Senin, 27 Agustus 2012

Angkuh 2

Hayo, Lee. Buktikan kalau kamu hanya terlena. Kamu tidak ingin kalau sahabat-sahabatmu seprofesi mentertawakanmu, bukan?
Lee mendenguskan udara dari hidungnya.
Mau bukti kalau itu benar?
"Gia, aku mungkin tak bisa ke rumahmu nanti malam."
"Tapi, Lee. Aku sudah masak semur lidah kesukaan kamu."
Huh. Mau membuatku terlena? Sorry saja.
"Maaf, ya. Aku harus ke kampus sekarang."
"Lee…?"

"Klik..." Dan Lee tersenyum puas. Kalau tidak bisa mendapatkan yang lebih ya ditinggal saja. Lagipula dada sudah merupakan medali perunggu yang lumayan. Dan cara meninggalkan yang paling menyenangkan adalah dengan mencari masalah duluan. Jauhi. Dan nanti malam dia bisa kembali ke pelukan Resky.

Malam yang hangat dan dada telanjang. Lee membiarkan gadis itu melumat kemaluannya. Jemarinya menjambak rambut gadis itu. Menggerakkannya ke atas dan ke bawah. Beberapa saat kemudian Lee sudah menikmati pergumulannya dengan Resky. Gadis itu mengerang saat pemuda Lee menggerakkan pinggulnya dengan lincah, menekan dan menggesek, memenuhi liang kemaluannya dengan kehangatan. Dan Lee tersengat saat puncak rangsangan itu tak bisa dihadangnya.

"Gia.."
Dan ia membayangkan sudut-sudut kamar yang temaram. Sosok gadis yang meringkuk, menangis meratapi ketidakhadirannya di atas tempat tidur. Terisak. Bantal yang basah. Bahu yang berguncang. Mangkuk semur lidah di tempat sampah. Jadi makanan kucing buduk.

"Gia.."
Lee melompat, membiarkan Resky terlena dalam kenikmatan yang telah diberikannya pada gadis itu. Secepat kilat diraihnya handphone dan menelepon Gia.
"Kamu jadi ke sini? Tidak apa, ini kan masih pukul sepuluh."
"Tidak apa-apa?"
"Tidak. Lagipula semur lidahmu masih di kulkas. Tinggal dihangatkan." Entah mengapa Lee merasakan kelegaan itu dalam hatinya. Sangat lega.
Kucing buduk? Enak saja.
Dendam kopi belum lunas, Cing.

"Tanpa terasa sang waktu terus berlari, meninggalkan rona pelangi yang mewarnai kehidupanku dengan pola-pola abstrak. Pola-pola yang memberikanku kenyamanan, semakin melenakanku dalam buaiannya. Tapi sosok keangkuhan itu tetap ada, entah mengapa."

Gila. Sudah dua bulan berlalu. Tapi aku masih belum juga memperoleh kemajuan apapun. Lee mendesah dalam hatinya. Benaknya benar-benar galau.
"Kok lama, Lee?" Salah seorang sahabatnya bertanya.
"Katanya harus pelan-pelan." Lee memaksakan dirinya untuk tetap tersenyum. Walau tak dapat disembunyikan bahwa senyuman itu palsu.
"Jangan-jangan kamu.. hahahaha."
Tawa yang menyebalkan. Tuduhan yang ngawur.
"Enak saja. Siapa yang bilang begitu?"
Tapi Lee tersentak. Orang hanya marah kalau yang dituduhkan padanya benar adanya.
Baiklah. Desis pemuda Lee sambi berjanji pada dirinya sendiri. Mari kita mengakhiri cerita roman picisan ini.

"Ah pemuda pecinta, seandainya engkau menemukan sosok ketulusan itu dalam diri penaklukmu.."
"Jangan, Lee."
"Maafkan aku, Gia." Lee membalikkan tubuhnya dan bersiap melangkah pergi. Kepalanya terasa begitu pening. Lebih pening tatkala lengan gadis itu memeluk kakinya.
"Jangan tinggalkan Gia sendiri. Please."
Please. Kata yang tak pernah bisa ditahannya. Air mata. Lee mengeraskan hatinya, membiarkan gadis itu terseret bersama langkahnya.
"Lepaskan, Gia!"
"Tidak, Lee. Tidak.."
"Gia."
"Aku salah apa Lee? Aku salah apa?"
Kamu tak salah, Gia. Aku yang salah karena bertemu denganmu. Lee mengeraskan hatinya. Gadis itu masih terseret. Isak tangisnya.

"Lee.."
Pemuda Lee tak tahan lagi, membalikkan tubuhnya dan memegang pundak si gadis Gia. Keras dan setengah mencakar.
"Dengar Gia! Aku tidak mencintaimu. Aku hanya bermain-main."
Gia tersentak dan membeliakkan matanya yang berkaca-kaca. Tiada sepatah kata pun keluar dari bibirnya yang bergetar. Lee mengangkat tubuhnya dan meraih pegangan pintu.
"Lee.." Kedua lengan itu kini memeluk pinggangnya.
Air mata membasahi pungungnya. Kehangatan dan kesedihan.
Lee berhenti. Keraguan terbersit di hatinya. Terenyuh. Tegakah ia?
"Kulakukan apa pun asal kamu tidak pergi."
Kali ini Lee yang tersentak. Apapun? Apapun??

"Wahai pemuda pecinta, apakah yang kaulihat di balik bening bola mata penaklukmu? Nafsukah? Atau kasih sayang dan ketulusan?"

Gadis Gia membiarkan pemuda itu menelanjanginya, menciumi seluruh bagian-bagian sensitif di tubuhnya. Pemuda yang menggelutinya adalah kecintaannya, buah hatinya. Kekasihnya. Lee mengeluh dan mendesah di balik nafsunya. Bibir Gia bergetar saat jemari pemuda itu menyapu bulu-bulu kemaluannya dan meraba bibir vaginanya yang perlahan membasah. Lee merasakan ketegangan itu. Dia dapat mencium bau keringat seorang perawan yang belum pernah terjamah. Bau yang begitu harum dan menggoda setiap syaraf birahi dalam tubuhnya. Pemuda Lee menempelkan ujung kemaluannya ke permukaan liang kehangatan si gadis Gia. Bersiap menusuk dan merenggut keperawanan itu.

Saat Lee melihat mata Gia. Mata itu terbuka. Menantang penuh kepastian. Lee menekan ujung penisnya. Mata itu masih terbuka. Menantang. Pasti. Musik masih mengalun, beberapa pemuda dan pemudi masih bergoyang dengan asyik. Tapi Ray sudah kehilangan pengaruh gin tonik yang sejam lalu masih memanasi otaknya.
"Lalu?"
Bapak di hadapannya tersenyum. Senyuman yang mengandung nuansa kegetiran disamping kerutan di kening dan bawah matanya, menodai jejak-jejak ketampanan yang masih tersisa.
"Sebentar, saya mau ke belakang dulu."
Ray menghembuskan nafasnya. Lega karena tense itu sedikit meregang. Dipandanginya tubuh bapak yang baru dikenalnya satu setengah jam yang lalu. Ray menatap gelas kecil di hadapannya. Mendadak gin tonik itu tidak lagi terasa menggoda.

Pintu kamar mandi membuka. Pemuda berambut panjang itu menyusupkan kepalanya. Tersentak melihat sosok yang membungkuk di depan wastafel.
"Bapak?"

Lee merangkul pemuda itu dan menumpahkan seluruh kepedihan yang tersimpan sepuluh tahun lamanya. Ray terbata. Tak mampu mengatakan sepatah kata pun.

"Bapak...
Bapak meninggalkannya."

Dan Lee hanya terisak.
Ia menceritakan kisah terpendam itu.
Kisah yang membuatnya berubah.
Kisah yang membuatnya meratapi kesepian kehidupannya.
Karena pemuda ini begitu persis dengan dirinya.
Dan Ray sadar itu.
Sangat-sangat sadar, sampai kebingungan.

Café Pink, bersinar dalam derap musik dan goyangan anak muda.
Tenggelam dalam kepedihan.
Seorang bapak yang pathetic.
Dan seorang pemuda kebingungan.

"Jika kesempatan itu melambai padamu, jangan pernah lari dan menghindar. Karena kesempatan itu berarti kebahagiaan ataupun penyesalan.. untuk selamanya."

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar