Tes... tes... Hujan gerimis.
Padahal mentari masih bersinar, membuai orang-orang menikmati senja. Aku
bergegas pulang. Keramaian taman makin menghilang. Sibuk orang-orang
menyelamatkan diri dari titik-titik air. Lalu menyelamatkan yang lainnya,
jemuran pakaian dan kasur. Gerimis meningkatkan frekuensinya menjadi lebat.
Hujan deras. Di depan flatku seorang wanita muda mengangkati jemurannya yang
cukup banyak. Kelihatannya kurang mengantisipasi akibat baru bangun tidur.
Masih memakai piyama.
"Saka, bantuin Tante dong!"
Tanpa bicara aku membantunya. Sprei, kelambu, baju, t-shirt, dan ...ih, pakaian dalam.
"Bawa ke mana, Tante?"
"Sekalian ke dalam aja!"
Tante Imah berjalan di depanku. Menaiki tangga hingga lantai dua. Aku cukup puas menikmati irama pinggulnya yang kukira agak dibuat-buat. Saat menghadap ke arah terang, siluet tubuhnya jelas membayang. Seakan telanjang. Kami masuk ke rumahnya. Tante Imah menggeletakkan jemuran di sudut kamarnya, akupun mengikutinya.
"Makasih ya? Kamu mau minum apa, Ka?" tanyanya yang langsung menghentikan maksudku untuk langsung pulang.
"Apa aja deh, Tante. Asal anget."
Kurebahkan diri di sofanya. Hmm, lumayan nyaman. Tante Imah belum mempunyai anak. Yang kutahu, suaminya, Om yang tak kutahu namanya itu hanya sekali-kali pulang. Dengar-dengar pekerjaanya sebagai pelaut. Ha ha, pelaut. Di mana mendarat, di situ membuang jangkar. Sinis sekali aku.
"Om belum pulang,
Tante?" tanyaku basa-basi sambil menerima teh hangat.
"Belum, nggak tentu pulangnya. Biasanya sih, hari Minggu. Tapi hari Minggu kemarin nggak pulang juga."
"Tante nggak kemana-mana?"
"Mau kemana, paling cuma di rumah saja. Kalau ada Om baru pergi-pergi."
"Eh, kamu nggak ada keperluan lain, kan?"
"Nggak, Tante," jawabku. Mau apa aku di rumah, sendirian, di tengah hujan yang semakin lebat begini.
"Temenin Tante ya. Ngobrol."
Kamipun terlibat dalam obrolan yang biasa saja. Sekedar ingin tahu kehidupan masing masing. Dari ucapannya, kutahu bahwa suaminya bernama Om Iwan. Jarang pulang. Yang cukup membuat darahku berdesir agak cepat adalah daster itu. Seakan aku bisa melihat dua titik di dadanya, yang timbul tenggelam ketika kami bercengkrama. Tangan Tante Imah cukup atraktif. Entah sengaja atau tidak sering menyentuh tanganku, atau mampir di pahaku. Makin lama duduknya pun semakin dekat.
"Belum, nggak tentu pulangnya. Biasanya sih, hari Minggu. Tapi hari Minggu kemarin nggak pulang juga."
"Tante nggak kemana-mana?"
"Mau kemana, paling cuma di rumah saja. Kalau ada Om baru pergi-pergi."
"Eh, kamu nggak ada keperluan lain, kan?"
"Nggak, Tante," jawabku. Mau apa aku di rumah, sendirian, di tengah hujan yang semakin lebat begini.
"Temenin Tante ya. Ngobrol."
Kamipun terlibat dalam obrolan yang biasa saja. Sekedar ingin tahu kehidupan masing masing. Dari ucapannya, kutahu bahwa suaminya bernama Om Iwan. Jarang pulang. Yang cukup membuat darahku berdesir agak cepat adalah daster itu. Seakan aku bisa melihat dua titik di dadanya, yang timbul tenggelam ketika kami bercengkrama. Tangan Tante Imah cukup atraktif. Entah sengaja atau tidak sering menyentuh tanganku, atau mampir di pahaku. Makin lama duduknya pun semakin dekat.
Hingga, "Saka, mau nonton
film nggak? Tante punya film bagus nih."
Wah untunglah. Rumahku tidak
mempunyai vcd player. Tante Imah menyalakan TV lalu memasang film. Dan, astaga
ternyata dia benar tidak memakai BH dan celana dalam. Aku bisa melihatnya jelas
karena dia cukup lama berdiri menyamping, cahaya TV membuat gaun tidurnya
menjadi selaput transparan. Bentuk payudara beserta putingnya beserta rambut di
pangkal paha. Aku lebih ternganga lagi karena film itu XXX. Kembali Tante Imah
duduk di sampingku, malahan lebih dekat lagi. Tangannya mengusap-usap lenganku
dengan lembut.
"Filmnya bagus ya?" Bisiknya pelan.
"Filmnya bagus ya?" Bisiknya pelan.
Namun terdengar di telingaku
bagaikan rayuan. Aku tak mampu menjawab karena bibir bawahku menahan ekstasi
yang kuat. Entah apa yang harus kulakukan kini. Mataku tak lepas dari wanita
yang merintih di film itu, yang sudah distel suaranya pelan. Tante Imah
menggenggam pergelangan tanganku. Dan, astaga. Dibawanya tanganku ke
payudaranya. Didiktenya tangan ini ke daerah yang tak pernah dirasakan
sebelumnya. Begitu pula tangan kiriku. Kini masing-masing telapak tangan itu
memegang rata masing-masing pasangannya, payudara. Pandanganku masih ke arah
TV. Aku tak berani menatap wajah Tante Imah. . Tak pernah aku impikan hal ini
terjadi. Sementara di TV desahan si gadis yang menghadapi dua batang penis
makin membuat hot suasana.
"Saka, hadap sini
dong," ujarnya manja.
Kuhadapkan wajahku. Kulihat
tatapan pengharapan di sana. Wajah Tante Imah cukup cantik, dengan kulit putih
dan senyuman manis yang menghiasinya. Aku masih memegang payudara itu, hanya
memegang dengan daster yang melapisinya. Ah, tak terasa daster itu. Hanya
payudara besar ini fokus pikiranku. Tanganku masih canggung, sementara ada
sesuatu yang mulai menggeliat di bawah sana.
Tiba-tiba dia menghentikanku, dengan cara yang sempurna. Tangannya merengkuhku dalam pelukan, sementara bibirnya mencium lembut. Payudaranya menghimpit dadaku. Membuat dadaku berdetak hingga aku merasa bisa mendengarnya. Ciumannya nikmat. Beda sekali sekali dengan apa yang ada di TV. Seakan ingin mengaliri dengan hangat jiwanya. Kami berciuman lama sekali, tak terasa tanganku ikut mendekapnya makin erat. Kulepaskan dekapanku untuk mulai mengontrol diri kembali. Berakhirlah sesi ciuman itu.
"Kenapa Saka? Kamu marah ya?" tanyanya pelan.
Tiba-tiba dia menghentikanku, dengan cara yang sempurna. Tangannya merengkuhku dalam pelukan, sementara bibirnya mencium lembut. Payudaranya menghimpit dadaku. Membuat dadaku berdetak hingga aku merasa bisa mendengarnya. Ciumannya nikmat. Beda sekali sekali dengan apa yang ada di TV. Seakan ingin mengaliri dengan hangat jiwanya. Kami berciuman lama sekali, tak terasa tanganku ikut mendekapnya makin erat. Kulepaskan dekapanku untuk mulai mengontrol diri kembali. Berakhirlah sesi ciuman itu.
"Kenapa Saka? Kamu marah ya?" tanyanya pelan.
Tapi sialan, suara-suara di TV
itu kembali mengacaukanku. Melumpuhkanku lagi dalam birahi.
"Maafin Tante ya?
Tante..." Wajah itu mengeluarkan prana iba untuk dikasihi.
Dia kembali menciumku, cukup
hangat. Namun tak sehangat tadi kurasa. Akupun tak mengharap ciuman kasih
sayang, karena dariku juga tinggal nafsu. Ciuman-ciuman itu pindah ke leher dan
telinga. Ah, tak pernah kubayangkan bahwa daerah ini lebih membuatku bergidik.
Akupun menirunya. Kami saling menciumi leher, bahkan Tante Imah sempat mencium
keras.
"Aduh, Tante..."
Dia lalu tersenyum dan berdiri.
Perlahan dia melepas daster itu, mulai dari tangannya. Satu demi satu tangan
daster itu terlepas. Daster melorot, tertahan sebentar di bulatan payudaranya
yang besar. Dia menarik ke bawah lagi daster itu. Terlihat payudara, tanpa BH.
Putih, bulat, besar, dengan puting susu berwarna merah muda. Mulutku menganga
kagum seakan ingin memakannya. Aku menelan ludah.
Diturunkannya lagi. Aku menikmati satu persatu sajian pemandangan itu. Perutnya putih dengan pinggang yang ramping. Pusarnya menjadi penghias di sana. Daster itu tertahan di pinggangnya. Oh, pantatnya menahan. Aku semakin berdebar, ingin mempercepat proses itu, aku ingin segera melihat kemaluannya. Diturunkan lagi, dan ah... vagina itu muncul juga. Dihiasi rambut berbentuk segitiga yang tak begitu lebat. Bibir vaginanya merah segar, sedikit basah. Untuk pertama kalinya aku melihat wanita bugil. Dengan senyumnya, bangga membuatku tergakum-kagum.
"Sekarang, kamu juga buka ya?" perintahnya manja.
Diturunkannya lagi. Aku menikmati satu persatu sajian pemandangan itu. Perutnya putih dengan pinggang yang ramping. Pusarnya menjadi penghias di sana. Daster itu tertahan di pinggangnya. Oh, pantatnya menahan. Aku semakin berdebar, ingin mempercepat proses itu, aku ingin segera melihat kemaluannya. Diturunkan lagi, dan ah... vagina itu muncul juga. Dihiasi rambut berbentuk segitiga yang tak begitu lebat. Bibir vaginanya merah segar, sedikit basah. Untuk pertama kalinya aku melihat wanita bugil. Dengan senyumnya, bangga membuatku tergakum-kagum.
"Sekarang, kamu juga buka ya?" perintahnya manja.
Aku membuka tshirtku. Tante Imah
membuka celanaku, Lepas jinsku, tapi Tante Imah tak segera membukanya. Dia
jongkok lalu menjilati penisku dari luar celana dalam. Tampak noda basah sperma
yang makin ditambah oleh air ludah. Penis itu makin membesar dalam celana
dalam, rasanya tak enak kerena tertahan. Segera kubuka dan ...hup keluarlah
batang kemaluan diikuti dua bolanya. Tante Imah mengecupnya, si penis tampak
membesar. Semakin tegaknya penis diikuti dengan jilatan-jilatan lidah. Uff,
enak sekali.
Kini gantian tangannya yang bekerja. Pertama dirabanya semua bagian penis, lalu mulai mengocoknya. Setelah kira-kira telah utuh bentuknya, tegak dan besar, dimasukkannya ke dalam mulut. Tante Imah memandang ke atas, wajahnya berseri-seri .
Kini gantian tangannya yang bekerja. Pertama dirabanya semua bagian penis, lalu mulai mengocoknya. Setelah kira-kira telah utuh bentuknya, tegak dan besar, dimasukkannya ke dalam mulut. Tante Imah memandang ke atas, wajahnya berseri-seri .
"Teruskan Tante."
Lidah Tante Imah menjilat-jilat,
kadang menggelitik penisku. Lalu mulai memaju mundurkan mulutnya, seakan sebuah
vagina menyetubuhi penis. Ini hebat sekali. Sekitar 15 menit permainan itu
berlangsung, hingga...
"Tante, saya mau
ke-luar..." kataku terengah-engah.
Tante Imah malah mempercepat
kocokan mulutnya. Aku ikut memegang kepalanya. Dan keluarlah ia. Aku merasa ada
5 semprotan kencang. Tante Imah tidak melepasnya, ia menelannya. Bahkan terus
mengocok hingga habis spermanya. Lega rasanya tapi lemas badanku. Tante Imah
berdiri, kemudian kami berciuman lagi. A
"Sekarang gantian ya..."
"Sekarang gantian ya..."
Kini aku menghadapi payudara siap
saji. Pertama kuraba-raba dengan kedua tanganku. Remasan itu kubuat berirama.
Lalu aku mulai berkonsentrasi pada puting susu. Kutarik-tarik hingga
payudaranya terbawa dan kulepaskan. Hmm, bagaimana rasanya ya? Aku mulai
menjilatinya. Enak. Jilatanku pada satu payudara sementara tangan yang lain
meremas satunya. Ketika kuhisap-hisap putingnya, terasa makin mancung,
mengeras, dan tebal puting itu. Kulakukan pula pada payudara satunya. Oh,
ternyata jika wanita terangsang, yang ereksi adalah puting susunya. Kira-kira 5
menit aku melakukannya dengan nikmat.
Kemudian jilatanku turun, hingga
vaginanya. Kucoba dengan jilatan-jilatan. Kusibakkan lagi rambut kemaluannya
agar jilatan lebih sempurna. Ada seperti daging kecil yang menyembul. Yang
kutahu, itu adalah klitoris. Kuhisap seperti menghisap puting susu, eh Tante Imah
merintih.
"Hmm, Saka, jangan dihisap.
Geli. Tante nggak kuat."
Dan Tente Imah benar-benar
lunglai. Tubuhnya rebah ke sofa. Dia terlentang dengan paha mengangkang
memperlihatkan vagina terbuka dan payudara yang berputing tegak. Aku lanjutkan
lagi kegiatan ini. Makin lama kemaluannya makin basah. Jilatan dan hisapanku
makin bersemangat, sementara di sana Tante meremas-remas payudaranya sendiri
menahan ektasi.
Tiba-tiba pahanya mendekap kepalaku dan ..serr seperti ada aliran lendir dari vaginanya. Otot liang itu berkontraksi. Inikah orgasme, hebat sekali, dan aku melihatnya dari dekat. Tak kusia-siakan lendir yang mengalir, kuhisap dan kutelan. Rasanya enak sekali. Tubuh Tante Imah yang bergoyang-goyang akhirnya tenang kembali. Jepitan pahanya mulai melemah namun penisku mulai ereksi lagi. Kucium mesra vaginanya seperti aku mencium bibirnya. Tante Iya tersenyum.
Tiba-tiba pahanya mendekap kepalaku dan ..serr seperti ada aliran lendir dari vaginanya. Otot liang itu berkontraksi. Inikah orgasme, hebat sekali, dan aku melihatnya dari dekat. Tak kusia-siakan lendir yang mengalir, kuhisap dan kutelan. Rasanya enak sekali. Tubuh Tante Imah yang bergoyang-goyang akhirnya tenang kembali. Jepitan pahanya mulai melemah namun penisku mulai ereksi lagi. Kucium mesra vaginanya seperti aku mencium bibirnya. Tante Iya tersenyum.
Bibirnya berkata, "Terima
kasih," namun tak mengeluarkan suara.
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar