Akhir 1977
merupakan batas bagiku untuk harus menyelesaikan kuliah pada Fak.Teknik Mesin
di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta.
Aku butuh biaya yang tidak sedikit dan umurku telah mencapai hampir 27 tahun.
Sehingga hampir segala macam jenis pekerjaan untuk mendapatkan minimal 60%
tambahan untuk biaya kuliah, ujian lokal maupun ujian negara kuusahakan
semaksimal mungkin karena aku sudah menghentikan pemberian dari orang tuaku,
kupikir mereka sudah cukup membiayaiku selama hampir 7 tahun selama aku kuliah.
Bekerja part time antara lain aku ikut dalam pembuatan beberapa film Nasional
baik di dalam negeri maupun sampai keluar negeri, mengikuti salah satu
sutradara yang cukup terkenal, aku sekaligus merangkap sebagai figuran dan kru
film itu sendiri.
Selama
mengikuti pembuatan beberapa film di Jakarta, aku sempat berkenalan dengan
salah satu pemain wanita yang pada saat itu cukup terkenal dan cukup aduhai
baik wajah dan bentuk tubuhnya. Umurnya 38 tahun dengan tinggi kira-kira 164 cm
serta berat badan ideal bagi wanita seumurnya, rambutnya panjang dikepang satu,
pokoknya amat ideal menurut ukuran favoritku. Dia isteri seorang pengusaha dan
merupakan adik dari salah satu sutradara terkenal di Jakarta untuk film-film action di saat itu
dimana aku ikut bekerja. Oleh karenanya itu Mbak Evie (demikian kami
menyapanya) sering menjadi pemeran pembantu dihampir semua produksi film yang
kuikuti tersebut. Raut serta kelengkapan wajahnya, kehalusan dan warna kulitnya
kalau boleh aku bandingkan dengan bintang sinetron masa kini mirip sekali
dengan Vonny Cornelya.
Aku sendiri
pada saat itu masih muda, wajahku lumayan dengan kumis hitam yang lebat,
didukung dengan tinggi badan 173 cm, berat 68 kg, postur tubuhku cukup bagus
yang kujaga berkat hasil olahraga keras seperti pencak silat tradisionil selama
masa kuliah serta aku mempunyai sikap kebiasaan yang cukup sabar, penuh
perhatian terhadap segala sesuatu yang menarik perhatianku juga kepada hal-hal
yang baru khususnya dibidang fotografi dan perfilman disertai bicara apa adanya
kadang seenaknya tapi tetap menjaga sopan santun khususnya kepada yang lebih
tua. Ini menjadi modal utama bagiku yang pada saat itu sehingga aku amat dekat
dengan Mas Mahesa Jenar (Sang Sutradara). Kedekatannya denganku membuat para
figuran ingin bersahabat denganku terutama wanita-wanita muda yang cantik dan
berharap untuk bisa tampil pada setiap adegan dalam setiap film yang dibuat
oleh Mas Echa (kru film menyapanya dengan panggilan ini).
Perkenalanku
dengan Mbak Evie berlanjut secara tidak sengaja terjadi pada saat aku bersama
kru film yang lain sedang mengambil shooting bertempat di lokasi Cibodas dimana
aku sudah beranjak naik dari figuran kemudian dipercaya oleh Mas Echa untuk
menjadi juru foto atau 'Still Photo' menurut istilah perfilman (aku mempunyai
hobby fotografi sampai dengan saat ini) dan akhirnya aku dipercaya sebagai
asisten Mas Echa. Bekerja dengan Mas Echa, seorang sutradara yang amat baik
tetapi tegas dalam memberikan kesempatan kepada setiap anggota kru film dibawah
pimpinannya untuk berkembang sehingga hampir semua pekerjaan yang menyangkut
pembuatan film kukuasai (kita bekerja dengan system kekeluargaan yang erat).
Secara kebetulan aku juga memiliki sedikit keahlian untuk mengurut/memijat
badan/anggota tubuh yang kupelajari seiring dengan kegiatan bela diri
tradisionil yang telah kusebut di atas dan akhirnya para kru tahu bahwa mereka
punya 'tukang urut' untuk relaks setelah menjalankan kegiatan sehari-hari.
Inilah awal aku jadi lebih akrab dengan Mbak Evie yang manis dan menggairahkan
dengan umurnya 38 tahun dan sudah mempunyai anak 2 puteri yang cantik-cantik,
Cempaka yang sulung kelas 1 SMA dan Melati yang bungsu kelas 2 SMP.
Beberapa
kali seperti biasanya apabila setelah kegiatan shooting selesai pada malam hari
kami berkumpul bersama sutradara dan beberapa kru film yang telah menjadi akrab
seperti saudara sendiri serta juga Mbak Evie berada diantara kami. Dan pada
suatu saat kami sedang melakukan shooting film di sebuah villa di Cibodas.
"Dhitya,
katanya jari-jari kamu pandai melemaskan otot yang kaku, coba sekarang buktikan
sama Mbak kalau kamu memang benar-benar ahli." kata Mbak Evie pada suatu
malam disaat 'break' sehabis shooting kami berkumpul di villa Cibodas di ruang
tengah yang mana hadir juga beberapa kru dan Mbak Ranti yang merupakan isteri
Mas Echa.
Orangnya
lembut dan amat baik hati, seperti biasanya sebagian kru termasuk aku duduk di
lantai yang dilapisi karpet tebal.
"Iya
Dhit, aku juga mau diurut badanku terutama bagian belakang dan pinggangku
rasanya pegal sekali, aku sudah hampir 2 malam berturut-turut tidurku nggak
nyenyak," sambung Mas Echa yang langsung rebah telungkup di bawah dekat
aku duduk bersimpuh.
"Mas,
kasihan Dhitya dong, jangan lama-lama yaa. Dia kan perlu istirahat juga." Mbak Ranti
langsung memotong kata-kata suaminya.
Aku
tersenyum dan maklum bahwa Mbak Ranti sangat sayang kepadaku dan dia
menganggapku sebagai adiknya sendiri karena aku sudah agak lama mengikuti kru
film Mas Echa dan selalu membantu apa yang diperintah mereka berdua diluar
kerja film, bahkan beberapa kali Mbak Ranti memberiku uang untuk tambahan biaya
kuliah dan ujian, pernah juga dia menemuiku tertidur di atas meja di kamar
editing film Mas Echa, di rumahnya karena saking lelahnya bekerja, dia
mengambil selimut dan menutupi tubuhku agar tidak kedinginan karena editing
room harus selalu dalam keadaan sejuk dengan suhu maksimal 15 derajat Celsius.
Kembali
pada keadaan di villa Cibodas malam itu, Mas Echa seperti tidak peduli dengan
ucapan isterinya tadi seperti yang kuceritakan di atas, dia dengan wajah yang
gagah, kelaki-lakian atau HE-MAN menurut istilah perfilman serta tubuhnya
tinggi besar sudah tegeletak telungkup di hadapanku dengan dada telanjang.
Aku pun
langsung action mengurut Mas Echa sambil melirik dan berkata kepada Mbak Evie,
"Sebentar yaa Mbak, aku selesaikan Mas Echa setelah itu aku akan mengurut
Mbak."
"Benar
lho, kamu mau mengurutku, awas kalau kamu bohong," jawabnya dengan senyum
yang manis dan rasanya ada sesuatu luar biasa.
Seperti
biasanya Mas Echa kalau sudah kena tanganku mengurutnya dalam tempo 15 menit
langsung terdengar dengkurnya yang khas.
Kulihat
Mbak Ranti yang masih asyik mengobrol dengan Mbak Evie menggeleng-gelengkan
kepalanya dan bangkit dari kursi lalu meninggalkan kami menuju kamar tidur
sambil berkata, "Vie, aku tidur duluan ya, Mas-mu itu kalau sudah diurut
lupa sama semuanya, dan ini selimutnya ya Dhit, untuk kamu sama Mas Echa."
Memang
salah satu kebiasaanku dan Mas Echa kalau shooting di luar kota terutama di
daerah pegunungan kami selalu tidur di ruang tengah villa, jadi selimut selalu
disiapkan oleh Mbak Ranti. Sementara teman-teman yang lain satu persatu
meninggalkan ruang tengah untuk langsung istirahat tidur karena biasanya
pagi-pagi sebelum matahari terbit kegiatan shooting sudah mulai kembali.Tinggal
kami bertiga, Mas Echa yang sudah tertidur dengan dengkurnya yang khas, Mbak
Evie yang dengan penuh perhatian memandang ke arah tanganku yang bergerak
dengan pasti dan lentur mengurut punggung serta pinggang Mas Echa dan aku
sendiri 'si tukang urut'.
Kutengok ke
arah Mbak Evie yang sedang melamun. Aduh mak! manisnya ini wanita dengan
dadanya yang montok, padahal anaknya sudah 2 dan tubuhnya masih padat dan
montok itu.
Sudah 20
menit aku mengurut Mas Echa dan kelihatannya dia sudah terbang ke alam mimpi.
"Bagaimana
Mbak Evie, jadi nggak dikerjain badannya?" sapaku enteng acuh tak acuh
sambil tersenyum.
"Jadi
dong, memangnya aku mau nungguin kamu dengan percuma tanpa hasil?"
jawabnya tertawa halus dan renyah terdengar olehku.
"Tapi
aku nggak mau di sini, ayo kita ke kamarku," katanya lagi setengah
berbisik, aku terkejut dan jadi bertanya-tanya dalam hati, dia ini serius ya?.
"Mbak,
nggak enak dong sama Mas Echa dan Mbak Ranti nantinya kalau mereka tahu kita
berdua di dalam kamar aku mengurut Mbak," jawabku pelan dan agak ragu.
"Alaahh,
nggak pa-pa kok, mereka kan sudah pada tidur, ayo cepetan aku juga sudah mulai
ngantuk nih." tukasnya dengan kerlingan mata yang penuh arti.
Nah lho,
aku berpikir sejenak, ini adalah kesempatanku berdua dengan Mbak Evie yang dari
sejak pertemuan pertama aku sudah membayangkan bagaimana bentuk tubuhnya yang
indah kalau tanpa sehelai benang melekat di tubuhnya, tapi aku masih ragu-ragu
soalnya dia kan adiknya Mas Echa dan sementara itu banyak orang di sekitar kami
meskipun semua sudah pada tidur di kamarnya masing-masing. Kuselimuti Mas Echa
yang sudah mendengkur seperti suara gergaji pemotong balok kayu itu. Kulihat
Mbak Evie sudah naik dan masuk ke kamarnya yang terletak di bagian atas villa yang
disewa itu dan perlahan-lahan aku mengikuti dari belakang.
"Sebentar
ya Dhit aku ganti baju," katanya, dia masuk ke kamar mandi.
Beberapa
saat kemudian dia keluar mengenakan celana olahraga yang amat pendek sehingga
pahanya yang putih mulus terlihat dengan indah dan dia mengenakan kaos T-Shirt
yang membuatku tertegun sejenak menelan ludah karena buah dadanya yang ternyata
besar dan masih mencuat padat, terlihat membekas putingnya pada T-Shirt
tersebut karena dia tidak memakai BH. Aku pura-pura tidak memperhatikannya.
"Terus
posisi tidurku harus bagaimana Dhit?" tanyanya terlihat seolah-olah masa
bodoh dengan penampilannya yang menggairahkan itu.
"Ya
terserah Mbak, mungkin sebaiknya tengkurap dahulu supaya saya bisa mulai
mengurut dari kaki Mbak." jawabku agak bingung menghadapi tubuh indah dan
menggemaskan itu.
Tanpa
banyak bicara Mbak Evie langsung tidur tertelungkup di atas tempat tidur jenis
single bed di depanku. Aduh Mak! mimpi apa aku ini ada tubuh montok di
hadapanku.
Aku masih
tertegun melihat sepasang betis dan paha yang putih mulus di depanku.
"Ayo
dong mulai, kok jadi ngelamun.. hayo mikir apa, mikir yang bukan-bukan
yaa.." tegurnya halus sambil menoleh ke arahku sambil tersenyum penuh
arti, aku tersadar sejenak.
"Oh..
eh maaf Mbak, aku juga heran kok aku jadi bengong melihat betis dan paha Mbak
yang mulus ini. Mbak pasti rajin ikut body language ya, pasti nih rajin senam
ya Mbak," jawabku seenaknya tanpa sadar, mungkin aku juga mulai ngawur.
"Ah
kamu, dasar laki-laki.. semua sama saja nggak bisa lihat barang mulus, pasti
nafsu deh." juga jawabnya sekenanya.
"Maaf
ya Mbak, aku mulai yaa.." kataku sambil mulai memijat telapak kakinya,
kemudian naik ke arah betis yang bagaikan padi bunting terus ke bagian paha
dengan keahlian gerakan jari-jariku dengan lentur.
Beberapa
saat kemudian terdengar keluhannya halus, "Oh.. Dhit, kamu kok pintar sih
mijat, Mbak belum pernah merasakan pijatan seperti ini," katanya lembut,
aku juga merasakan gerakan tubuhnya yang mulai seperti terangsang oleh gerakan
jari-jariku pada bagian belakang betis, paha serta pantatnya, pinggulnya yang
terasa olehku masih padat dan gempal.
Aku
memiliki sedikit pengetahuan dalam hal urut-mengurut bagian tubuh wanita maupun
pria sejak masa SMA dari seorang ahli massage olahraga dan menurutnya ada
daerah yang amat sensitif di atas pantat sedikit dan di bagian bawah pinggang
apabila terkena pijatan atau tekanan jari yang tepat dapat menimbulkan nafsu
birahi yang tinggi, dan aku mencoba melakukan hal tersebut pada tubuh Mbak
Evie, ternyata aku melihat satu hasil nyata, gerakan nikmat darinya disertai
nafasnya yang mulai tidak teratur akibat pijatanku tersebut.
"Aaaahhh..
kamu kok mijetnya tambah enak siiihh Dhit?" keluhnya lagi.
"Mbak..
nikmati saja dulu, komentar belakangan deh." jawabku acuh tak acuh,
padahal aku sendiri mulai payah rasanya dan horny dengan desahan-desahannya
serta erangannya yang menggemaskan.
Tidak
berapa lama kemudian, dia menggeliat dan sekonyong-konyong Mbak Evie
membalikkan badannya sehingga tanganku secara tidak sengaja menyentuh perutnya
yang putih akibat tersingkapnya T-shirt yang agak kebesaran dengan gerakan
badan yang tiba-tiba itu, tangannya serta merta memegang serta menarik tanganku
dan ditempelkan ke dadanya yang besar dan membusung itu. Aku sempat tercengang
sebentar, lalu dengan refleks aku menarik tanganku. Namun rupanya tangan Mbak
Evie menahan tanganku agar tidak pergi.
“Jangan,
kamu pijet sini juga ya,” katanya.
Aku
terheran-heran dengan tangan gemetaran kuremas kedua bukit indah itu, lembut.
"Ohhhh..
Dhitya, kok gemeteran gitu sih. Pijet susu Mbak yang enak yaa.." keluhnya
penuh nikmat.
Tanpa
diminta dua kali aku langsung meremas lembut kedua susunya yang besar dan masih
agak kenyal itu dengan kenikmatan luar biasa, terus kuremas sambil mengangkat
kaos T-Shirtnya sehingga akhirnya aku dapat melihat bukit indah itu dengan
jelas, bukan main putih, besar dengan puting berwarna coklat muda dan
menggemaskan. Secara perlahan-lahan kuciumi, dan aku sudah tidak peduli lagi
dengan desahan-desahan dan erangan-erangan Mbak Evie yang menikmati permainan
jariku serta lidahku yang menjilat serta menghisap kedua susunya dengan puting
berwarna coklat muda. Aku rasanya persis seperti bayi minum ASI. Penisku mulai
berontak di balik celanaku, tapi aku masih asyik dengan permainan susu Mbak
Evie yang memang benar-benar impianku untuk memeluk serta menghisapnya
sepuas-puasnya.
"Ooohh..
Dhiitt.. kamu pinter sekali Dhiiit, terus isep susuku Dhiiit.." keluh
kesahnya tertahan kenikmatan.
Aku pun
mulai dengan kegilaanku, kukecup, kuhisap bergantian kedua puting berwarna
coklat muda yang mengeras sebesar biji buah kelengkeng itu dengan kenikmatan
yang luar biasa sambil meremas-remas lembut. Gerilya mulutku terus turun ke
arah perutnya yang agak berkerut, maklum sudah melahirkan 2 anak tapi masih
cukup mulus bagiku, terus turun dan tanganku membuka celana pendeknya sekaligus
CD-nya yang berwarna hitam tipis berenda itu. Mbak Evie juga mengangkat
pantatnya guna memudahkan aku melepas celananya. Tanganku kembali meremas susunya
yang besar, kenyal dan masih padat itu dengan gemasnya, sementara lidahku
bergerilya pada ujung vagina Mbak Evie yang ditumbuhi bulu-bulu lebat hitam
keriting itu, kujilat lembut sambil mengecup perlahan. Tangan kanannya meremas
kepalaku sambil menekan ke arah vaginanya yang basah berlendir bening terasa
agak asin di lidahku, sementara tangan kirinya terasa membantuku meremas
susunya sambil mendengus tertahan menahan rasa nikmat permainan bibir dan
lidahku di vaginanya.
Kuangkat
serta kubuka pahanya yang putih mulus itu, terlihatlah dengan jelas dan
menggairahkan lubang kenikmatan bagi pria itu berwarna merah muda dan basah
oleh cairan yang telah kujilat dan kutelan dengan penuh kenikmatan. Sekali lagi
kukecup dan kujilat kedua bibir indah itu dan kugigit kecil klitorisnya yang
mungil tapi bukan main menggemaskan.
"Dhityaaa..
ooohhh.. mmmfff!" dia mengerang halus mungkin karena sadar bahwa di ruang
tengah ada Mas Echa dan di kamar bawah ada Mbak Ranti.
Tiba-tiba
dia menekankan kepalaku ke vaginanya sehingga aku agak gelagapan untuk bernafas
disertai jepitan kedua pahanya di kiri kanan kepalaku, terasa cairan hangat
kental melumuri lidahku, bibirku, hidungku. Wooow, dia mencapai orgasme.
Terdengar
sayup-sayup jeritan tertahan keluar dari mulut Mbak Evie, "Aduuuh..
Dhiiit, kamuuuu.. ngggmmm.. gilaaa.. ooohhh.."
Beberapa
saat terasa jepitan kedua pahanya masih terasa kuat dan perlahan-lahan
mengendur dan akhirnya aku dapat bernafas dengan lega setelah Mbak Evie
melepaskan jepitan pahanya di kepalaku serta melepaskan tekanan tangannya di
kepalaku dari vaginanya yang nikmat. Mulutku penuh dengan cairan hangat kental
dan agak asin itu, tanpa berpikir panjang langsung kutelan karena aku tahu
bahwa cairan itu intisari dari makanan yang penuh gizi, sementara tanganku
membenarkan penisku yang terjepit CD-ku sendiri supaya agak bebas dari ketegangan
yang baru saja terjadi.
"Ooohhh..
Dhitya, kamu nakal deh, tapi pinter.." bisiknya sambil tersenyum, kulihat
dia dari arah pangkal paha yang putih mulus itu.
"Mbak..
Mbak sendiri yang buat gara-gara, jadi aku nggak tahan untuk itu," jawabku
perlahan sambil menghela nafas dan antara sadar dan tidak menikmati apa yang
baru saja terjadi, tapi agak takut kedengaran orang lain.
"Dhiiit..
sini dong sayaaang.." kata Mbak Evie sambil mengulurkan kedua tangannya,
kusambut tangannya dan dia menarikku dan mengecup bibirku serta menciumi
seluruh wajahku yang masih basah dengan sisa-sisa air kenikmatan yang keluar
dari vaginanya itu seolah tidak dirasakannya sama sekali.
"Kamu
telah memberikan kepuasan pada Mbak malam ini, Mbak nggak sangka kamu hebat
dengan permainan oral seks kamu." sambil membelai wajahku dengan lembut.
Edan! aku
sendiri jadi sadar sekarang bahwa aku baru saja mengalami permainan oral seks
dengan wanita yang selama ini menjadi impianku untuk bermain cinta.
"Mas
Iwan nggak pernah berbuat seperti apa yang kamu lakukan tadi, aahhh.."
keluhnya lagi, Mas Irawan/Iwan adalah suaminya.
Sementara
aku berkeringat dingin menahan nafsu seksku yang kian memuncak melihat
pemandangan di depanku ini, tubuh indah setengah telanjang dari dada ke bawah
terbuka tanpa sehelai benang menempel tapi aku sendiri tidak berani untuk
mencoba-coba yang aneh-aneh sampai tangan Mbak Evie menyusup ke dalam celanaku
dan menyentuh serta meremas penisku yang sudah tegang sejak aku melakukan oral
seks terhadapnya.
"Aduuuh..
panjang amat burungmu ini Dhit, berapah sih ukurannya?" tanyanya berbisik
manja.
"16 cm
Mbak.. tapi jangan sekarang, Mbak.. aku takut nanti Mas Echa atau Mbak Ranti
bangun gara-gara ini.. mati aku nanti, Mbak.." kataku berbisik dan was-was
penuh kekawatiran tapi juga kepingin karena memang benar aku sudah seperti
keluarga sendiri bagi Mas Echa dan Mbak Ranti, kalau aku tertangkap basah
bercinta dengan adiknya, habis, tamat, the end riwayatku.
"Ah..
nggak pa-pa Dhit, kamar ini kan di atas dan terpisah agak jauh dari kamar Mas
Echa dan mereka sudah pada mimpi.. siniii jangan jauh-jauh tidurannya."
jawabnya lagi merayuku sambil tetap meremas lembut penisku dan menarik tubuhku
supaya tetap menempel dengan tubuhnya. Aduh Mak, meskipun aku amat bernafsu,
aku masih ragu-ragu.
"Teruskan
Dhit, kau memang bodoh kalau membuang kesempatan emas yang sudah kamu
tunggu-tunggu," kata hatiku.
Tertegun
sejenak, aku kembali sadar dengan remasan tangan di penisku dan kecupan bibir
sensual Mbak Evie di pipiku, terus bergeser ke mataku, akhirnya bibir kami
berpagut penuh nafsu birahi yang tinggi, tanganku kembali mengusap serta
meremas lembut susunya serta puting Mbak Evie yang menggemaskan itu, sementara
Mbak Evie juga tidak ingin kalah agresif menggerakkan tangannya naik turun pada
penisku yang masih di dalam celana jeans-ku.
"Dhitya,
buka celanamu sayang, aku jadi gemas banget dan biar tanganku bebas mengelus
burungmu ini," katanya lagi.
Sejenak
permainan tanganku terhenti sejenak, aku bangun dan melepaskan celanaku juga
baju serta sweater yang kupakai untuk menahan dinginnya malam di Cibodas.
Kulihat Mbak Evie juga serta merta melepas T-Shirt yang dipakainya dan
tampaklah tubuh perempuan 38 tahun, masih mulus dengan kedua susunya yang besar
(akhirnya kuketahui ukurannya 38A, wooow!), putih mulus dihiasi dengan puting
coklat muda. Aku berbalik dan menghadapnya dengan tubuh yang sudah tanpa
sehelai benang dan penisku tegak bak meriam si Jagur yang terpampang di
Stadhuis stasiun Kota meskipun udara Cibodas cukup dingin menggigit kulit. Mbak
Evie tertegun kaget sambil menutup mulutnya yang sensual pada saat dia melihat
ke arah penisku yang tegak di hadapannya, kuraih tangannya menyentuh penisku
sambil kugenggamkan, dia menurut sambil memandangku kagum.
"Oooh
Dhitya, panjang amat.. bohong kalau kamu bilang 16 cm," katanya sambil
meremas lembut serta mulai menggerakkan maju mundur.
Aku sudah
tidak sanggup berkata apa-apa lagi tetapi masih bisa berpikir sambil mendekati
serta naik ke tempat tidur. Kami sudah duduk berhadapan saling berpandangan,
sejenak aku berpikir, "Inilah kesempatanku untuk menikmati tubuh montok
Mbak Evie yang sudah sejak perkenalan pertama yang kuimpi-impikan.
Meskipun
sudah dalam keadaan telanjang bulat itu aku masih takut kalau-kalau Mas Echa
atau Mbak Ranti terbangun dan mencariku atau Mbak Evie dan kami tidak berada di
ruang tengah dan mendapati kami sedang berbugil ria di kamar Mbak Evie maka
seperti yang aku katakan di atas, "I AM DEAD!"
Akan tetapi
di depanku sudah tersedia yang kuinginkan selama ini, tunggu apa lagi. Kusentuh
dan kuremas susu yang besar putih dan montok itu dengan sebelah tangan, sambil
merebahkan diri Mbak Evie masih tetap memegang penisku dan aku menarik selimut
dan menutupi badan kami berdua agar tetap hangat. Tanganku bergerilya di balik
selimut tebal, memilin puting susunya yang coklat muda terus turun ke arah
vaginanya yang mulai membasah lagi sementara bibir kami saling berpagutan dan
permainan lidah Mbak Evie yang jelas lebih berpengalaman dariku, membuatku
tersengal-sengal.
"Dhiiittt..
masukin ya sayang, aku nggak tahan lagi.." desahnya dan terasa dia membuka
pahanya serta merta mengarahkan penisku yang tegang dengan tangannya menyentuh
klitorisnya dan agak memaksa ditekan memasuki lubang vaginanya yang terasa
pas-pasan bagiku.
Mungkin
juga Mbak Evie rajin senam body language, maklum sudah 2 kepala bayi keluar
lewat lubang tersebut tetapi itu vagina masih lumayan sempit.
Bukan main,
aku merasakan nikmat luar biasa kehangatan dinding vagina Mbak Evie serta
kejutan-kejutan kecil mulai dari kepala hingga pangkal penisku yang masuk
tertelan habis ke dalam lubang kenikmatan itu.
"Ooohhh..
Dhitya, kamu lain rasanya sama Mas Iwan.." desahnya penuh nikmat,
sedangkan aku sudah tidak bisa berbicara apa-apa karena merasakan kenikmatan
seperti yang kukatakan di atas sambil memejamkan mataku.
"Mbaaak..
mmmff, enak Mbaakkk.." desahku berbisik di kuping kirinya, kemudian dengan
lembut karena aku tidak ingin cepat-cepat kehilangan nikmat dunia ini berlalu
dengan segera kukecup keningnya, matanya yang terpejam manis, hidungnya yang
mirip hidung Vonny Cornellya itu (agak mancung dan bangir) berakhir di bibirnya
yang sensual, kukecup sambil mempermainkan lidah, kupagut habis-habisan
sementara dia pun memeluk leher serta kepalaku sambil mendesah-desah kecil.
Aku mulai
gerakan turun naik pinggul serta pantatku, reaksi Mbak Evie juga demikian, dia
menggerakkan pinggulnya dengan perlahan, makin cepat.. makin cepat, aku
merasakan denyut-denyut kecil di kepala penisku. Woooww.. aku hampir orgasme,
aku mencoba menahan klimaks yang akan terjadi dengan segera kulepaskan bibir
sensual itu dan kukecup, kuhisap serta kujilati bergantian kedua susunya yang
besar dan montok itu, rupanya itu merupakan bagian sensitif kedua setelah
vaginanya, dia menjerit kecil dan segera kututup dengan tanganku agar tidak
keterusan yang dapat berakibatkan, "I AM DEAD."
"Dhiiit..
ooohh, teruuuss Dhiiitt.." suaranya berbisik terdengar setelah aku
melepaskan dekapan tanganku dari mulutnya yang mungil itu.
Sementara
aku masih dengan kegilaan yang menjadi-jadi mengisap, menjilati serta
menggigit-gigit kecil kedua susu beserta putingnya yang indah itu.Gerakan
pinggulku serta pantatku makin cepat.. makin cepat.. makin cepat naik.. turun..
naik.. turun.. naik.. turun yang diikuti oleh gerakan pinggul Mbak Evie yang juga
makin hot dan menggila itu.
"Mbaaakk..
akuuu.. nggaaak tahaaannn.." aku mengerang tertahan agar tidak berteriak
keras.
Badanku
mengejang dan beberapa saat paha mulus Mbak Evie menjepit pinggangku dengan
kuat serta pagutannya pada bibirku diikuti dengan permainan lidahnya yang hebat
dan dia melepaskan pagutannya.
"Aduuuhh..
teruuus Dhiiit, akuu mauu.. mmmff.." dia memelukku dengan keras dan,
"Crettt!" meledaklah segala yang ada di dalam diri kami dengan
menyemburnya spermaku ke dalam vagina Mbak Evie yang disertai orgasmenya
sendiri, terasa dengan makin basah dan hangatnya penisku sambil berdenyut
'terurut' oleh otot-otot vagina Mbak Evie.
Kami
berpelukan dengan erat di balik selimut tebal yang menutupi hangat tubuh kami,
beberapa saat kami lupa diri.. di mana.. sedang apa.. siapa yang ada di sekitar
kami, LUPA, LUPA, LUPA!
Kulepaskan
pelukanku atas tubuh Mbak Evie yang montok itu sambil memandangnya, terlihat
matanya yang indah itu tertutup sedikit dan perlahan dia membuka kembali
matanya sambil menatapku sayu.
"Oohhh..
Dhitya, hari ini kamu memang hebat! selama hampir 17 tahun aku kimpoi baru hari
ini aku merasakan kenikmatan orgasme yang enaaak.." katanya sambil
tersenyum puas sambil mengusap kedua belah pipiku.
"Mbak..
aku juga mau jujur sama Mbak, sebenarnya aku juga ingin begini sama Mbak sejak
pertemuan pertama di rumah Mas Echa beberapa bulan yang lalu, tapi.. yah aku
ini apalah.. hanya pembantu kru filmnya Mas Echa dan.." belum sempat aku
meneruskan kata-kataku tangan wanita berumur 38 tahun itu yang halus menutup
mulutku dengan lembut.
"Mbak
sudah tahu dan merasakannya Dhit, aku juga sebenarnya senang sama kamu sejak
awal kita bertemu dan Mbak Ranti sudah banyak menceritakan tentang kamu, jadi
aku kasihan, yaa senang, yah.. akhirnya ya begini jadinya, tapi aku puas
lho." katanya lagi sambil mengecup bibirku.
"Mbak.. sudah jam berapa ini, besok masih ada shooting, jadi kita stop dulu yaa.." aku mengingatkan dia. Mbak Evie mengangguk dan kami saling melepaskan diri, bangun menuju kamar mandi sambil berjingkat-jingkat agar tidak menimbulkan suara-suara yang mencurigakan para kru yang lain yang kebetulan beberapa diantara mereka tidur di villa yang sama dengan kami.
"Mbak.. sudah jam berapa ini, besok masih ada shooting, jadi kita stop dulu yaa.." aku mengingatkan dia. Mbak Evie mengangguk dan kami saling melepaskan diri, bangun menuju kamar mandi sambil berjingkat-jingkat agar tidak menimbulkan suara-suara yang mencurigakan para kru yang lain yang kebetulan beberapa diantara mereka tidur di villa yang sama dengan kami.
Dengan gaya
seperti maling aku melangkah kembali ke ruang tengah, kulihat Mas Echa masih
tergeletak mendengkur dengan keras di atas lantai yang dilapisi karpet yang
cukup tebal dan aku naik ke atas sofa, menarik selimut dan memejamkan mata sambil
kembali melamunkan tentang apa yang baru saja terjadi antara aku dengan Mbak Evie
yang cantik dan montok itu.
Sejak
kejadian di villa Cibodas itu, Mbak Evie dan aku sering bertemu di rumah Mas
Echa atau aku suka diajak ke rumahnya, bertemu dan berkenalan dengan Mas Irawan
suaminya yang hobinya bermain golf (olahraga kaum executive yang sukses), cukup
gagah Mas Irawan menurutku, pada awalnya aku tidak mengerti mengapa Mbak Evie
agak acuh terhadap suaminya kalau kebetulan aku berkunjung ke rumahnya dan ada
Mas Irawan. Hubunganku dengan anak-anak mereka cukup baik, bahkan mereka merasa
senang dengan kehadiran "Mas Dhitya" yang sering membantu membuat PR
juga dalam menjaga hubungan baik itu aku sering diminta tolong oleh Mas Iwan
untuk mengantar putri sulungnya Cempaka juga adiknya Melati untuk pergi ke
supermarket atau ke restaurant atau ke toko buku baik bersama Mbak Evie ataupun
tidak.
Lama
kelamaan aku tahu juga dari para kru filmnya Mas Echa bahwa ternyata Mas Irawan
punya simpanan kekasih gelap atau WIL (wanita idaman lain), akibatnya Mbak Evie
pernah memergoki suaminya berkencan dengan WIL-nya itu melakukan balas dendam
yaitu ikut main film bersama kakaknya dan bercinta denganku yang jelas tanpa
diketahui oleh keluarganya meskipun beberapa teman kru film sepertinya mencium
hubunganku dengan Mbak Evie ada 'sesuatu yang istimewa'.
Beberapa
kali kami bercinta di rumah Mbak Evie pada saat anak-anak sedang sekolah
ataupun di hotel dan aku baru mengetahui bahwa sejak 1 tahun terakhir Mbak Evie
sangat jarang bercinta dengan Mas Iwan sehingga aku bisa mengerti kalau kami
bercinta di rumahnya ataupun di hotel serta di lokasi shooting film di luar
kota di mana kami menginap 3-4 hari dia berlaku seperti kekasihku dengan manja
dan kadang-kadang bersikap garang ingin dipuaskan keinginan seksualnya yang
menggebu-gebu dan meletup-letup karena dendam juga haus sentuhan laki-laki, aku
pun senang melayaninya, yah.. laki-laki mana tidak akan gandrung melihat
perawakan Mbak Evie yang menggemaskan itu tapi akan berpikir 2 kali untuk
mencoba untuk menggodanya begitu tahu siapa kakaknya, sedangkan aku hanya
sekedar 'tukang urut' yang kebetulan bernasib baik dipercaya oleh Mas Echa
untuk ikut kerja bersamanya dan bisa "nempel" dengan Mbak Evi yang
cantik itu. Sementara aku tetap bersikap biasa dan patuh seolah-olah tidak
pernah terjadi sesuatu yang istimewa diantara kami sebagaimana biasanya aturan
kru film kepada Mas Echa, Mbak Ranti dan juga Mbak Evie bila bertemu dalam kegiatan
shooting film.
Hubungan
kami berlangsung terus dengan baik sampai pada suatu saat yang juga amat
berkesan yang menjadi salah satu pengalamanku dimasa itu yang akan kusampaikan
pada kesempatan lain di situs ini.
Beberapa
nama sengaja aku ganti demi menjaga kehormatan serta nama baik orang-orang yang
kusebut di atas sedangkan nama-nama tempat serta adik sang sutradara adalah
benar nama panggilan sehari-harinya.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar