanya ke dalam vagina Mbak Is yang
sudah basah itu.
Dia rangkul pundak Mbak Is dengan penis masih menancap disana. Setelah avin
melepaskan penisnya dari vagina, Mbak Is jadi lebih bebas berubah posisi duduk
di pangkuanku dan memelukku erat-erat sambil menangis sejadi-jadinya. Rupanya
dia sadar kalau ada orang yang selain aku yang memberinya kenikmatan, tetapi
dia tidak mengerti kalau itu Avin. Kawanku dan juga muridnya di sekolah...
TAMAT
Sekarang Fanny sudah masuk sekolah. Memang sih
dia baru play group, tapi selama dianya senang… aku dan Mas Tino nggak masalah.
Selain di rumah sudah nggak ada pembantu, tugasku semakin banyak dengan
mengantar-jemput Fanny ke sekolahnya… belum lagi harus melayani Mas Tino (dan
juga ‘suami-suami’ku yang lain). Pokoknya mulai saat ini, aku sibuk sekali.
Sudah dua hari ini, aku harus menjemput Fanny dengan menggunakan taksi. Mobilku
lagi ada di bengkel, tapi nggak apa-apa. Sewaktu sedang menunggu Fanny keluar sekolah,
aku melihat-lihat sekeliling… halaman sekolah dipenuhi ibu-ibu muda yang juga
sedang menunggu anak-anaknya. Tapi aku males banget bila harus bersosialisasi
dengan mereka. Aku terus melihat-lihat, sampai akhirnya pandanganku tertumbuk
pada seorang pria, yang keberadaannya sangat aneh sekali. Maksudku, kebanyakan
yang ada di sini adalah ibu-ibu. Kenapa ada bapak-bapak disini?
Yaaa…. Kalau diperhatiin, bapak yang satu ini sih cukup masuk dalam Sedang asik-asiknyaJkriteriaku. Tinggi, putih dan mmhh… ganteng juga ngeliatin si bapak itu, tiba-tiba bel sekolah
berbunyi. Waahhh…. Sebentar lagi, halaman ini akan dipenuhi anak-anak kecil
yang berlarian mencari ibunya. Berarti aku harus siap-siap….
Benar saja, tak lama kemudian, halaman ini penuh dan berisik sekali. Aku
mendongakkan kepalaku untuk mencari Fanny. Tapi nggak lama… Fanny datang
menghampiriku. Dia berlari ke arahku… “Mami…” teriaknya lucu. Dia berdua dengan
temannya, anak laki-laki kecil yang lucu banget tampangnya.
“Halo sayang…” kataku, “ini siapa?”
“Namanya Haikal, mami!” jawab Fanny, “Haikal ini teman aku”
“Halo Haikal… kamu nunggu mami kamu juga ya?” tanyaku pada Haikal.
“Nggak tante… aku nunggu Ayah. Soalnya mami lagi pergi… 1 minggu!” katanya
tegas tapi lucu, sambil mengacungkan 1 jarinya.
“Ooo… Ayahnya sudah datang?” tanyaku lagi.
“Sudah… itu” jawab Haikal sambil menunjuk sosok pria yang sedang setengah
berlari menghampiri kami. Ternyata, cowok ganteng yang dari tadi aku liatin
adalah Ayahnya Haikal.
“Halo… ibunya Fanny ya?” katanya membuka pembicaraan.
“Oo.. tahu Fanny ya?” kataku.
“Iya… Haikal sering cerita tentang Fanny. Rupanya mereka teman akrab!” katanya
lagi, “O iya… namanya siapa?” tanya ayah Haikal, “Saya Fachri!” sahutnya.
“Eh… mmhh… Mia!” jawabku.
“Mia sama Fanny mau langsung pulang?” tanya Fachri.
“Mmmh… iya sih. Kenapa memangnya?” jawabku.
“Nggak papa. Cuma mau ngajak makan siang bareng aja. Gimana? Mau ikut?”
“Terserah Fanny… kalau dia mau, aku sih ikut aja!” jawabku.
Lalu Fachri bertanya ke Fanny, “Fanny mau ikut Om
makan dulu nggak. Sama Haikal?”
“Mau.. tapi mami ikut!” jawab Fanny lucu.
Tanpa banyak bicara lagi, akhirnya kami berempat (dengan menggunakan mobil
Fachri) meluncur ke arah Kemang untuk makan siang.
Sambil makan, Fachri bercerita banyak tentang kehidupan rumah tangganya.
Menurutku, keluarga Fachri termasuk keluarga harmonis, walaupun pekerjaan
istrinya banyak menyita waktu, namun pada dasarnya, mereka cukup harmonis.
Yaa… aku mencoba membandingkannya dengan keluargaku sendiri, walaupun Tino
sibuk dengan pekerjaannya (dan aku sibuk dengan orang-orang yang mengerjai),
pada dasarnya, kami pun cukup harmonis (selama Tino tidak ). Cukup lama juga
kami di Kemang,Jtahu
dengan ulah istrinya ini sebelum
akhirnya kami memutuskan untuk pulang. Fachri mengantarkan aku dan Fanny sampai
di rumah. Setelah ngobrol sebentar dan tukeran no telf (rumah dan hp), Fachri
dan Haikal pun pulang.
Sekitar jam 9 malam, suamiku sampai dirumah. Saat itu, aku sedang membaca novel
yang baru aku beli kemarin. Setelah selesai mandi, suamiku langsung berbaring
di tempat tidur.
“Kamu nggak makan, mas?” tanyaku.
“Mmh… tadi sudah. Aku sama Andre makan di kantor. Aduh… Mi… pekerjaanku makin
lama makin menumpuk. Btw, besok aku lembur dan paginya aku harus langsung ke
Menado.” Kata suamiku.
“Loh? Terus kalo besok lembur, malamnya kamu pulang?” tanyaku lagi.
“Enaknya sih aku nginap di kantor ya…. Ya udah deh, kamu tolong siapin
baju-bajuku aja ya…”
“Berapa lama di Manado, mas?”
“Kurang lebih 1 minggu….!”
Wow… lama sekali, pikirku. Berarti kesempatanku untuk berpetualang, di mulai
lagi. Tapi sama siapa ya? Alex… Sekarang dia tinggal di Semarang ; Andre… dia pergi ke Manado ; Vito… mmh..
suasana hubunganku dengan dia lagi nggak enak… yaahh… liat aja deh besok-besok.
Keesokan harinya, Tino berangkat sekitar jam 5 pagi… ke kantor, lembur &
menginap di kantor dan esoknya langsung ke Menado. Setelah Tino berangkat,
akupun langsung menyiapkan baju dan sarapan untuk Fanny yang mau berangkat
sekolah. Sekitar jam 6an, hp ku berbunyi… ternyata Fachri.
“Pagi Mia…” kata suara ramah di seberang sana.
“Pagi Fachri… kok telfonnya pagi bener?”
“Mmh… nggak papa kan?”
“Ya.. nggak papa sih… Cuma heran aja, kok pagi-pagi telfon. Gimana Haikal, dah
siap berangkat sekolah belum?”
“Sudah sih.. karena nggak ada ibunya, makanya aku bangun pagi-pagi untuk
nyiapin semuanya… uuhh… capek juga ya?”
“Waahh… contoh ayah teladan! Sekarang lagi ngapain?”
“Siapa? Haikal apa aku?”
“Kamu!”
“Oo… lagi ganti baju.. mau nganterin Ikal. Kamu sendiri?”
“Aku juga lagi ganti baju… habis mandi! Sekarang lagi pake celana dalam! Kenapa
emangnya? Mau bantuin?”
“Bantuin apa? Bantuin kamu pake cd? Mmmhh…. Mau banget!” Kata Fachri sembari
tertawa kecil.
“Uuu… maunya!!”
“Eh… Mi… nanti mau bareng nganter Fanny ke sekolahan nggak? Kalo mau, nanti aku
mampir dulu ke situ. Gimana?”
“Ya udah… lagian mobilku juga belum selesai servis. Masih di bengkel. Jam
berapa mau dateng?”
“Mmhh… kalo kamu masih bertahan pake cd aja, aku pasti cepet datengnya!” goda
Fachri.
“Dasar kamu tuh… pagi-pagi udah iseng…”
“Ya udah… gimana? Masih bertahan nggak?”
“Ntar dulu deh… perjalananmu ke sini kan
kurang lebih ½ jam… kalo’ kamu bisa sampai disini dalam 20 menit, pas buka
pintu, aku pasti masih pake kimono mandi. Gimana?”
“Tapi pake cd?”
“Ya… iyalah….”
“Mmmhh… gak usah deh…!”
“Terus aku bugil?”
“Iya!”
“Topless aja ya….”
“Mmmhhh…. Ok!”
“20 menit ya….!!!”
“OK!”
Sambil senyum-senyum, akupun memutuskan hubungan telfon dengan Fachri. Dalam
hati aku berkata. ‘Thanks God… akhirnya bisa ngewe juga. Sama cowok Arab lagi…
Wah, enak banget kali ya, pagi-pagi di genjot kontol Arab?! Beruntung banget
sih kamu…!’ sambil mengelus memekku sendiri.
Setelah itu, aku membantu Fanny ganti baju hanya dengan memakai g-string tipis
tembus pandangku yang berwarna senada dengan kulit tubuhku. Sementara diatas,
aku membiarkan toket besarku yang indah ini menggantung bebas. Tentu saja Fanny
bertanya dengan heran…
“Kok mami belum pakai baju…. Kan sebentar lagi aku berangkat sekolah…”
“Iya… iya… tapi nanti kita dijemput sama Om Fachri. Nanti Om Fachri ke sini
dulu! Nyamper kita”
“Sama Haikal?”
“Ya… iya… sama Haikal. Kan mau sekolah juga”
“Tapi mami kok belum pakai baju? Nanti kalau Om Fachri dateng, gimana? Emang
mami nggak malu, ininya keliatan?” Kata Fanny sambil memegang toketku.
Aku mau menjelaskan ke Fanny soal perjanjianku dengan Fachri, tapi daripada
sudah berpanjang lebar Fannynya nggak ngerti juga, akhirnya aku jawab aja
sekenanya..
“Mami belum pakai baju, soalnya mami nanti mungkin mau di pakai sama Om
Fachri.”
“Di pakai gimana?”
“Ya… memeknya mami mau dipakai sama kontolnya Om Fachri…”
“Oo… mau gituan dulu ya…”
“Gituan apa?”
“Ya.. yang kayak waktu sama Om Vito, sama Om Alex itu maam….” Kata Fanny lucu.
“Ooo… iya… kayak gitu. Tapi jangan bilang-bilang ke Om Fachri soal Om Vito, Om
Alex, Om Andre…. Ya? Soalnya Om Fachri kan ada keturunan Arabnya. Kata Tante
Keke, orang Arab kontolnya gede-gede. Mami mau nyobain. Makanya jangan cerita2
soal papi-papi mu yang lain itu ya?”
“Iya!” sahut Fanny, “tapi nanti aku sama Haikal ngapain?”
“Ya… kamu sama Haikal ngeliat mami aja!”
“Nggak boleh ikut gituan juga?”
Aku tertawa mendengar perkataan Fanny, “Ya nggak boleh… besok kalo Fanny sudah
besar, Fanny boleh deh begituan!”
“Kalo gituan, namanya apa sih mam?”
“Mmhh… namanya banyak. Ada yang bilang ngewe, ngentot, ML…. pokoknya banyak
deh…!”
Kami terus ngobrol sampai akhirnya aku mendengar pintu pagar ada yang membuka.
Aku tahu itu Fachri… spontan aku lihat jam… wow… Cuma 15 menit lebih sedikit.
Sambil berjalan ke depan, aku berfikir akan memberikan Fachri bonus. Sebelum
membuka pintu, aku melepas kain peradaban terakhir yang menutupi memek sempitku
ini dan melemparnya asal ke arah sofa. Sambil masih mengenakan kimono mandi,
aku membukakan pintu.
“Kok cepet datengnya?” tanyaku ke Fachri sambil menggandeng tangannya.
“Gimana nggak cepet? Orang ditawarin ngeliat toket… pagi2 lagi!”
“Diih… siapa yang bilang mau ngeliatin toket?” tanyaku genit.
“Ooo… nggak mau nepatin janji?”
“Kan aku bilang, kalo’ kamu datengnya cepet, aku masih pake kimono tapi nggak
pake BH… gitu doang kok…”
“Yaahh… terus aku nggak boleh liat?” tanya Fachri sedikit kecewa.
“Emangnya kalo sudah liat, mau diapain?”
“Toketmu?”
“Iyalah…”
“Mau aku remes2!!!”
Nggak boleh…” kataku sambil berlari kecil setelah sebelumnya meremas batangan
pria keturunan Arab ini.
Merasa barangnya diremas tanpa izin, Fachri langsung lari mengejarku.
“Aaachh… jangan! Tolong!” teriakku sambil tertawa, ketika Fachri berhasil
menangkapku. Lalu aku dipeluknya dari belakang. Aku pura2 meronta-ronta. Tapi
tanganku aku lingkarkan ke belakang lehernya. Dan dengan begitu, aku
memasrahkan tangannya yang kekar berbulu itu, merangsak masuk ke balik kimonoku
dan meremas dengan lembut kedua toketku ini.
Tidak lama setelah itu, Fachri berhasil melepas kimonoku. Dan dia terkejut
sekali melihatku bugil.
“Wow… kok kamu nggak pakai celana dalam?” tanyanya.
“Bonus!” jawabku singkat.
“Bonus apa?” tanyanya lagi.
“Bonus karena kamu sampai disini kurang dari 20 menit!”
“Mmh… kalo’ tadi aku sampainya Cuma 10 menit, bonusnya apa?”
“Aku suruh Fanny yang buka pintu.”
“Lho? Terus kamunya?”
“Bugil sambil ngangkang di tempat tidur.”
“Waah… kamu nggak bilang sih tadi. Kalo’ tau gitu kan, aku ngebut aja
kesininya!” kata Fachri dengan nada kecewa.
“Tapi nggak papa kok. Biarpun kamu nggak 10 menit sampai sini, aku tetep mau
kok kamu suruh ngangkang.”
“Kenapa emangnya?”
“Aku pingin ngerasain kontol Arab!”
“Dasar kamu!!!!!”
Kemudian, Fachri mulai menciumi bibirku. Dan aku dibopong ke arah sofa. Setelah
sampai di sofa, Fachri duduk dan mulai melucuti sendiri celananya. Ternyata tubuh
Fachri tuh bagus banget. Tegap, dadanya berbulu daaannn… kontolnya gede banget!
Padahal itu aja baru setengah bangun. Sebelum mulai mengisap kontolnya, aku
menyuruh Fanny menutup pintu depan yang masih terbuka.
Setelah Fanny menutup pintu, dia dan Haikal duduk di dekat ku dan Fachri.
“Mi…” kata Fachri, “anak2 gimana nih?”
“Gimana apanya?”
“Mereka disini ngeliatin kita.”
“Nggak papa… biar ngerti” kataku asal.
Fachri hanya senyum-senyum saja mendengar jawabanku. Sementara aku melanjutkan
‘kerjaanku’. Menikmati kontol arab satu ini sambil menggosok kelentitku
sendiri.
Setelah selesai dengan kontolnya, aku berdiri di sofa dan membungkam mulut
Fachri dengan memekku. Lidahnya mulai menari-nari diantara belahan memekku, dia
menghisap dan menjilati kelentitku, sambil memainkan jarinya didalam lubang
itilku. Cairan pelumasku keluar banyak sekali, sehingga memekku banjir.
Menyikapi hal ini, Fachri segera membibimbing tubuhku untuk duduk di
pangkuannya. Perlahan-lahan, batangan kerasnya mulai memasuki liang sempit yang
seharusnya milik suamiku. Aku mulai mengoyang pinggulku untuk perlahan
membiasakan diri dengan barang baru ini. Tapi, nafsuku tak bisa ku bendung
lagi. Aku makin mempercepat gerakanku. Pada saat yang bersamaan, Fachri meremas
kedua belah pantatku sambil menusukkan batangan kerasnya itu bertubi-tubi.
Eranganku makin keras ketika bapak ini menghujamkan kontolnya kedalam memekku
dan mendiamkannya saja disana, bukan apa-apa… semua urat yang mengeras didalam
penisnya berdenyut dengan kencang sekali. Memekku merasakan sensasi yang belum
pernah dirasakannya sama sekali.
“Ssshhh… Yang… kok berhenti?” tanyaku.
“Mmmhh… enak kan tapinya?”
“Iya…. Oohh….! Yang… aku basah banget ya….???”
“Nggak papa…. Kamu dah mau dapet belum?”
“Kayaknya… sshhh… dikit lagi… kenapa?”
Tapi Fachri tidak menjawab. Dia malah dengan tiba2 kembali menghujamkan
batangannya itu. Kontan saja aku berteriak keenakkan… Aku tak tahu berapa lama
Fachri menggenjot memekku, tapi yang jelas entah kenapa orgasmeku cepat sekali
datangnya.
“Yang… uuuhhh… aku mau keluar….!!!”
Benar saja, tak lama setelah itu aku merasakan suatu sensasi kenikmatan yang
hebat sekali. Tapi Fachri tetap tidak berhenti. Dia terus menggenjot memekku
dari bawah. Makin keras hujamannya, makin kencang aku memeluk tubuh bapak ini. Wajah
ganteng Fachri makin lama makin terbenam ke dalam kedua belah buah dadaku.
Kemudian, Fachri menghentikan serangannya sebentar untuk berdiri dan
menggendongku. Sambil berjalan, Fachri mengangkat tubuhku dengan topangan
tangannya di kedua belah pantatku, sementara aku mencoba untuk tetap memanjakan
kontolnya dengan membuat gerakan naik turun. Tapi dia tidak jauh membawaku. Dia
membaringkan aku di sofa tempat Fanny dan Haikal duduk.
“Ical minggir dulu… Ayah lagi sibuk main kuda-kudaan sama tante Mia!” perintah
Fachri kepada Haikal.
“Fanny juga minggir dulu ya…” kataku pada Fanny, “Kamu sama Haikal duduk di
bawah aja dulu ya…”
Lalu mereka pindah tempat ke lantai sambil tetap menyaksikan pertarungan alat
kelamin milik ayah dan maminya.
Dengan posisi terlentang seperti ini, tentu saja memekku makin terlihat
merekah. Ditambah dengan kedua kakiku yang aku buka lebar-lebar untuk
memudahkan Fachri memasukkan kontolnya. Sambil mengocok batangannya sendiri,
Fachri tersenyum dan berkata…
“Sumpah, Mi… memekmu enak bener!”
“Aahh.. kamu tuh… bisa aja! Kontolmu juga enak kok! Ayo… masukkin lagi… !”
Lalu Fachri kembali memasukkan kontol arabnya ke dalam memek lokalku. Sumpah…
pergesekkan perlahan yang dibuat kontol Fachri kepada liang memekku, membawa
sensasi kenikmatan yang cukup membuat nafsuku kembali memuncak. Sambil memegang
kedua kakiku, Fachri kembali membuat penetrasi yang sangat hebat sekali. Mulai
dari gerakan maju mundur perlahan sampai gerakan yang cepat sekali. Tiba-tiba,
Fachri kembali menusuk dengan kencang memekku dan kembali diam tak bergerak.
Sialan… rupanya ini jurus andalannya. Orgasmeku kembali terasa lagi ingin
datang untuk yang kedua kalinya.
“Ooohh… ssshhh…. Kamu hebat banget ssiihh…. Aku mau dapet lagi!” desahku.
Tapi Fachri tetap tidak menjawab, dia malah membuat gerakan menusuk yang
simultan namun gerakannya pendek-pendek, sehingga serasa seperti memompa
orgasmeku. Tak lama kemudian, erangan dan desahan kenikmatanku kembali
terdengar. Aku dapet lagi… Ketika kenikmatan ini sampai pada puncaknya, tiba-tiba
Fachri menusukkan dalam-dalam kontolnya. Lalu terasa ada cairan yang mengalir
didalam liang memekku. Lengket, kental dan kayaknya banyak sekali.
Setelah semua pejunya ditumpahkan kedalam memekku, Fachri mengeluarkan
kontolnya dan menyuruhku menghisapnya. Dia duduk bersandar kelelahan di sofa,
sementara kakinya dia buka lebar-lebar. Wow… kontol yang masih menegang itu
terlihat mengkilat karena basah oleh cairan kenikmatan kami berdua. Langsung
aku duduk di bawahnya dan mengocok batang besar itu sambil menghisap dan
menjilatinya… sampai bersih. Setelah itu kami ke kamar mandi untuk membersihkan
tubuh kami. Sambil masih telanjang bulat, kami kembali ke ruang tamu untuk
bergabung dengan kedua anak kami.
“Fan…” kataku pada Fanny, “hari ini kamu nggak usah masuk sekolah dulu ya?”
“Kenapa?” tanya Fanny.
“Om Fachri sama mami mau ngewe seharian…!”
“Mi… emang Fanny tau ngewe? Kok kamu ngomongnya gitu…?” tanya Fachri bingung.
“Sayang… Fanny udah pernah aku kasih tahu soal apa itu ngewe, ngentot, ML….
tinggal pilih!
“Oo….! Berarti seharian kita ngentot nih?” tanya Fachri lagi.
“Terserah kamu…” jawabku, “Kalo aku sih maunya gitu!”
“OK!”
“Berarti… hari ini kita… telanjang bulat!” kataku pada Fanny.
“Haikal juga telanjang, mam?” tanya Fanny.
“Tanyanya sama Om Fachri dong, Fan!” lalu aku bertanya pada Fachri, “Gimana
yang… anakmu kita telanjangi juga nggak?”
“Ya sudah….”
Akhirnya seharian itu kami berempat telanjang bulat di rumahku. Aku, Fachri,
Fanny dan Haikal. Betapa lucunya Fanny ketika ia membandingkan kontol Fachri
dengan batangan imut milik Haikal.
“Kok punya Om Fachri gede banget mam?” tanya Fanny.
“Soalnya supaya muat di memeknya mami!” Jawabku singkat.
“Tante…” kata Haikal, “memek apaan sih?”
Tapi yang menjawab ayahnya sendiri. Sambil mengelus memekku, Fachri berkata…
“Ini yang namanya memek, Cal! Memeknya Tante Mia enak banget deh… coba kamu
cium memeknya Tante Mia, pasti wangi banget baunya!”
Mendengar hal ini, aku segera menyodorkan memekku pada Haikal, “Cium Cal!” Lalu
anak kecil ini mencium memekku. Belum selesai Haikal menciumi memekku, Fachri
menyuruh anak laki-lakinya itu menjilat memekku. Jilatan Haikal memang nggak
berpengaruh banyak, tapi geli2nya cukup bikin kaget juga, maklum… lidahnya anak
kecil! Lalu aku juga menyuruh Fanny mengocok kontol Fachri dan mengajarkan
untuk mengulumnya. Fachri tertawa kecil ketika ia melirikku… “Eksperimen nih?”
Aku menjawab dengan mengecup bibirnya. “Sekali2 gak papa kan? Mumpung ada
moment…” kataku.
Sekitar jam ½ 12 siang, HP Fachri berbunyi. Rupanya istrinya menelfon
menanyakan kabarnya dan Haikal. Setelah selesai, Fachri menutup telfonnya. Saat
itu, ia sedang memangku Fanny di sofa sambil mengelus-elus memek mungilnya.
Fanny hanya diam walaupun kadang2 seperti kegelian. Sementara aku memangku
Haikal sambil memainkan kontol kecilnya. Setelah tegang, aku mengocok kontol
kecil itu dengan dua jariku. Tapi itu nggak lama, soalnya sekarang jam makan
siang. Fachri mengajak aku untuk makan. Sekitar jam ½ 2, Fanny dan Haikal tidur
siang berdua di kamarnya Fanny, sambil masih tetap telanjang bulat. Aku dan
Fachri berdiri didepan pintu kamar sambil memperhatikan mereka. Fachri memeluk
tubuhku dari belakang sambil tangan kanannya meremas toketku dan tangan kirinya
mengelus memekku. Sementara tangan kiriku aku lingkarkan ke belakang lehernya
dan tangan kananku menyelinap untuk menggenggam dan meremas kontolnya.
“Mi… hari ini aku seneng banget!” kata Fachri.
“Kenapa?”
“Bisa nyobain memekmu! Kamu?”
“Aku apalagi! Bisa nyobain kontol arab. Yang gede dan yang kecil”
Aku dan Fachri tertawa kecil.
“Sekarang kita ngapain?” tanya Fachri.
“Terserah!” jawabku, “ngapain aja aku mau… yang penting enak!”
“Yang enak yaa….”
“NGEWE!” potongku sambil meremas batang besar Fachri.
“Astaghfirullah!!!” sahut Fahri terkejut…
“Kenapa?”
“Kaget aku!” Sahutnya lagi, “Mi… aku mau tanya boleh nggak?”
“Apa sayang?” kataku sambil memutarkan tubuhku untuk berhadapan dengan Fachri
sambil melingkarkan tanganku ke belakang lehernya.
“Kamu seneng banget ngentot ya?” tanyanya lagi.
“Mmhh… kalo iya kenapa?”
“Gak papa… Cuma heran aja!”
“Heran kenapa?”
“Mmmhh… aku tahu, aku pasti bukan laki-laki satu-satunya yang kamu jadikan
petualanganmu. Iya kan?”
“Iya… terus?”
“Mmhh… suamimu tahu gak sih?”
“Ya … nggak lah.. kenapa emangnya?”
“Gak papa… Cuma pengen tahu aja reaksi suamimu kalo misalnya tiba2 pas dia
pulang kantor, ada aku atau siapa lah… yang jelas-jelas habis ngacak-ngacak
memek istrinya.”
“Mmhh.. aku nggak tahu gimana reaksinya. Tapi…. Boleh dicoba juga tuh kapan2!
Gimana? Kamu mau nyoba nggak?”
“Itu maksudku dari tadi…” sahut Fachri, “Lucu kali ya….??”
Kami berdua lalu pergi ke ruang tamu sambil masih ngobrolin tentang berbagai
spekulasi soal eksperimen tadi. Kami terus ngobrol sambil terus bercumbu, tanpa
terasa sudah magrib. Sambil masih telanjang bulat, kami lalu menuju kamar mandi
untuk mengambil wudhu, sementara dari arah kamar Fanny, aku mendengar dua anak
itu sudah bangun dan mencari ayah dan maminya.
Fachri menginap malam itu. Kami mengisi malam ini dengan berfoto berempat
(sambil telanjang bulat tentu saja). Kebetulan, aku punya cam digital dan
handycam. Fachri memotret aku dengan berbagai macam cara dan gaya. Sampai
akhirnya, dia menyuruh aku menghisap titit Haikal, sementara dia dengan
senangnya merekam adegan itu dengan handycam. Sebagai gantinya, aku menyuruh
dia menjilati memek mungil Fanny. Setelah selesai, kami menontonnya di TV.
Fachri tertawa geli sekali ketika melihat adeganku dengan anaknya.
“Liat Fan… mamimu!” katanya kepada Fanny yang sedang dia pangku. Sementara
tangannya tidak berhenti mengelus-elus memek anakku itu. “Mamimu itu seneng
banget sih sama yang namanya kontol!”
“Aah.. kan kamu yang nyuruh?!” kataku membela diri. Sementara Haikal yang aku
pangku berkata, “Tapi tadi aku kok enak yaa, Tan…”
Aku dan Fachri tertawa mendengar Haikal bicara begitu.
“Makanya Cal…” kata Fachri, “ayah nggak ada bosen-bosennya disepong sama Tante
Mia… soalnya hisapannya enak banget!”
Aku tersenyum kepada Fachri lalu mengecup bibirnya, “Makasih atas pujiannya ya
Yang…!” Lalu berkata kepada Haikal, “kontolnya ayahmu juga enak kok Cal…
makanya tante mbolehin kontolnya ayahmu ngacak-ngacak memeknya tante….!”
Sekitar jam 11 malam, kedua anak itu tertidur. Sementara kedua orang tuanya
ini, kembali saling meniduri.
TAMAT